"Kamu kenapa Din? Pagi-pagi udah nguncir bibir aja, ntar jadi kayak Omas, lhoo!"
"Ri, aku pengin putus dari Fatah" bisikku pelan
"Lho, lho, kenapa emang? Kamu yakin? Serius?" Riri kaget, dan tanpa sadar dia berbicara dengan intonasi tinggi, sampai-sampai sepenjuru kelas memandanginya.
"Aku tau dia kaku dan cuek, dan aku enggak bisa nerima itu semua."
"Din, itu konsekuensi yang harus kamu terima dari awal, kan. Kamu udah tau kalo dia orangnya memang kayak gitu."
"Iya aku tau, aku pikir dia enggak akan secuek ini sama pacarnya. Eee, ya udahlah. Keputusanku sudah bulat."
"Terserah kamu, sih. Tapi jangan jadi orang bodoh, jangan nyesel udah mutusin Fatah. Itu semua keputusan kamu, dan setiap keputusan selalu ada resiko." Riri menepuk-nepuk bahuku, dan mencoba menguatkanku.
Pak Wira masuk kelas, dan seketika suara gemuruh itu menghilang dan tergantikan sunyi.
Fatah itu cowok baik-baik, tapi aku juga enggak tahan kalau diacuhi terus-terusan. Aku sudah bertekad untuk mutusin Fatah hari ini juga. Aku bingung, aku enggak enak mutusin Fatah lewat telepon. Meskipun agak enggak sopan mutusin orang lewat sms, tapi aku bener-bener enggak tega ngomong langsung ke dia. Akhirnya kukirimkan sms itu.
Fatah, aku masih sayang sama kamu, tapi aku udah ngga bisa ngelanjutin hubungan kita. Maafin aku ya, makasih untuk semuanya :)
Sejam berlalu, dan hari berganti. Fatah enggak menanggapi smsku, aku menganggap dia setuju putus denganku.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR