Indonesia mengakui enam agama, padahal menurut data dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, setidaknya ada 245 kepercayaan yang terdaftar dengan jumlah penghayat lebih dari 400.000 orang.
Salah satunya adalah Sunda Wiwitan, kepercayaan yang dianut oleh Anih Kurniasih (18) dari Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Karena kepercayaannya enggak diakui pemerintah, Anih, keluarganya, dan penganut Sunda Wiwitan lainnya sering dipersulit dalam hal birokrasi, seperti mengurus akta kelahiran.
Anih diharuskan memilih agama lain setiap kali ada pendataan, bahkan untuk hal sederhana seperti pembuatan Kartu OSIS.
Lewat wawancaranya bersama cewekbanget, Anih menceritakan tentang diskriminasi yang sering dia hadapi ketika kepercayaannya enggak diakui sama permerintah.
Diskriminasi yang pernah dirasakan sama Anih dan keluarganya adalah ketika ibunya berusaha membuat akta lahir untuk Anih.
Ibu Anih mengalami kesulitan ketika mengurus akibat surat nikahnya yang tidak terdaftar di Catatan Sipil. Menurut kesaksian Anih, hingga saat ini dia masih belum mendapatkan akta kelahiran.
Pihak administrasi mensyaratan kedua orang tua Anih, yang menikah dengan adat, untuk melakukan pernikahan ulang di KUA supaya memiliki akta nikah dari negara.
Diskriminasi yang dirasakan bukan hanya dalam hal administrasi. Anih bercerita kalau dia dan temaan-temannya pernah di-bully karena kepercayaannya.
"Kalau di SMP aku sering dikata-katain yang enggak enak didengar. Di SMA juga pernah, waktu itu pertama kali masuk SMA. Aku sempat disuruh berdiri di depan kelas, terus ditanya-tanya soal agamaku.
Ditanya gimana cara memanggil Tuhan, terus cara beribadah seperti apa. Awalnya aku biasa saja,tapi lama-lama merasa enggak nyaman."
Anih juga mengaku kesulitan dalam menerima pelajaran Agama. Pasalnya, sekolah tempatnya belajar ternyata enggak menerima nilai agama Sunda Wiwitan. Akhirnya, Anih terpaksa harus belajar agama lain, yaitu agama Katolik selama di sekolah.
Akhir tahun lalu, MK akhirnya menyatakan keputusannya soal penghayat kepercayaan yang diakui dan boleh diisi di setiap kolom agama pada KTP milik penghayat kepercayaan. Sebelumnya, kolom agama dalam KTP penghayat kepercayaan hanya diisi 'strip'.
Keputusan MK ini bukan tanpa kerja keras, lho. Karena berkat usaha para penghayat kepercayaan, termasuk Anih yang juga ikut serta dalam audiensi di kantor MK, akhirnya keputusan ini bisa diterima.
Sebelumnya, Anih sendiri, bersama pemuka agama, pernah datang ke DPRD Kuningan untuk menyuarakan hal ini.
"Waktu datang ke DPRD aku tanya, 'Seberapa penting sih kolom agama di KTP, pak? Bukan kah agama itu urusan kita dan Tuhan saja?'" kenangnya.
Meskipun MK telah menurunkan keputusannya, hingga sekarang masih ada banya hal yang belum dapat direalisasikan secara sempurna.
Contohnya saja seperti KTP milik Anih yang masih tertulis 'strip' di kolom agama dan pengurusan akta kelahirannya yang belum juga tuntas.
"Harapanku masih sama seperti yang dulu-dulu. Aku pengin pendataan administrasi enggak dipersulit lagi. Penginnya seperti orang lain yang mudah mengurusnya."
Terlepas dari banyaknya diskriminasi yang telah dia alami, Anih tetap bertahan dengan apa yang dia percaya. Baginya, mempertahankan dan melestarikan budaya leluhur adalah hal yang utama.
"Aku pengin melanjutkan apa yang sudah orang tua berikan. Di Sunda Wiwitan kita diajarkan soal adat istiadat dan budaya. Zaman sekarang susah sekali menemukan orang yang mau mempertahankan apa yang dia miliki.
Makanya, aku pengin mempertahankan dan melestarikan adat istiadat serta budaya dari leluhur."