Aku melihat aku telah berada di dalam sebuah rumah, bersama orang-orang asing dengan pakaian pesta mereka. Mereka tertawa, tersenyum, terharu, bangga. Di tengah ruangan ada sebuah kue, kurasa kue ulang tahun. Tapi tidak ada lilin di atasnya yang menandakan umur orang yang berulang tahun. Saat aku mendekat, aku terkejut melihat peti mati yang ada di bawah kue itu.
"Selamat datang di negasi!" seru Remo.
"Mereka merayakan kematian? Mereka gila! Mereka gila, kan?" aku kembali histeris.
"Ha-ha-ha! Tidak ada orang yang lebih gila daripada orang yang menganggap dirinya tidak ada, kan?" sahut perempuan misterius itu. Ia menatapku lekat-lekat, dan matanya berkaca-kaca.
Aku tersadar. Ya, aku tersadar. Berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menganggap diriku hanya milik imajinasi. Tubuhku gemetar. Ternyata aku menangis.
"Sekarang, coba kau lihat perempuan-perempuan yang ada di sini," pintanya lembut.
Kuseka airmataku, lalu mencoba melihat sekeliling. Sekilas aku melihat beberapa sosok ramping yang cantik, lalu memudar. Abu-abu. Kabur. Aku kehilangan mereka dari pandanganku. Aku tesentak oleh keabu-abuan ini, lalu kembali menangis.
"Aku...aku Punctum Remotum1. Aku titik terjauh yang bisa kaulihat mengenai kenyataan. Akulah titik terjauh yang bisa kau lihat mengenai seorang perempuan. Ingat waktu aku memeluk dan menciummu? Itulah harapanmu terhadap seorang perempuan, terhadap kenyataan. Tapi bukan begitu caranya. Justru kau yang harus berusaha menerima kenyataan," katanya. Sekarang ia ikut menangis. Ia kembali memelukku.
"Bagaimana...caranya?" tanyaku lirih. Begitu dingin. Basah. Air! Kami berdua sedang tenggelam! Remo melepaskan pelukannya yang hangat, lalu menunjuk sebuah lubang di permukaan es di atas sana. Ia memintaku berenang ke sana. Aku tak tahu bagaimana kami berdua sampai di sini, tapi akhirnya aku berenang ke atas sana sekuat tenaga. Ingin kulihat kelembutan wajah Remo yang misterius untuk terakhir kalinya, tapi aku takut mati kehabisan napas. Aku berenang menjauh, berenang, berenang sekuat tenaga. Hampir sampai! Saat aku nyaris merain lubang keluar itu, sayup-sayup aku mendengar suara Remo.
"Terimalah...dan tetaplah menjadi kenyataan...begitulah caranya." Aku menoleh, melihat Remo tersenyum. Kubalas senyumannya untuk terakhir kalinya, lalu keluar melalui lubang itu, dan....
Rabu. Astaga! Aku tertidur selama pelajaran bahasa Prancis! Tapi cukup menyenangkan. Menyenangkan dan mengharukan. "Tetaplah menjadi kenyataan," kuulang kalimat itu dalam kepala. "Baiklah," gumamku
Bel pulang berbunyi. Aku menuju kantin lantai 1, makan sore sebentar, lalu berencana pergi ke Atrium untuk mencari novel untuk tugas bahasa Indonesiaku. Aku menunggu mikrolet M 01 di pinggir jalan. Di sebelahku berdiri seorang perempuan cantik berambut hitam panjang dan halus. Matanya cokelat, indah dan manis. Wajahnya yang cantik begitu kaku dan bibirnya yang merah terkatup rapat.
"Halo, menunggu M 01 juga?" tanyaku padanya.
"
Ya," jawabnya singkat tanpa menoleh.
"Siapa namamu?" tanyaku, tak peduli apakah dia akan curiga padaku.
"Proxi," jawabnya. Kini dia menoleh. Dia meraih tanganku, menjabatku sambil tersenyum. Proxi. Punctum Proximum2.
Realita, aku siap.
***
1 Punctum Remotum: Titik jauh, yaitu titik terjauh benda yang masih dilihat mata dengan jelas saat mata tidak berakomodasi.
2 Punctum Proximum: Titik dekat, yaitu titik terdekat benda yang masih dilihat mata dengan jelas saat mata berakomodasi secara maksimum.
(Oleh: Jonah Mario Simorangkir, foto: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR