Hari ini aku melakukan suatu pembaharuan dalam hidupku. Aku mulai mengajak otak dan pikiranku untuk merasakan cinta yang lebih sederhana namun sangat jelas. Ya, hari ini aku menerima tawaran untuk menghabiskan beberapa detik bersama Febri. Jujur, Febri bukan orang yang tidak menyenangkan. Dia manis, baik dan sangat jelas bahwa ia sangat cerdas dengan berbagai prestasi yang diraihnya. Untuk kualitas seperti itu, aku jujur merasa bangga terhadap perasaan yang secara terang-terangan diketikkan Febri padaku.
Kini aku menganut perkataan Nirina dengan baik. Aku mempersilahkan Febri untuk singgah dan bermain-main dengan otak juga hatiku. Mereka sedikit mereka terpaksa namun kuusahakan agar mereka menerima bahwa ini adalah sesuatu yang nyata. Kini, mereka pun mulai terbiasa meskipun sekali-kali ada nostalgia menyebalkan ketika aku memandangi bus Transjakarta yang mondar-mandir depan sekolahku.
"Hari ini motorku dibawa ke bengkel. Jadi pulangnya mungkin nggak pakai motor."
"Oh... ya sudah. Kalau begitu kita naik angkutan?"
"Transjakarta bagaimana?" Tawar Febri dengan memasang senyum paling manis yang sulit kutolak. Aku pun terpaksa mengiyakannya, meskipun kini otak dan hatiku sedang bersorak gembira karena mereka bisa kembali nostalgia dengan hal-hal menyangkut pangeran Transjakarta.
Hal ini lantas benar saja. Begitu aku memasuki halte, nuansa romantis begitu terasa ketika aku mengingat satu kejadian tentang jarum jam beradu mesra di dalam bingkai jam tanganku untuk menantikan saat yang tepat bertemu dengan Transjakarta yang harus aku tumpangi. Inilah yang selalu aku lakukan untuk memperkirakan waktu bus mana yang harus aku tumpangi untuk dapat bertemu dengan cowok itu. Bedanya kali ini tidak perlu dilakukan karena aku memang tidak memiliki alasan untuk itu.
Aku pun naik bersama Febri ke dalam bus yang kebetulan kosong. Hanya beberapa orang yang duduk di sana hingga sekali lihat aku bisa langsung tahu siapa yang duduk di ujung paling kiri bus tersebut. Berbeda dari biasanya kali ini dia memandang ke arahku. Dia adalah si tampan berbadan tegap itu. Dia adalah pemilik sosok yang kurindukan. Dia itu adalah si pangeran Transjakarta.
Detik itu perasaanku sangat bahagia. Hatiku bersorak kegirangan ketika dia masih memandangiku. Otakku pun membenarkan bahwa sepasang retinannya memang mengarah pada diriku yang saat itu duduk di samping Febri. Oh.... betapa melayangnya saat itu. Kini khayalan itu seperti sangat dekat. Sangat nyata. Terlebih lagi saat ini dia memasang senyum manis itu lagi dan mengangkat sebelah tangan kanannya yang memberikan tanda bahwa ia sedang menyapa. Ia benar-benar menyapa dan sekaranglah waktunya untuk mengambil kesempatan yang sangat langka ini, meski aku sadar bahwa Febri sedang membayang di sampingku.
Aku pun mengangkat sebelah tangan kananku dan mulai tersenyum ke arahnya dengan senyum yang paling manis yang mungkin kumiliki. Detik itu aku masih merasakan betapa besar kata bahagia hingga pada detik selanjutnya bahagia itu berubah menjadi sebuah tanda tanya. Cowok itu menurunkan tangannya. Senyumnya yang manis pun hilang. Aku merasa ini pasti ada sebuah bentuk kesalahan. Maka, aku pun memutuskan untuk langsung menoleh ke arah Febri yang ternyata sudah sejak tadi sudah memperhatikanku. Raut wajahnya penuh tanda tanya. Ia bingung. Aku pun juga masih bingung. Terlebih lagi dengan posisi tangannya yang terangkat sebelah. Kini aku menoleh lagi ke arah cowok itu. Ia kembali memasang senyumnya hingga sebuah suara menyadarkanku.
"Kamu kenal sama pacar kakak aku, Tari?????"
(Oleh: Umi Chairunnisa, foto ilustrasi: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR