"Tari....... Coba deh dipikir lagi! Cowok itu tidak mengenal kamu. Kamu juga tidak mengenal cowok itu. Kalian bahkan tidak saling menyapa. Oke, kamu suka sama dia, tapi dia? Lebih baik suka sama orang yang kamu kenal baik dibandingkan sama orang yang nggak pernah jelas siapa namanya dan bagaimana sifatnya. Lihat deh... Febri! Dia itu sudah suka sama kamu sejak lama. Mama kamu juga sudah kenal sama Febri. Nah...... sekarang biarkan pangeran itu tinggal di khayalan kamu saja!"
Jalan tampaknya terasa sangat terjal ketika sahabatku, Nirina mengatakan hal yang menurutku cukup kejam. Kukatan cukup kejam, karena apa yang dikatakannya bukan tanpa alasan yang jelas. Makna yang disampaikannya secara denotatif diutarakan dengan penuh kejelasan dan aku sangat mengerti. Namun, sekali lagi hati ini membandel. Tak hanya hati, pikiranku pun ikut-ikutan membayangkan sosok istimewa si pangeran Transjakarta.
Hufth!!!! Memandanginya pagi tadi sejujurnya membuatku gatal untuk menyapanya. Ingin rasanya memberitahunya bahwa aku adalah gadis usil yang mengaguminya dari sejak awal pertemuanku dengannya. Ingin rasanya mengungkapkan bahwa dari detik pertama aku bertemu dengan raut senyumnya yang manis, pikiranku tidak berhenti untuk menggambar sosoknya. Ya, ia tampak begitu sempurna. Tak ada hal lain yang aku harapkan selain berjam-jam memandanginya seperti pagi ini.
Namun perkataan yang timbul dari pikiran Nirina mulai membuatku sadar bahwa aku mungkin jatuh cinta pada orang yang tidak tepat. Mungkin memang ada benarnya bila aku tepatnya memberikan perasaan yang selama ini kupagari dengan baik kepada orang yang kukenal dengan baik. Namun mungkinkah? Ketika hati dan pikiran ini selalu sukses membuat deskripsi tentang pangeran khayalan dari bus Transjakarta itu. Aku boleh terpana sekarang. Aku pun juga boleh tergoda. Tapi sepertinya benar apa yang dikatakan Nirina, aku tidak boleh membiarkan diriku terjebak cinta yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuatku sakit hati dan terluka.
***
Aku meminta hatiku untuk berhenti, namun perasaan penasaran akan pangeran khayalan itu semakin diatas langit. Ia semakin jauh menembus hati dan pikiranku hingga sulit untuk mengusirnya dari sana. Imbasnya saat ini aku mulai mengharap hal-hal diluar kendali otakku. Perasaanku terhadapnya mulai tidak beres. Perasaanku terhadapnya mulai menemukan titik akses dimana tak sepatutnya menyukai orang ini terlalu dalam. Ia semakin terasa membayangi diriku. Padahal semakin hari, tak ada tanda-tanda lain kecuali aku saja yang memandanginya. Ia masih saja terlihat cuek dan sibuk dengan lagu yang diputarnya.
Sekarang aku semakin ingin jatuh. Aku semakin ingin menangis. Terlalu banyak spekulasi negatif, membuatku menyadari satu hal. Aku telah menyukainya lebih dari aku menyukainya kemarin. Aku bahkan mulai berani melepaskan harapan kosong itu berkeliaran di aliran deras darahku. Hari ini setiap cairan darahnya mendeskripsikan satu hal, seorang pangeran tampan yang naik Transjakarta.
Setiap hari deru CO2 yang keluar dalam setiap detik waktu berisikan kalimat-kalimat yang dapat menandai dirinya di atas hatiku. Ya, ampun rasa itu seperti mulai menusukku. Ia mulai membayangi setiap asa dalam benakku yang tak tersampaikan dengan baik. Kini aku terjebak dalam perasaan yang aku buat sendiri. Aku terjebak untuk mengalah pada keadaan dimana dari awal aku telah berjanji hanya untuk menggarisi perasaan ini sebagai rasa kagum. Tidak lebih. Namun, aku mulai melepaskan keyakinan itu. Padahal jelas-jelas cowok itu tak pernah akan mau turun untuk menghampiriku dan menarik uluran perhatian yang ternyata diam-diam aku tebar. Dia tetap akan disana. Di atas langit yang sulit kujangkau. Di atas langit yang sulit untuk kudaki terjalnya. Sakit sekali rasanya!
***
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR