
"Hei kemana saja kamu? Sudah empat hari aku tidak menemukanmu di Transjakarta yang biasa kunaiki. Sudah naik pangkatkah dirimu sekarang hingga tak lagi menunggangi Transjakarta?Jujur aku rindu dengan parasmu...... Namun, tidak bertemu denganmu seperti ini rasanya lebih baik. Setidaknya otak dan hatiku tidak lagi meraba hal yang abstrak!"
Ungkapan terakhir yang aku ketik di dalam hatiku merupakan rasa lelah sekaligus rasa rindu yang terpupuk sendiri tanpa sengaja. Sebenarnya ini adalah ungkapan paling jujur yang aku rasakan. Itu adalah isi dari keseriusan yang semoga didengarkan oleh otakku yang secara perlahan akan sadar dan menghentikan kegiatannya untuk terus menerus membuat deskripsi tentang cowok yang kusebut pangeran Transjakarta itu.
Sudah empat hari aku tidak menemukannya. Selama itukah waktu yang digunakannya untuk berlibur? Ataukah selama ini ia tahu bahwa aku selalu memperhatikannya? Karena ketidakhadirannya hari ini dan tiga hari sebelumnya adalah semiotik bahwa sebenarnya dia sadar aku selalu memandanginya dan diam-diam mengaguminya. Aku memakluminya karena bentuk ketidakhadiran ini adalah ucapan bisu yang mampu diutarakannya. Bentuk ini memang paling ampuh untuk memperlihatkan realita bahwa aku percuma merasakan perasaan seperti ini.
Sejujurnya aku berharap dia tidak melakukan hal ini. Seharusnya ada ungkapan terakhir sebelum dirinya benar-benar pergi dan tak kembali. Namun, bila harapan yang satu ini terkatakan dengan baik, aku justru semakin tidak rela untuk membiarkannya melepas realita untuk dilihat otak dan hatiku. Kini aku memang terpenjara. Dalam raut kesedihan penuh kenyataan pahit, aku bersikap memang seharusnya tak mengharap apa-apa. Ya, mulai hari ini aku harus terbiasa tak melihatnya.
***
Hari ini aku melakukan suatu pembaharuan dalam hidupku. Aku mulai mengajak otak dan pikiranku untuk merasakan cinta yang lebih sederhana namun sangat jelas. Ya, hari ini aku menerima tawaran untuk menghabiskan beberapa detik bersama Febri. Jujur, Febri bukan orang yang tidak menyenangkan. Dia manis, baik dan sangat jelas bahwa ia sangat cerdas dengan berbagai prestasi yang diraihnya. Untuk kualitas seperti itu, aku jujur merasa bangga terhadap perasaan yang secara terang-terangan diketikkan Febri padaku.
Kini aku menganut perkataan Nirina dengan baik. Aku mempersilahkan Febri untuk singgah dan bermain-main dengan otak juga hatiku. Mereka sedikit mereka terpaksa namun kuusahakan agar mereka menerima bahwa ini adalah sesuatu yang nyata. Kini, mereka pun mulai terbiasa meskipun sekali-kali ada nostalgia menyebalkan ketika aku memandangi bus Transjakarta yang mondar-mandir depan sekolahku.
"Hari ini motorku dibawa ke bengkel. Jadi pulangnya mungkin nggak pakai motor."
"Oh... ya sudah. Kalau begitu kita naik angkutan?"
"Transjakarta bagaimana?" Tawar Febri dengan memasang senyum paling manis yang sulit kutolak. Aku pun terpaksa mengiyakannya, meskipun kini otak dan hatiku sedang bersorak gembira karena mereka bisa kembali nostalgia dengan hal-hal menyangkut pangeran Transjakarta.
Hal ini lantas benar saja. Begitu aku memasuki halte, nuansa romantis begitu terasa ketika aku mengingat satu kejadian tentang jarum jam beradu mesra di dalam bingkai jam tanganku untuk menantikan saat yang tepat bertemu dengan Transjakarta yang harus aku tumpangi. Inilah yang selalu aku lakukan untuk memperkirakan waktu bus mana yang harus aku tumpangi untuk dapat bertemu dengan cowok itu. Bedanya kali ini tidak perlu dilakukan karena aku memang tidak memiliki alasan untuk itu.