10 Pelajaran Psikologi yang Kita Temui di Film Harry Potter

By Indra Pramesti, Jumat, 16 Maret 2018 | 14:50 WIB
Kamu pernah mengalami salah satunya? (Indra Pramesti)

Siapa sih yang enggak kenal Harry Potter? Tokoh penyihir yang diciptakan oleh J.K. Rowling ini emang enggak pernah berhenti bikin kita bosan. Terlebih lagi dengan dunia sihir yang diciptakan begitu nyata ssampai bikin kita pengin hidup di dalamnya.

Cerita Harry Potter enggak hanya menarik dari segi plot dan karakternya saja, tapi di dalamnya juga terdapat unsur psikologi yang bisa digali. Yuk bongkar 10 pelajaran psikologi yang kita temui di Film Harry Potter!

(Baca juga: 7 Hal Yang Sebaiknya Kita Lakukan Kalau Orang Tua Selingkuh)

Dalam sekolah sihir Hogwart, kita mengenal empat asrama, Gryffindor, Slytherin, Hufflepuff, dan Ravenclaw. Dibalik sistem penempatan asrama ini, ternyata mengandung pelajaran psikologi yang dinamakan social tribal effect.

Istilah ini menjelaskan tentang orang-orang yang memiliki kesamaan berkumpul dalam suatu kesatuan dan saling loyal satu sama lain. Meskipun kadang hal ini enggak selalu berdampak baik. Misalnya dalam kasus penempatan asrama Slytherin.

Orang-orang di Slytherin digambarkan memiliki karakter yang licik. Karena merasa memiliki karakter yang sama, orang-orang Slytherin pun akan semakin kompak dan loyal terhadap satu sama lain, hingga memunculkan anggapan ‘us vs the world.’

Nama peri rumah Dobby, digunakan sebagai nama konsep psikologi yang ditemukan oleh Nellisen dan Zeelenberg di tahun 2009, yaitu Dobby Effect.

Dobby effect adalah keadaan di mana kita selalu merasa bersalah terhadap hal yang telah kita lakukan kepada orang lain. Keadaan ini, bikin kita kerap meminta maaf dan merasa bersalah.

Pada dasarnya, merasa bersalah enggak sepenuhnya buruk, karena artinya kita masih memiliki moral. Namun, merasa bersalah yang berlebihan bisa berdampak  terhadap mental kita, karena kerap menyalahkan diri sendiri.

Post traumatic stress disorder (PTSD) terjadi ketika kita pernah mengalami sebuah kejadian traumatis dalam hidup kita, seperti pernah diculik, menjadi saksi aksi terorisme, atau kekerasaan fisik dan emosional ketika kita masih kecil.

Dampak dari PTSD adalah kita menjadi sering mengalami flashback, mimpi buruk, gugup, dan susah melupakan kejadian traumatis itu. Hal serupa juga ditunjukkan oleh karakter Harry Potter.

Wartawan Daily Prophet, Rita Skeeter, adalah metafora dari kegelisahan. Kegelisahan muncul dari hal yang kecil dan terus berubah menjadi masalah yang lebih besar dan menakutkan.

Hal ini ditunjukkan oleh Rita Skeeter yang kerap memutarbalikkan fakta dan membuat headline dalam berita yang ia tulis tanpa ada fakta yang mendasar.

Karakter Ron Weasley menderita phobia terhadap laba-laba yang dinamakan arachnophobia. 

(Baca juga: 10 Hal yang Introvert dan Ekstrovert Harus Pahami Satu Sama Lain. Wajib Tahu!)

Ketika Harry Potter dan Dumbledore kembali ke masa lalu untuk melihat orang-orang yang pernah berhubungan dengan Voldemort, diceritakan kalau Voldemort memang sudah menunjukkan ciri-ciri seorang criminal atau kecenderungan menjadi serial killer. Seperti sikapnya yang penyendiri, punya kecenderungan mem-bully, selalu merasa superior, dan kurangnya empati terhadap makhluk hidup.

Karakter Malfoy menunjukkan kalau setiap orang enggak selalu berubah sesuai dengan apa yang dibayangkan. Malfoy kecil punya sifat yang licik dan selalu ingin menang sendiri. Orang-orang disekelilingnya selalu menyangka kalau Malfoy akan tumbuh menjadi pribadi yang sama atau malah lebih buruk lagi.

Tapi kenyataannya, Malfoy malah tumbuh menjadi sosok yang dewasa. Bahkan di akhir cerita, Malfoy membantu Harry dengan melempar tongkat sihir ke arahnya.

Cognitive dissonance adalah keadaan di mana dua hal menunjukkan kejanggalan atau ketidacocokan. Cognitive dissonance bisa membahayakan banyak orang. Cornelius Fudge meunjukkan perilaku tersebut ketika dia membantah kalau Voldemort telah bangkit kembali.

Sebagai Menteri Dunia Sihir, Cornelius Fudge telah berusaha untuk mempertahankan keamanan dunia sihir. Namun dengan kebangkitan Voldemort, Cornelius Fudge menjadi terdesak mengeluarkan pernyataan yang bertolakbelakang. Sebagai akibatnya, dunia sihir jadi kehilangan waktu berharga yang sesungguhnya bisa digunakan untuk bersiap-siap melawan kedatangan Voldemort.

Guru mata pelajaran Ramalan, Sybill Trelawney menunjukkan ciri-ciri anxiety disorder dalam berbagai hal, seperti selalu merasa gugup,  kerap membayangkan kejadian buruk yang mungkin terjadi di masa depan, hingga takut di-judge oleh orang lain.

Parasocial interaction adalah perilaku satu arah dari karakter fiksi yang mampu membantu proses healing pada orang yang membaca atau menontonnya. Dalam cerita Harry Potter, kita kerap ditunjukkan kejadian yang berkaitan dengan kematian dan rasa berbelasungkawa.

Ternyata hal ini bisa membantu orang-orang untuk menghadapi kejadian traumatis yang mereka alami. Menurut mereka, cerita Harry Potter sangat relatable, menguatkan, dan menenangkan pikiran mereka. Terlebih dengan adanya quotes inspiratif dari berbagai karakternya.

Kalau kamu sendiri, pernah mengalami salah satunya enggak, girls?

(Baca juga: 5 Perbedaan Psikopat dan Sosiopat. Jangan Sampai Gebetan Kita Termasuk di Dalamnya!)