CewekBanget.ID - Mungkin kita sering mendengar bahwa rapid test dianggap enggak akurat dalam mendeteksi COVID-19, atau merasa mengalaminya sendiri saat menjalani tes di tempat berbeda dalam jangka waktu yang enggak terlalu lama antara satu sama lain.
Misalnya, kita mendapati hasil rapid test di klinik A ternyata reaktif, kemudian mencoba di klinik B ternyata hasilnya non-reaktif.
Tapi rupanya hal tersebut ada penjelasannya lho, girls!
Baca Juga: Wajib Tahu! Ini Perbedaan 3 Metode Tes Covid-19: Rapid Test, PCR dan TCM
Kesalahan Penanganan COVID-19
Menurut Wakil Direktur Penelitian dan Pendidikan sekaligus Jubir Satgas Covid-19 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo/RS UNS, dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK., Phd., anggapan rapid test enggak akurat adalah salah satu di antara beberapa kesalahan besar kita dalam menangani COVID-19 di Indonesia.
Dilansir dari Kompas.com pada Jumat (4/12/2020), dr. Tonang menjelaskan, penyebabnya adalah saking banyaknya merek alat rapid test di pasaran, ditambah aturan yang enggak cermat, dan pembiaran berbulan-bulan.
“Jadilah muncul salah kaprah yang sangat salah, yakni rapid test untuk COVID-19 itu tidak akurat,” tuturnya dalam pesan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (1/12/2020).
Rapid Test Beda Hasil dengan Swab
Keraguan terhadap tingkat akurasi rapid test muncul karena sering terjadi kondisi ketika hasil rapid test berbeda dengan hasil swab, misalnya hasil menunjukkan kita negatif COVID-19 saat rapid test tapi positif lewat swab, atau sebaliknya.
Yang dimaksud di sini adalah rapid test antibodi atau tes antibodi dan polymerase chain reaction (PCR) atau bukan swab, karena swab adalah pengambilan sampelnya.
Rupanya, alih-alih kesalahan dalam pemeriksaan, sebetulnya hal tersebut dapat terjadi karena kita salah memahami maksud dari masing-masing hasil tes.
Tes antibodi dan PCR memiliki target atau tujuan yang berbeda, jadi enggak bisa dibanding-bandingkan.
Tes antibodi itu tentang kondisi yang mungkin sudah pernah terinfeksi dan muncul kekebalan, sedangkan PCR adalah tentang kondisi yang mungkin sedang terinfeksi dan menular.
Tapi pemerintah memang sempat menerapkan alur tes antibodi sebelum berlanjut ke PCR di awal masa pandemi karena pada waktu itu layanan tes PCR masih jarang dan ketersediaan laboratorium yang memeriksa sampel dahak, lendir, atau cairan untuk mendeteksi virus corona penyebab COVID-19 belum banyak.
Sementara yang ada saat itu adalah rapid test antibodi, maka disusunlah suatu alur untuk dapat diterapkan.
Bila memang ada gejala dan termasuk kriteria orang dalam pantuan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), maka dilakukan tes awal dengan tes antibodi dulu, baru apabila reaktif, diteruskan dengan PCR.
Baca Juga: Peraturan Baru, Masa Berlaku Rapid Test & PCR Bisa Sampai 14 Hari, Lho!
Yang Luput dari Penjelasan
Tapi, dr. Tonang menilai, ada yang luput terjelaskan atau terlanjur salah paham.
Bila memang tersedia pemeriksaan PCR, seharusnya bisa langsung PCR atau enggak lewat tes antibodi dulu dan bila terpaksa enggak ada PCR, baru bisa digunakan tes antibodi dulu.
Anggapan salah kaprah berikutnya yang terjadi adalah soal hasil rapid test reaktif pasti positif COVID-19, padahal bila tes antibodi reaktif, seseorang belum tentu positif COVID-19 kecuali sudah dikonfirmasi dengan PCR.
Sementara itu, kita diperintahkan untuk tetap melakukan isolasi saat hasil rapid test reaktif karena kita masih harus menunggu untuk pelaksanaan PCR serta hasil pastinya, demi mengurangi risiko penularan.
Meski demikian, hasil rapid test negatif juga enggak bisa langsung dinyatakan aman, sebab bila tes antibodi enggak reaktif, bukan berarti pasti PCR-nya negatif.
Maka sebenarnya, seseorang tetap diminta melakukan isolasi 10-14 hari, kemudian diulang tes antibodi lagi dan bila tetap non-reaktif, baru orang itu bisa dinyatakan enggak terkena COVID-19.
Namun dalam perkembangannya, ternyata tes antibodi dilakukan juga pada orang tanpa gejala apa pun atau enggak memenuhi kriteria ODP atau PDP, sehingga terjadi salah kaprah seperti begitu ada yang reaktif orang tersebut langsung dianggap positif, kemudian jadi ramai atau sebaliknya, begitu hasilnya non reaktif langsung merasa aman.
Baca Juga: Rapid Test Untuk #HadapiCorona? Ini Kelebihannya Menurut Ahli!
Masih Terjadi
dr. Tonang menilai, sampai sekarang salah kaprah ini masih berlanjut, misalnya ketika orang menggunakan tes antibodi sebagai tes untuk menemukan orang yang berpotensi menularkan virus corona.
Bahkan, lembaga pemerintah pun melakukan yang sama.
Padahal hasil tes antibodi enggak tepat untuk menilai risiko penularan dan untuk menilai risiko penularan seharusnya menggunakan PCR, atau minimal tes antigen.
Akibat salah kaprah ini, sekarang orang-orang mulai protes, misalnya hasil rapid test reaktif membuat mereka harus menjalani isolasi, enggak boleh bertugas, enggak boleh masuk kerja, enggak boleh bersosialisasi, dan lain sebagainya.
Lebih buruk lagi jika orang-orang melaporkan kalau mereka non-reaktif setelah melalui tes yang berbeda dan menjelaskan kalau hasil rapid test sebelumnya keliru, padahal baik reaktif atau enggak, sebetulnya risiko penularan bahkan belum langsung tampak jelas.
(*)
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR