"Halo. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Sha! Besok malam kamu ada acara, enggak?"
"Kayaknya enggak ada. Kenapa, Vin?"
"Aku mau ngajak kamu makan malam di tempat biasa kita makan sama temen-temen."
"Kayaknya bakal ada traktiran, nih. Asik." Narsha tertawa kecil di balik ponselnya.
"Iya, aku traktir deh, minumnya aja, tapi." Vino pun tertawa di seberang sana."
"Kamu ini, masih aja pelit. Hitung-hitung traktiran abis mudik."
"Iya, iya. Takut banget enggak ditraktir."
"Good boy."
"Tapi, kita berdua aja."
"Berdua?" tanya Narsha heran. Belum pernah Vino secara khusus mengajaknya makan malam berdua. Biasanya mereka selalu bertujuh.
"Iya, berdua. Kenapa? Enggak mau?"
"Iya... iya, aku mau." Narsha masih memasang wajah heran."
"Oke, jam tujuh aku tunggu di sana. Maaf ya, aku enggak bisa jemput kamu."
"Iya. Santai aja."
Obrolan pun berlanjut ke hal-hal yang tidak penting tapi menjadi penting bagi mereka. Obrolan dua orang sahabat yang sudah tiga hari tidak bertemu karena salah satunya tengah mudik dan besok baru akan kembali.
* * *
Seperti biasa, hari Sabtu merupakan hari rutin Narsha bersama ketiga sahabatnya, Dara, Yuri, dan Sazy, untuk shopping. Siapa lagi pencetusnya kalau bukan Dara yang mempunyai hobi itu.
"Jam berapa sekarang?" tanya Narsha. Sudah sejak pukul dua siang tadi mereka beraksi di mall ini.
"Jam empat." jawab Sazy.
"Ha? Udah jam empat? Pulang yuk...." Narsha mengajak ketiga sahabatnya untuk pulang.
"Kenapa kamu pengin cepet pulang, Sha? Kan baru dua jam," tanya Dara dengan wajah belum mau pulang. Dara memang membutuhkan waktu yang lama untuk shopping. Dara tidak akan rela kalau harus pulang jam empat karena biasanya mereka pulang sekitar jam enam.
"Kamu kayak enggak tau aja, Ra. Narsha kan mau jalan bareng pangerannya. Vino kan pulang hari ini dari Surabaya," tebak Yuri.
"Yang bener?" tanya Dara. Narsha hanya bisa tersenyum."
"Vino ngajak aku makan malam berdua," lanjut Narsha sambil menahan senyum senangnya."
"Berdua? Curang. Kami enggak di ajak? Biasanya kan kita bertiga, Gilang, dan Ian juga ikut," sahut Sazy seolah tidak terima."
"Jadi kamu lebih mentingin Vino daripada kita?" lanjut Dara pula. Membuat Narsha menjadi bingung.
"Bukan begitu. Ya udah, nanti aja kita pulang," Narsha berkata sendu.
"Ooo...tidak bisa, kita harus pulang sekarang, aku juga udah bosan di sini," ucap Sazy. Sazy tidak terlalu suka shopping, tapi demi kebersamaan dengan sahabat-sahabatnya, ia merelakan dirinya untuk selalu ikut di rutinitas mereka ini, meskipun mereka pulang dengan barang yang hanya dibeli oleh Dara.
"Sazy gitu, sih." Dara menunjukkan wajah cemberutnya pada Sazy-si gadis tomboy-yang sedang meledeknya.
"Kayaknya bakal ada pernyataan cinta malam ini." Yuri melirik Narsha sambil tersenyum sok yakin.
"Ciieeee..." Mereka bersorak sambil mendorong-dorong Narsha tidak jelas. Suara mereka cukup untuk membuat orang yang lewat di sekitar mereka tertarik untuk melihat.
"Apaan, sih, kaliaaan, itu enggak mungkiin." Narsha mencoba menyelamatkan diri.
"Yuk, kita pulang!" ajak Sazy sambil merangkul Narsha dan Dara.
