Cewekbanget.id- Dahulu, para terdakwa yang dieksekusi mati merupalam sebuah hukuman kematian yang sudah biasa dan banyak dilakukan di berbagai negara.
Tiap negara mempunyai tradisi aneh yang berbeda-beda. Salah satunya tradisi eksekusi kematian yang terkenal dari dataran Tiongkok.
Eksekusi ini dikenal dengan sebutan Lingchi. Melansir dari ranker.com, Lingchi berarti ‘Kematian oleh seribu potongan’ atau irisan.
Baca Juga : Tak Sepenuhnya Aman, Hati-Hati Jika Backup Data WhatsApp ke Google Drive
Jadi hal ini mengacu pada sebuah eksekusi yang dilakuakan secara pelan-pelan dengan cara menyiksa terseksekusi.
Eksekusi ini dilakukan di tiongkok sudah hampir 1000 tahun sampai abad ke 20.
Eksekusi ini sungguh kejam dan tidak manusiawi.
Dalam praktiknya, eksekusi ini melibatkan individu yang disayati kulit tubuh mereka perlahan secara hidup-hidup.
Baca Juga : 3 Model Indonesia ini Miliki Tinggi di Atas Rata-Rata, Siapa Saja?
Hal ini tentu dilakukan oleh seorang algojo.
Tindakan ini serupa dengan menguliti atau penghilangan kulit saat seseorang yang masih hidup.
Orang yang menerima eksekusi lingchi ini adalah orang yang melakukan kejahatan besar.
Bahkan disebutkan kejahatan yang telah merusak tatanan sosial.
Hal ini kemudian pernah menjadi perdebatan oleh seorang pelancong Australia yang menyaksikan kengeriannya.
Baca Juga : Ammar Zoni dan Ranty Maria Putus, Aditya Zoni Beri Tanggapan Soal Sosok Cewek yang Pantas
Gambaran praktik tersebut jelas terlalu biadab dan bahkan menjadi praktik eksekusi yang tertulis dalam sejarah dan budaya.
Seorang theorist bernama Georges Bataille pernah menuliskan tentang eksekusi ini.
Penjelasan soal eksekusi lingchi ini termasuk dalam karya manuskripnya tentang teori budaya, berjudul The Tears of Eros.
Buku ini mengisahkan tentang seorang pria ymenjadi sasaran lingchi. (*)
Artikel ini telah tayang di Grid.id dengan judul, “Disayat dan Dikuliti Hidup-hidup, Inilah Salah Satu Eksekusi Mati yang Terkenal Paling Kejam dan Biadab di Dunia”
Source | : | grid.id |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |
KOMENTAR