Musik Sebagai Cerminan Jiwa Ekonomi Kreatif

By Kinanti Nuke Mahardini, Selasa, 21 Agustus 2018 | 20:45 WIB
Musik sebagai Cerminan Jiwa Ekonomi Kreatif ()

Meski situasi tidak selalu berpihak, para musisi justru bangkit untuk bersama membangun ekosistem industri musik yang lebih baik. 

Musisi Indonesia seolah tak henti menghadapi cobaan. Masalah demi masalah terus menghantam. Seperti pembajakan, pencurian hak cipta, minimnya pengarsipan dan yang terakhir adalah tutupnya gerai penjualan kaset/CD musik.

Pembajakan menjadi masalah klasik yang belum terpecahkan. Banyak orang belum sadar bahwa mencipta sebuah lagu bukanlah perkara mudah.

Para musisi harus mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, dan materi untuk melahirkan sebuah karya, namun orang membajak karya mereka dengan mudahnya.

Perlindungan terhadap hak cipta juga dirasa kurang. Banyak penggunaan musik dengan tujuan ekonomi yang tidak memberikan pembagian keuntungan kepada pencipta lagu yang dieksploitasinya. Kondisi ini diperparah dengan minimnya pendokumentasian musik Indonesia.

Pencatatan karya musik agar memiliki lisensi untuk dapat dieksploitasi nilai ekonominya, masih kurang. Sehingga banyak pencipta lagu yang tidak maksimal merasakan manfaat ekonomi dari karyanya.

(Baca juga: Rihanna Siap Meluncurkan Fim Dokumenter Tentang Hidupnya, Tahun Ini!)

Dalam kondisi seperti itu, tantangan baru muncul yakni kemajuan teknologi. Di satu sisi kemajuan teknologi memudahkan musisi dalam berkarya dan memotong jalur distribusi.

Di sisi lain, digitalisasi dan kemajuan internet membuat proses penggandaan sebuah lagu menjadi jauh lebih mudah. Akibat tak langsung dari kondisi ini adalah tutupnya gerai dan toko penjual album fisik, karena masyarakat bisa dengan mudah mengunduh lagu kesukaan mereka lewat internet.

Sayangnya dalam kondisi seperti ini, negara tak sepenuhnya hadir. Musisi kawakan, Glenn Fredly mengingatkan, musik adalah soft power yang bisa mendorong kemajuan peradaban bangsa. Pemerintah diminta lebih serius membangun ekosistem musik Indonesia.

Ia melihat, selama ini pendekatan industri musik lebih banyak dari sisi komersial dan para pelakunya berjalan secara parsial. Sementara hal yang fundamental dalam membangun ekosistem musik, yakni pengelolaan dan perlindungan bagi musisi, justru terabaikan.

“Saya rasa itu tugas pemerintah untuk memfasilitasi itu. Musisi kan dalam berkarya enggak mau mikirin undang-undang. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus didorong bersama,” ujar personel Trio Lestari itu.

Glenn yakin, pengelolaan dan perlindungan yang baik tidak hanya akan meningkatkan manfaat ekonomi serta mengoptimalkan dampak positif yang ditimbulkan oleh musik, tetapi juga akan membangun apresiasi masyarakat.

(Baca juga: Yuk Kenalan dengan Para Pemain di Web Drama ‘Revenge Note 2’!)

Pembenahan ini, menurut Glenn, membutuhkan kerjasama lintas sektoral antara pelaku industri musik, pemerintah maupun pemilik modal. Perlu ada kerendahan hati dari semua pihak bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri-sendiri.

“Perlu adanya sebuah lembaga yang menjadi ‘rumah’ bagi semua pelaku industri musik, yang mengelola musik secara komprehensif dari hulu ke hilir,” tegasnya.

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengakui ada pembiaran industri musik Indonesia di masa lalu. Pemerintah dinilai abai dalam membangun ekosistem industri musik yang baik.

Pemerintah juga dinilai kurang tanggap dengan kemajuan teknologi yang ditandai dengan derasnya gempuran layanan musik streaming dari berbagai negara ke Indonesia.

Bekraf bertekad membenahi ekosistem musik Indonesia dengan memperbaiki kesalahan itu satu per satu. Wakil kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky J. Pesik mengatakan, musik menjadi salah satu subsektor prioritas, karena musik memiliki nilai kapitalisasi nilai tambah yang sangat besar.