Dara membuka pintu mobilnya. Narsha duduk di samping Dara dan yang lain duduk di belakang. Dara mulai menjalankan mobilnya. Suasana di jalan masih terlihat aman-aman saja selama sekitar lima belas menit ke depan. Namun, tidak untuk setelahnya. Saat di tikungan jalan, tiba-tiba sebuah truk muncul tak terduga di hadapan mereka, dengan kecepatan tinggi, dan menuju ke arah mobil Dara. Dara berteriak kaget diikuti dengan ketiga sahabatnya. Truk itu terus melaju, sedangkan Dara mencoba mengelakkan mobilnya. Ia sadar ia tidak salah jalan dan berada di jalur yang benar. Namun, truk itu masih saja mengambil jalur mereka. Teriakan semakin menjadi saat sisi kanan mobil terkena truk karena tak sempurna menghindar dan mobil Dara miring hampir terbalik.
Jantung Narsha berdebar cepat tak beraturan. Sama halnya dengan Dara, Sazy, dan Yuri. Suasana santai seketika berubah mengerikan. Dunia serasa terbalik. Hitam. Dan setelah itu-mereka-tidak sadarkan diri.
* * *
Narsha mulai tersadar saat ia merasa tubuhnya diangkat untuk dikeluarkan dari mobil. Narsha menyapu sekeliling dengan matanya yang buram. Mobil Dara menabrak pohon. Bagian depan mobil terbuka dengan bagian atasnya remuk dan mesin mobil mengeluarkan asap yang banyak.
Narsha terduduk di tanah. Ia merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Ia melihat hari sudah gelap. Matahari tak lagi menyapanya. Terlintas di pikirannya tentang Vino. Tentang janjinya pada Vino. Ia harus menemui cowok itu. Sekaligus memberitahukan tentang kondisi mereka berempat saat ini.
Narsha berdiri perlahan. Ia mencoba berjalan. Terpikir olehnya mengenai kondisi ketiga sahabatnya. Ia melihat Yuri, Dara, dan Sazy sedang diangkut dan sepertinya akan dibawa ke rumah sakit oleh warga sekitar. Narsha merogoh kantung celananya. Ia tidak menemukan ponsel dan dompetnya. Keduanya tertinggal di dalam tasnya yang berada di dalam mobil Dara. Narsha mencari-cari tasnya, namun ia tidak menemukannya. Ia harus memberitahukan keadaan mereka kepada siapa saja yang mereka kenal. Tidak ada pilihan lain. Rumah makan yang ditujunya berjarak dekat dari lokasi kejadian. Gadis mungil itu pun berlari bersama luka-luka yang tergores di tubuhnya.
Narsha berhenti. Rumah makan itu sudah tepat di hadapannya. Narsha menjejakkan kaki di sana. Suasana santai seketika menyambutnya. Sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Narsha menelusuri pandangannya ke segala sudut dan menemukan seorang cowok berkaos cokelat duduk di sebuah meja, terlihat manis dan rapi malam ini. Ia menghampiri cowok itu dan menduduki kursi yang ada di depannya.
"Vino. Maaf aku telat. Aku tadi...." Narsha yang tadinya panik, seketika menghentikan omongannya. Vino tidak memperhatikannya. Vino hanya diam.
"Vin! Vino!" Narsha memanggil lagi. Vino masih terdiam dan terus menatap kursi yang Narsha duduki.
"Vino! Hellooo...." Narsha melambaikan tangannya ke wajah Vino. Tidak ada respon apa pun dari Vino. Seakan Vino tidak menyadari kehadirannya.
Narsha melihat sebuah mawar putih terletak rapi di atas meja mereka. Di sebelahnya terletak sebuah kotak musik. Narsha tersenyum menatap Vino.
Vino masih terdiam. Sudah satu jam ia menunggu. Narsha gadis yang disiplin. Ia tidak pernah telat, apalagi selama ini. Ponselnya pun tidak dapat dihubungi. Ia sudah mencoba menghubungi Yuri, tapi ponsel Yuri juga mati. Kekhawatirannya membuatnya bingung dan termenung, menunggu jawaban yang entah kapan datangnya.
