5 Film Tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan yang Wajib Ditonton di Hari Kartini!

By Indra Pramesti, Jumat, 20 April 2018 | 12:45 WIB
Wajib ditonton! (Indra Pramesti)

Semangat Hari Kartini membuat kita diingatkan kembali tentang nilai-nilai emansipasi wanita. Lima film Indonesia yang mengangkat tentang perjuangan emansipasi perempuan berikut ini cocok banget kita tonton buat merayakan Hari Kartini. Mana favorit kamu?

(Baca juga: 5 Cara Memiliki Badan yang Fit Ala Atlet Lompat Galah, Choi Ye Eun)

Film yang dibintangi oleh Tara Basro sebagai Kusuma Wardhani, Bunga Citra Lestari sebagai Nurfitriyana dan Chelsea Islan sebagai Lilies Handayani ini mengambil latar belakang olahraga. Ketiganya adalah atlet panahan dan hidup di latar belakang berbeda.

Masing-masing karakter menghadapi masalah personal, seperti masalah percintaan, orangtua yang enggak mendukung, hingga tuntutan pernikahan. Ketiganya akhirnya dipersatukan saat menjadi tim panahan yang mewakili Indonesia di Summer Olimpyc 1988 di Seoul, Korea Selatan.

Film ini menceritakan tentang Nyai Ahmad Dahlan, yakni tokoh emansipasi perempuan yang merupakan istri dari Kiah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Nyai Ahmad Dahlan yang tinggal di Kauman, Yogyakarta berani menolak kawin paksa dan menjadi perempuan pertama yang pernah memimpin Kongres Muhammadiyah tahu 1962, serta mendirikan organisasi perempuan, Sopo Treno, yang kini bernama Aisyiyah.

Sokola Rimba adalah film yang disutradarai oleh Riri Riza. Film ini menceritakan tentang perjuangan Butet Manurung, aktivis dan pelaku pendidikan bagi masyarakat terpencil di Indonesia. Butet mengajarkan baca-tulis dan berhitung kepada anak-anak Suku Anak Dalam yang tinggal di hulu sungai Makekal di bukit Dua Belas, Jambi. Ia menggunakan metode antropologis, di mana tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga tinggal dan hidup bersama masyarakat yang ia didik.

Dibintangi oleh Revalina S. Temat yang memerankan tokoh utamanya, Annisa, film ini bercerita tentang anak kyai sekaligus seorang ibu dan istri yang tinggal di lingkungan pesantren yang konservatif. Anissa beranggapan kalau Islam membela laki-laki sementara posisi perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Ia akhirnya menyatakan protes meski banyak yang menentangnya.