Pelecehan Seksual dan Kebutuhan Ruang Aman
Nah, kalau kata Sarah, ia paling kesal ketika sadar bahwa prinsip musik punk adalah soal melawan kekuasaan, tapi justru ia dan teman-teman perempuannya di gig masih saja menjadi korban kekerasan seksual yang merupakan bagian dari misogini dan kuasa laki-laki.
"Jadinya punk ini kayak patriarkis banget," ujar Sarah, "Padahal kalau lihat skena di luar, mereka bisa mulai menghilangkan si patriarki ini. Kadang masalahnya memang dari budaya kitanya sendiri, sih."
Sarah menyebut, enggak jarang catcalling dan bentuk kekerasan seksual lainnya terjadi di gig musik, termasuk punk.
"Dan itu buat mereka sans (santai) aja. 'Ya udah lah, gitu doang'," jelasnya, "Ya, kita yang cewek juga cuma mau ikut enjoy bareng, dengar musiknya bareng, dengan suasana yang aman dan nyaman juga buat kita. Kan sama saja."
Menurut Sarah, "Akhirnya antara kita sebagai cewek yang harus menjauh, atau kita ikut flow mereka, kayak enggak kenapa-napa padahal risih. Kadang ini juga bikin ada internalized misogyny di perempuannya sendiri."
Mendobrak Misogini dan Maskulinitas Punk
Gerakan riot grrrl bertujuan untuk mematahkan pandangan maskulin dan misoginis yang masih sangat kuat terasa di skena punk, dan enggak bisa dimungkiri, terjadi juga di skena punk Indonesia.
"Iya kayak kalau nonton band di gig aja, atau baca beberapa zine atau konten, masih kelihatan banget gimana kita sebagai cewek, ya, enggak merasa aman walaupun sama-sama suka punk," kata seorang punker perempuan yang bisa dipanggil Acil kepada CewekBanget.id, Sabtu (13/8/2022).
Menurutnya, justru prinsip dasar punk adalah menjadi ruang aman dan ekspresi kebebasan dari penindasan, sehingga aksi seperti pelecehan dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi dalam skena punk tentu menodai nilai tersebut.
Enggak semua orang familier dengan istilah riot grrrl sendiri, tapi upaya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan mematahkan image punk yang sangat maskulin terus digencarkan.
Baik Sarah maupun Acil sama-sama berpendapat, ruang aman itu harus mulai disediakan oleh lingkungan, alih-alih hanya perempuan yang diimbau untuk menjaga diri.
"Ya sekarang misal, kita (cewek) udah menjaga diri, tapi kan perilaku seperti sexual harassment
itu datangnya dari kontrol diri masing-masing,” ungkap Acil.
Sementara itu, Sarah merekomendasikan adanya protokol keamanan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya di gig dan venue, bukan hanya untuk panggung punk, tetapi juga pada berbagai jenis pertunjukan musik yang masih rawan kekerasan seksual.
"Jadi sebetulnya kita cuma butuh ruang buat sama-sama have fun bareng, nikmati musik bareng, tanpa yang cewek harus takut diapa-apain cowok. Punk ini punya semua orang,” kata Sarah.
Jadi kalau kita masih merasa punk itu budaya yang ‘cowok banget’, atau banyak orang yang memandang kita aneh karena menyukai punk meski kita adalah cewek, abaikan saja!
Sama seperti semua jenis musik, punk juga terbuka untuk kita para cewek, dan sudah seharusnya ada ruang aman bagi kita sebagai bagian dari budaya tersebut di sana.
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos, dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.
Baca Juga: Kband Enggak Cowok Doang, Cek Rolling Quartz dan 3 Girl Band Kpop Ini!
(*)
Source | : | The Guardian,Liputan Cewekbanget.id,Ini Scene Kami Juga |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Salsabila Putri Pertiwi |
KOMENTAR