Narsha ikut terdiam. Tangannya tergerak untuk mengambil mawar putih yang ada di hadapannya, meskipun ia tidak tahu apakah mawar itu akan diberikan Vino untuknya atau tidak. Namun, tangannya terhenti ketika ia mendengar Vino memanggilnya.
"Narsha." Vino tersentak lembut dari lamunannya sambil menyebut nama Narsha. Namun, setelah itu, Vino tidak merespon apa pun. Seolah-olah ia tidak melihat Narsha.
Narsha semakin heran. Beribu pertanyaan seketika menumpuk di kepalanya. Ia mulai merasa takut. Dan ketakutannya semakin nyata saat darah segar mengalir dari pelipis kanannya. Narsha memegang darah itu. Matanya membelalak. Bibirnya tidak dapat bergerak.
"Vino?!" sapa seorang gadis yang tiba-tiba datang menemui Vino.
Wajah yang tidak asing bagi Narsha seketika muncul.
"Sani." Narsha terheran. Semua ini membuatnya bingung luar biasa. Kenapa Sani tiba-tiba muncul.
"Eh, hai, San!" balas Vino.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Sani lembut. Ia menunjuk bangku yang sedang diduduki Narsha.
Narsha semakin bingung. Sani pun menduduki kursi yang diduduki Narsha setelah Vino menyilahkannya. Dan. Tembus. Sani dapat menembus tubuh Narsha. Narsha semakin panik. Ia berdiri. Matanya bergantian melihat Vino dan Sani. Tatapan nanar menguasainya.
Narsha menangis. Ia baru menyadari kondisi tubuhnya yang penuh darah. Tangannya, kakinya, dan badannya, penuh dengan luka. Dan kepalanya masih mengeluarkan darah. Ia berlari meninggalkan rumah makan itu. Meninggalkan Vino. Dan juga Sani.
Narsha terus membatin. Apa hidupnya telah berakhir? Apa semuanya tinggal kenangan? Keluarganya. Sahabat-sahabatnya. Terputar bagai memori yang sayang untuk dihilangkan. Ia masih tidak menyangka kecelakan tadi telah menghilangkannya dari dunia nyata. Ini semua terjadi begitu cepat. Ketakutan dan kepanikan terus melekatinya.
Narsha ingin ke rumahnya untuk melihat paras keluarganya yang terakhir kali. Narsha berlari. Terus berlari. Dengan air mata yang sudah ribuan tetes keluar. Namun sebuah batu menghentikan pelariannya. Ia terjatuh. Tidak sadarkan diri.
* * *
Narsha berada di suatu tempat gelap. Beratapkan langit kelam. Ia melihat sesosok manusia yang sangat ia sayang dan ia rindukan. Kak Adif. Kakaknya yang meninggal karena kecelakaan sekitar tiga tahun yang lalu.
Adif sedang melihat Narsha. Walau hanya sedikit dan samar-samar, Narsha dapat melihat senyuman Adif yang sering Adif berikan pada Narsha dulu. Setelah itu, Adif melangkah pergi. Narsha memanggil Adif berkali-kali sambil mengejarnya dengan cepat. Namun, lari Adif lebih cepat. Narsha terus memanggil. Dan tiba-tiba muncul sinar putih yang sangat menyilaukan. Narsha melihat kakaknya hilang dalam sinar itu. Dan Narsha hanya melihat seberkas cahaya putih yang menyilaukan matanya.
"Kak Adif.... Kak Adif...." Suara Narsha terdengar lemah dan serak. Pandangannya samar-samar.
"Narsha...." terdengar lembut suara Vino menjawab suara Narsha sambil menggenggam tangan kanan Narsha dengan kedua tangannya.
"Kak Adif...."
"Narsha, Kak Adif udah enggak ada, Sha."
"Tapi...tadi aku lihat Kak Adif, Vin."
"Kamu pasti mimpi Kak Adif, kan? Dari tadi, kamu manggil Kak Adif terus."
