Prom atau Prom Night, suatu tradisi pelajar yang umumnya dilakukan oleh pelajar SMA kelas 12. Bagi sebagian besar remaja, acara ini dinanti-nanti banget dan butuh persiapan yang sangat matang. Mulai dari nabung untuk beli tiket, beli gaun untuk cewek atau suit buat cowok, sampai persiapan lainnya seperti diet khusus dan facial.
Tradisi ini diadakan untuk mengenang masa-masa terakhir sebagai pelajar SMA, sebelum kita berpisah dengan teman-teman dan masuk ke dunia perkuliahan. Pesta yang penuh dengan keseruan ini banyak yang menganggap sebagai the night to remember. Tapi di balik keseruannya, ternyata Prom punya sejarah kelam yang enggak diduga.
(Baca juga:8 Inspirasi Dress Glamour Untuk Prom Night ala Member 'BLACKPINK')
Dilansir dari laman teenvogue.com, Prom sebenarnya adalah tradisi bangsawan Prancis. Asal katanya adalah Promenade yang berarti acara pertemuan formal di mana tamu berkeliling di suatu ruangan dan saling berkenalan.
Tradisi ini kemudian dibawa ke Northeast America di abad 19 dengan tujuan untuk melatih tata krama dan kemampuan bersosialisasi. Pada saat ini, Prom hanya dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir dan berbentuk jamuan makan siang.
Awal abad ke 20, tradisi pesta dansa semakin marak di kalangan atas Amerika. Acara ini disebut Debutante Ball, pesta dansa resmi khusus kalangan kelas atas yang diadakan untuk melatih etika, menunjukkan status sosial, kecantikan, pakaian, dan yang jadi tujuan utama: cari jodoh.
Tentu saja, kalangan menengah enggak mau kalah dan penasaran dengan hype dari Debutante Ball. Sayangnya, mereka enggak punya biaya yang cukup untuk mengadakan sendiri. Inilah awal mula Prom diselenggarakan di sekolah. Sekolah dianggap punya dana lebih dan bisa mensponsori sebuah pesta dansa besar-besaran.
(Baca juga:Intip 8 Style Hijab Buat Acara Prom Night ala Selebgram Indonesia)
Tahun 1920 sampai 1940-an nama Democratic Debutante Ball mulai dipakai, tapi orang-orang lebih memilih menyebutnya “The Prom”. Prom Night di tahun ini sarat akan aturan-aturan yang misoginis dan rasis terutama di Alabama, Amerika Serikat. Cewek enggak boleh menunjukkan rasa sukanya ke cowok apalagi sampai ngajak cowok ke Prom karena katanya akan menghancurkan “karir percintaan”nya. Selain itu, cewek juga disuruh untuk pakai cat kuku warna netral karena cat kuku warna terang menyorot perhatian ke tangan yang gemuk. Yikes!
Di tahun 1938, beredar buku tentang etika nge-date yang sangat seksis berjudul “Gentlemen Aren’t Sissies” karangan Norton Hughes Jonathan. Dalam buku ini tertulis “Putri Prom bukan kita menangkan, tapi kita beli, seperti kuda”. Cewek yang datang ke Prom juga harus mengikuti aturan berpakaian khusus yang menonjolkan sisi feminin dan “Good Girl”.
Oh iya, acara Prom di abad ini benar-benar eksklusif untuk warga kulit putih atau kaukasia aja. Di era Jim Crow Laws, gerakan anti-semitis dan segregasi sangat gencar. Jadi, enggak ada tuh pelajar kulit hitam dan beragama selain kristen/katolik yang boleh ikut serta.Tentunya komunitas minoritas enggak mau ketinggalan dong dengan kemeriahan tradisi ini. Alhasil mereka membuat pesta dansa sendiri secara terpisah.
Prom sempat dihapus di Birmingham, Alabama pada tahun 1963 karena pelajar di sana sering ikut protes menentang gerakan segregasi dan rasisme. Bahkan di tahun 1994 pun sempat dihapus lagi di Weldowee, Alabama guna menentang pelajar yang berpacaran antar-ras.
(Baca juga: 14 Seleb Hollywood Ini Pergi ke Prom Night Bareng Fans Mereka, Sweet!)
Meski di tahun 2010-an seperti sekarang Prom udah bisa bebas diikuti hampir semua pelajar SMA, masih saja ada sekolah yang menjalankan aturan-aturan yang seksis, seperti mengharuskan cewek pakai gaun, serta dresscode yang menunjukkan “good girls” dan “bad girls”.
Beruntung, di Indonesia sampai sekarang enggak ada peraturan Prom seperti ini ya, girls. Sekolah hanya mengadakan Prom sebagai ajang untuk mengenang masa-masa SMA kita.