“Potensi nilai tambah ekonomi kreatif tercermin di sektor musik, saat seorang kreator memiliki suatu karya, dia otomatis memiliki potensi kapitalisasi yang besar tanpa batas produksi fisik. Perhitungan kontribusi sektor musik masih kecil, tetapi kita sadar potensinya luar biasa besar,” ujar Ricky.

Berdasarkan survei ekonomi kreatif Bekraf-BPS 2017, sumbangan subsektor musik terhadap PDB ekonomi kreatif masih di bawah 1 persen. Namun musik masuk dalam empat besar subsektor dengan pertumbuhan tertinggi. Pada 2017, subsektor musik tumbuh 7,26 persen, berada di urutan kedua setelah desain komunikasi visual (10,26 persen).

(Baca juga: Kisah Millennials Pecinta Konser Musik di Trailer Film ‘Menunggu Pagi’)

Ini dilihat sebagai potensi, apalagi di era transaksi elektronik yang membuka pintu untuk distribusi yang lebih luas. Saat ini Bekraf sedang menyiapkan sebuah peta jalan, yakni terbangunnya Ecosytem Management Colective Digital bernama “Portamento Project”.

“Awalnya untuk musik, tetapi ke depan akan diterapkan untuk segala sesuatu yang bisa dijual secara digital,” terang Ricky.

Sistem yang kini sedang dalam tahap kajian ini akan menghubungkan semua pelaku ekosistem musik, mulai investor hingga lembaga negara terkait seperti Ditjen Pajak. Sistem ini akan menggantikan pengaturan hak cipta musisi dan royaltinya yang selama ini dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Untuk mengatasi pembajakan, Bekraf tak henti melakukan sosialisasi kepada para musisi untuk mendaftarkan karyanya, seiring dengan sosialisi kepada masyarakat akan pentingnya penghargaan terhadap hak cipta.

Pada saat yang sama Bekraf menggandeng Irama Nusantara untuk pengarsipan dan pendapatan industri rekaman. Berkat kerjasama ini, ribuan judul lagu Indonesia berhasil didata.

“Pada 2013 kami memulai, ada sekitar 800-an data yang sudah didigitalisasi. Ketika Bekraf tahu pergerakan kami di 2016, lalu akhirnya kerjasama dan angka bertambah signifikan. Sekarang sudah ada sekitar 2.300 data,” tutur Alvin Yunata, Kepala Program IramaNusantara.org.

Agar sektor musik berkontribusi maksimal Bekraf juga aktif mendukung pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Musik Indonesia (LSPMI) yang bertugas mengelola kompetensi musisi.

(Baca juga: 6 Hal Unik yang Hanya Kita Temui di Fandom Musik Kpop. Setuju?)

Salah satunya adalah kegiatan sertifikasi yang secara perdana digelar di Bandung pada pertengahan Mei 2018. Tercatat ada 140 musisi yang mengikuti uji kompetensi itu, yang terdiri dari penyanyi (vokalis) dan pemusik (instrumentalis) seperti pemain gitar, bas, keyboard, dan drum.

“Salah satu manfaat sertifikasi ini adalah kompetensi musisi akan diakui secara nasional dan internasional,” ujar Ari Juliano Gema, Deputi V Bekraf yang membidangi Fasilitasi HKI dan Regulasi.

Selain kemampuan teknis, perilaku atau attitude juga menjadi poin penilaian. Sehingga secara tidak langsung, sertifikasi akan meningkatkan pengetahuan dan perilaku para musisi.

Menurut Ari, sertifikasi ini penting bagi musisi yang bekerja di hotel, restoran, kafe, atau kapal pesiar di luar negeri. Karena dalam banyak kasus, para penyanyi dan musisi yang tidak memiliki sertifikasi tidak diizinkan untuk tampil di luar negeri. Mereka yang diizinkan tampil, bisa dibayar lebih rendah dibanding musisi yang tersertifikasi kompetensinya.

“Rencananya, tahun ini akan diadakan 2 sampai 3 kegiatan sertifikasi. Setelah di Bandung, kemungkinan akan dilangsungkan di Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta,” ujar Ari.

Langkah Bekraf dalam memajukan ekosistem industri musik nasional tak berhenti di situ. Lembaga yang berdiri pada 2015 ini juga membangun dan memperbaiki gedung pertunjukan dan berencana membangun museum musik Indonesia.

(Baca juga: 12 Fakta Lama Musik Kpop yang Baru Saja Terungkap. Enggak Nyangka!)