"Vin. Apa aku masih hidup?" tanya Narsha dengan penuh harap.
"Kamu bicara apa, Narsha? Apa kepala kamu terbentur sangat keras tadi? Kamu masih hidup, Sha." Vino menjawab dengan nada lembut bercampur heran.
Alhamdulillah. Ya Allah, begitu baiknya Kau padaku, memberikan aku kesempatan untuk hidup lagi setelah semuanya terasa hilang. Narsha membatin.
"Ini di mana?" tanya Narsha sambil melihat-lihat seisi ruangan.
"Di rumah sakit."
"Di mana Dara, Yuri, dan Sazy?"
"Syukurlah kamu enggak hilang ingatan," ledek Vino. Narsha tersenyum. "Kamu jangan banyak pikiran dulu. Mereka udah mendingan. Kamu yang paling gawat. Sejak kecelakaan itu, kamu koma dan sekarang baru boleh dijenguk dan baru sekarang juga kamu sadar."
"Memangnya sekarang hari apa?" tanya Narsha.
"Minggu. Tepatnya, malam Senin."
"Hah?" Narsha terkejut, namun seketika ia kembali normal.
"Oh iya, Papa dan adik kamu udah pulang. Mama kamu udah tidur di sofa. Ini udah jam satu lewat soalnya. Sedari tadi kamu ditungguin, tapi enggak sadar-sadar," lanjut Vino.
"Oh. Maaf." Mata kedua remaja itu bertemu sambil tersenyum. "Vin, kemarin, kamu ngapain aja sama Sani?" Narsha mencoba bertanya. Ia ingin memastikan benar tidaknya apa yang ia lihat waktu itu. Vino terlihat terkejut. "Malam itu, aku datang Vin. Aku memenuhi janjiku untuk datang malam itu. Tapi, kamu enggak bisa ngeliat aku," lanjut Narsha.
"Maksud kamu...kamu datang, tapi aku enggak bisa ngeliat kamu.... Maksudnya?"
"Kenapa kamu enggak bisa mencerna omongan aku, sih? Kamu enggak percaya?"
"Kamu, kamu bercanda, kan? Kamu masih di tempat kecelakaan waktu itu, Narsha." Vino masih heran tidak percaya.
"Aku serius Vino. Benar kan kamu kemarin sama Sani?" tanya Narsha lagi.
"I...iya. Tapi, cuma sebentar. Sani kebetulan melihatku waktu itu. Berarti kamu ngeliat aku sama Sani malam itu, Sha?" tanyanya masih dengan wajah tidak percaya. "Tapi, kamu enggak cemburu, kan?" ledek Vino.
"Vino apaan, sih," Narsha berubah manja. "Aku kira itu juga mimpi. Ternyata enggak, ya." Narsha masih menyimpan tanda tanya tentang Vino dan Sani. Sementara Vino masih berkelahi dengan pikirannya dan dengan apa yang baru saja ia dengar. "Mawarnya, untuk Sani, ya?" lanjut Narsha ingin menghentikan rasa penasarannya.
"Hah? Kamu liat juga? Astaga. Aku masih enggak percaya Sha." Vino terdiam. Narsha tidak pernah berbohong padanya. "Ini mawar yang kamu lihat?" Vino mengambilnya dari atas meja. Narsha mengangguk. "Ini buat kamu. Herannya, mawar ini masih segar."
Narsha mengambil mawar putih itu dan tersenyum senang. Vino mengambil kotak musik yang ingin diberikannya juga pada Narsha. "Kamu lihat ini juga?" tanya Vino.
Narsha mengangguk. Vino membuka kotak musik yang dipegangnya dan sebuah melodi keluar dari kotak itu. Musik favorit Narsha dan Vino terdengar lembut di ruangan sepi itu. Canon. Musik yang diperdengarkan Narsha pada Vino saat pertama kali mereka bertemu.
Narsha dan Vino saling menatap. Saling tersenyum. Hidup kita tidak ada yang tahu.
(Oleh : Nurul Aviva Purnamawanti, foto: flickr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR