Di bayangan kita, tinggal bersama teman-teman dekat pasti bakal seru. Ada teman curhat, ada yang nemenin makan, dan juga belajar bareng.
Awalnya Lia(23) dan Kinan(23) juga berpikiran seperti ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk tinggal sekamar bareng Icha (23). Awal masuk kuliah mereka memang cepat akrab dan merasa nyambung dengan satu sama lain. Untuk menghemat biaya ngekos, akhirnya mereka memilih untuk jadi roommates di tahun 2013.
(Baca juga: 5 Tanda Kita Sekamar Sama Teman yang Bersifat Toxic. Hati-Hati!)
“Saat awal tinggal bareng itu seru banget. Kita bertiga selalu berangkat dan pulang kuliah bareng. Ngerjain tugas dan belajar sebelum ujian selalu bareng. Makan malam juga jadi momen tersendiri. Saat orang-orang lain yang ngekos makan sendirian, aku selalu ada teman makan. Aku juga orangnya penakut, jadi lebih tenang karena tinggal bareng-bareng.”, kenang Lia.
Pengalaman tinggal bersama yang menyenangkan buat Lia dan Kinan ternyata enggak bertahan terlalu lama. Setelah sekitar 6 bulan, mulai ada konflik-konflik yang sebenarnya sepele tapi merusak dinamika mereka di kamar kos. Tinggal bareng teman yang tadinya dianggap menyenangkan oleh Lia dan Kinan mulai hilang.
Tinggal bersama orang lain pasti butuh banyak penyesuaian gaya hidup, apa lagi kalau kita dan roommate belum terlalu lama kenal. Tentu aja ada sifat-sifat yang baru akan keluar di saat-saat tertentu, misalnya saat ada masalah.
Kinan bercerita, “Saat ada masalah kecil, Icha marahnya selalu berlebihan. Padahal sebenarnya bisa ditegur dengan halus aja. Masalahnya biasanya ada yang lupa nyiram toilet dan enggak mau ngaku. Terus dia juga perhitungan. Lia, kan, suka nyatok rambut, sama Icha disuruh bayar uang sewa lebih.”
Kemarahan Icha enggak sebatas saat di kamar kos. Di kampus pun dia jadi sering cuekin Lia dan Kinan, seolah seperti ada masalah besar yang membuat mereka jadi musuhan. Menurut Kinan, Icha juga suka mengadu domba dia dan Lia, sampai suatu saat, tanpa alasan yang jelas, Kinan jadi berantem sama Lia.
“Enggak tahu kenapa tiba-tiba Icha jadi ngadu domba aku dan Lia. Dia suka cerita ke aku kalau si Lia ngelakuin A,B,C. Awalnya aku sempat tersulut emosi, ya. Tapi saat udah tenang, aku konfirmasi ke Lia. Ternyata yang dikatakan Icha sering enggak benar.”
(Baca juga: Kenali 7 Cara Toxic People Memanipulasi Kita agar Kita Enggak Jadi Korbannya!)
Harus bertemu dengan “musuhnya” 7 x 24 jam membuat hidup Lia jadi enggak tenang. Dia mulai sadar kalau Icha adalah toxic roommate saat dia jadi sering nangis karena intimidasi dari Icha dan akhirnya sakit gara-gara memikirkan sebenarnya apa alasan Icha melakukan itu ke dirinya.
“Karena stress dan kepikiran terus, aku jadi sering sakit dan nilai-nilaiku turun. Setelah cerita ke Mama dan minta izin untuk ngekos sendiri, keputusanku semakin bulat untuk keluar dari kamar itu.”, cerita Lia.
Perasaan Lia yang sensitif membuat dia jadi sasaran empuk Icha. Meski Kinan enggak terlalu sering jadi korban, lama-lama dia juga merasa yang dilakukan Icha ke Lia itu enggak benar dan juga memilih untuk cari tempat kos baru.
(Baca juga: 5 Alasan Kenapa Kita Harus Menghindari Toxic Friendship. Wajib Tahu!)
Dari curhatan Lia dan Kinan, kita bisa mengambil pelajaran tentang pertemanan. Untuk bisa tinggal sekamar bareng teman, kita harus bisa beradaptasi dan lebih bisa toleransi dengan gaya hidup masing-masing yang berbeda. Misalkan kita sekamar dengan teman yang “clean-freak”, usahakan untuk lebih bisa menjaga kebersihan juga. Selain enggak menyulut emosinya, pasti kamar kita akan lebih nyaman dihuni kalau bersih, kan?
Selain itu, kalau udah terlanjur sekamar dengan roommate yang toxic, jangan berpikir dua kali untuk keluar dari lingkungan itu sebelum diri kita semakin dirugikan secara fisik, materi, dan mental. Tapi kalau tinggal di kos sendiri bukan pilihan untuk kita karena masalah ekonomi, komunikasikan dengan terbuka pada teman kita bahwa perlakuan dia enggak baik dan merugikan kita.