Ruang panitia penuh dengan orang. Aku berinisiatif mencari jarum jahit dan benang, dan berniat menjahit sendiri rok Ratri yang robek.
"Eh, kamu mau apa?" protes Ratri melihatku yang mendekat dengan jarum jahit di tangan.
"Menjahit rokmu. Kecuali kamu ingin menjahitnya sendiri, atau menemukan orang lain yang bisa menjahitkan untukmu."
Ratri menatapku marah. Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain selain membiarkanku menyentuh gaunnya. Tanpa banyak bicara, aku menjahit robekan panjang pada roknya dengan jahitan kecil yang rapi. Sebentar saja, robekan itu nyaris tidak terlihat. Dan Ratri benar, bros mawar merah berdaun hijau yang tersemai di dada kami menjadi pusat perhatian yang manis dari seluruh penampilan kami.
"Bagus. Rapi." Kak Satria memujiku sambil tersenyum. "Siapa yang mengajarimu?"
"Nenek," jawabku singkat sambil memutuskan benang jahitanku. "Selesai."
Wajah-wajah tegang berubah ceria dengan segera. Termasuk Ratri. Walau, kupikir, ia masih terlalu tinggi hati untuk sekadar mengucapkan terima kasih padaku.
"Terima kasih, Kanti," Kak Satria berbicara sambil menyenggol adiknya. Muka Ratri memerah kaku. "Thanks," ucapnya singkat. Aku tersenyum pada keduanya.
"Asyik, ya, punya nenek yang baik dan perhatian. Nenekku sudah lama terkena stroke. Karena penyakitnya itu, ia jadi suka marah-marah." Bisik Ratri saat kami semua berjalan menuju belakang panggung. Aku terpana, menatap Ratri yang terlihat sedikit gelisah dan malu. Nenek tidak pernah marah padaku. Bahkan, ia selalu membantuku setiap ada kesulitan. Detik itu juga kusadari, betapa beruntungnya aku memiliki Nenek di hidupku.
"Nenekmu pasti perempuan hebat. Aku bisa melihatnya pada cucunya ini." Kak Satria menjejeri langkahku sambil tersenyum. Aaah, baru kali ini sebutan cucu nenek terdengar indah di telingaku. Sungguh!
*
(oleh: yulina trihaningsih, foto: tumblr.com)