Beliau adalah Mak Ujah, janda tua yang ditinggal mati suaminya yang bertugas dalam mempertahankan negara. Rumahnya berada tak jauh dari rumahku sehingga selalu terlihat dari muka toko kainku. Saban matahari bakal purna, Mak Ujah selalu menyapu dan membersihkan rerumputan liar di halaman rumahnya yang luas. Seolah berusaha membuat rumahnya terlihat bersih dan terawat walau sebenarnya rumah itu sudah reot.
Tak jarang aku berniat untuk membantu Mak Ujah. Sayangnya beliau selalu menolak dan berkata bahwa tubuhnya masih kuat untuk melakukannya. Namun aku yang terlahir dengan dasar anak yang keras kepala seringkali tak menghiraukan larangan beliau untuk membantu. Kadang aku langsung mencucikan piring kotor dan menanakkan nasi di pawon.
Bukannya aku sombong dan ingin dipuji, aku hanya merasa iba saat melihat orang serenta Mak Ujah harus melakukan pekerjaan rumah sendirian. Mencuci baju di sungai, membersihkan kandang kambing, mencari kayu bakar di hutan, dan juga membuat sapu lidi yang menjadi mata pencaharian Emak.
Sebenarnya Mak Ujah tidak sendirian. Beliau mempunyai anak tunggal bernama Bagus Adi Santosa, nama yang bagus, bukan?
Semenjak kepergian suami Mak Ujah, ekonomi keluarganya menjadi berantakan. Untuk mendapatkan sesuap nasi pun menjadi sangat sukar. Maka dari itulah, Bagus yang baru lulus SMA merasa bertanggung jawab dan menanamkan anggapan bahwa dirinya harus berhasil karena sekarang dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Bagus pergi merantau ke kota metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib. Dengan bermodal skill dan kepandaian lebih yang memang dikaruniai oleh Tuhan, juga doa yang selalu mengalir dari mulut Mak Ujah, lahirlah Bagus yang baru. Dari pemuda desa yang biasa saja, menjadi pengusaha perkebunan terkemuka di Jakarta. Tuhan selalu mempermudah langkahnya.
Bagus menjadi sangat jarang mengunjungi Mak Ujah. Penyebabnya bukan karena ia telah besar kepala, tapi karena tuntutan pekerjaan yang makin hari kian sibuk. Ditambah lagi transportasi menuju desa ini juga begitu sulit, sehingga memakan waktu yang cukup banyak untuk mencapai desa ini.
Bagus pun menyiasati dengan membeli ponsel yang mudah digunakan untuk Emak. Namun karena buruknya sinyal di desa kami, telepon dari Bagus untuk Mak Ujah pun sering tidak dapat tersambung. Keadaan ini mengingatkanku pada peribahasa 'bagai mengukir di atas air.'
"Kadang-kadang Emak nangis, Nduk. Emak kangen Bagus," begitu curhat Mak Ujah padaku.
***
Suatu hari Mak Ujah datang ke tokoku untuk membeli benang jahit yang sesuai dengan warna baju yang beliau bawa.
"Benangnya mau dibuat apa, Mak?" tanyaku.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR