Hitam. Putih. Abu-abu.
Bagaimana rasanya jika kamu ditakdirkan berteman hanya dengan tiga warna itu? Bagaimana rasanya jika selusin warna lainnya tidak bisa kamu nikmati keindahannya?
Bibir Raga bergerak pelan, merapal beberapa kalimat yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Ia tengah berbaring di ranting kokoh pohon mangga depan rumah, menerawang langit jam sembilan malam yang pucat oleh awan pekat. Ia begitu terbiasa seperti ini, mengencani pohon mangga yang ditanam saat ia lahir tujuh belas tahun lalu. Terkadang ia membawa gitar, memetiknya keras-keras hingga Elma, tetangganya, berteriak kesal dari jendela kamarnya di lantai dua.
Ugh! Raga meraup daun mangga kuat-kuat dan menyentakkannya ke tanah. Seharusnya daun itu berwarna hijau. Tapi hanya warna abu-abu gelaplah yang tertangkap matanya. Deretan rumah di kompleks tempatnya tinggal juga berwarna abu-abu. Meski kata Elma, setiap rumah dicat dengan warna berbeda.
Pikiran Raga melayang jauh. Seperti apakah warna merah itu? Seterang apakah warna kuning? Seindah apakah warna merah jambu? Raga ingin tahu, tapi tak bisa. Ia hanya mendengar warna-warna itu dari cerita Elma. Warna merah jambu, misalnya. Elma pernah berkata bahwa merah jambu selalu identik dengan warna hati, perpaduan merah dan putih yang menghasilkan warna cantik nan lembut.
Rhein. Sosok dengan nama hujan itulah yang sukses menggambarkan warna merah jambu dalam hatinya. Ya, ini pertama kalinya Raga jatuh cinta, sekaligus pertama kali pula ditolak mentah-mentah. Kemarin, pagi-pagi sekali ia pergi ke sekolah dan meletakkan setangkai mawar pink di meja Rhein. Namun yang terjadi siang harinya sama sekali di luar dugaan Raga. Rhein melempar mawar pink itu sambil berkata, "Gue nggak suka mawar kuning, tahu!" lalu ia pun melesat ke kantin.
Mawar kuning? Dahi Raga berkerut bingung. Ia memang meminta bantuan Donni untuk membelikannya bunga mawar. Ia bilang itu mawar pink. Tanpa pikir panjang Raga langsung meletakkan mawar itu di meja Rhein. Tak tahunya ia sedang dikerjai Donni! Tanpa wajah berdosa, Donni cs terbahak-bahak paling keras menyaksikan drama paling memukau abad ini. Dan tawa mereka bertambah keras saat Rhein menginjak mawar itu sebelum melemparnya jauh-jauh.
Suara deru motor terdengar dari ujung jalan. Raga menepis jauh-jauh lamunannya. Lalu beberapa menit kemudian, motor itu berhenti tepat di samping rumah Raga. Sosok Elma turun dari motor dan langsung berlari kecil menuju teras. Wajahnya cemberut menahan kesal. Saat membuka pintu, entah kenapa ia menoleh pada pohon mangga di seberang rumah, melihat sosok Raga samar-samar di ranting pohon. Elma menutup pintu dan memutuskan menghampiri Raga.
"Ivan ke mana? Kok nggak nganter lo pulang?" tanya Raga saat Elma duduk di ranting sebelahnya.
"Biasa. Labilnya kumat!" ucapnya mengerucutkan bibir. Sudah berulangkali Elma bercerita tentang sifat jelek Ivan pada Raga. Ivan yang labil, Ivan yang cemburuan, Ivan yang menuntut perhatian lebih dan sederet sifat jelek lainnya. Raga pikir, Elma dan Ivan sedang bertukar tempat. Elma jadi sang cowok dengan sikap yang dewasa dan cool, dan Ivan jadi sang cewek dengan sikap kekanakan. Emansipasi yang menyedihkan.
"Oh," Raga menjawab datar. Elma menatap Raga, mencoba menebak apa yang Raga pikirkan melalui kerut wajahnya.
"Ya, menyedihkan sekali..." Elma berguman.
"Apa?" mata Raga melebar. Suara Elma tak jelas di telinganya.
"Jangan menyiksa diri sendiri, tahu! Kamu lagi mikirin Rhein, kan?"
"Apa?" Raga pura-pura melebarkan mata dua kali lipat.
"Buang deh, semua hal tentang Rhein," ucap Elma pelan, menatap Raga tajam.
"Sok tahu, lo!" tawanya sumbang.
"Gue emang tahu, kok!" Elma memeletkan lidah.
"Salah nggak sih, kalau gue suka sama seseorang..." Raga menunduk.
"Nggak salah!"
"Dengan keadaan gue yang seperti ini? Buta warna..."
"Nggak salah! Itu bukan masalah besar." Elma menjawab tegas. Pertanyaan ini sudah berkali-kali ia dengar dari mulut Raga.
"Tapi kenapa gue malah dapat cacian dan penolakan?"
"Patah hati itu memang sakit, kawan. Tapi please deh, rugi banget kalau lo terus-terusan meratap kayak gini." Elma beranjak turun dan membuka pagar. "FYI, gue baru saja putus sama Ivan."
*
Raga membolak-balik cover sebuah buku di rak perpustakaan. Ia mendapat tugas kelompok Biologi, dan sialnya dua anggota kelompoknya yang lain malas mengerjakan. Jadilah ia satu-satunya anggota kelompok yang harus mengorbankan tenaga dan waktu atas nama kelompok. Sangat tidak adil, gerutunya. Kali ini ia berniat meminta bantuan Elma. Si super jenius itu pasti akan dengan senang hati meluangkan waktunya. Apalagi setelah putus dari Ivan, tentunya ia menginginkan suasana baru, bukan?
"Uhmm, sorry. Gue duluan ya," Raga yang siap meletakkan buku pinjamannya di meja petugas perpustakaan seketika mengurungkan tangannya saat sesosok gadis melesat mendahuluinya dan meletakkan beberapa buku pinjaman ke petugas.
"No problem." Raga menjawab pelan.
Beberapa menit kemudian sosok itu berbalik, "Silahkan," ucapnya. Raga terkesiap. Suara itu begitu lembut dan merdu. Sejenak ia terpaku. Otaknya sibuk menjawab berbagai pertanyaan. Siapa dia? Kelas berapa?
"Bu, tadi yang meminjam buku sebelum saya, namanya siapa ya?"
Raga buru-buru menitipkan bukunya di meja petugas perpustakaan dan berlari mengejar sang gadis. Ia tak tahu energi darimana yang membuat semangatnya meningkat berkali lipat saat mendengar suara dan wajah putih itu dari samping. Yang ia tahu hanya satu hal; apapun yang terjadi, ia bertekad harus mengenalnya. Harus.
*
Inilah saatnya menghapus bayang-bayang Rhein. Inilah saatnya bangkit dari sakit hati dan mencari sosok lain. Dan kini Raga telah menemukannya. Gadis itu duduk di bangku teras rumah yang sejuk. Berbagai macam bunga menghiasi pot-pot yang berjejer di sepanjang teras. Bunga bougenville biru yang rimbun menambah kesejukan rumah mungil itu.
"Hai," Raga turun dari motor dan menyapa sosok itu, hangat. Sosok itu balas tersenyum, bertanya apakah Raga lebih nyaman duduk di luar atau di ruang tamu. Raga memilih duduk di teras.
"Kamu pecinta bunga? Atau Mamamu?"
"Sebenarnya kami berdua. Tapi semenjak Mama sibuk kerja, akulah yang merawat dan mengurus semua bunga-bunga itu," jawabnya lembut dan merdu.
Sosok itu bernama Farah. Dialah makhluk yang beberapa hari lalu berhasil membuat Raga terpesona di perpustakaan. Niat Raga memang benar-benar kuat. Setelah mendapat info dari penjaga perpustakaan, ia langsung berlari ke kelas satu, mencari gadis itu dan mengajaknya mengobrol. Kini, setelah tiga minggu lebih Raga mengenal gadis lembut berambut panjang ini, ia memutuskan untuk lebih sering main ke rumah.
Raga mulai merasakan warna merah jambu mengelilingi setiap harinya. Semua yang ada pada Farah telah membuatnya lebih semangat berangkat sekolah dan berhenti mengeluh tentang kelainan matanya. Saat Raga mengatakan berita gembira ini, Elma hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya, tanda mendukung pilihan Raga.
"Kalau aku minta bunga itu, boleh?" Raga menunjuk pot-pot Adenium Pink yang terpajang di sebelah kanan teras.
"Di rumahmu nggak ada bunga?"
"Adanya pohon mangga," gelaknya. Farah ikut tertawa.
"Itu Adenium Pink, kan?" Raga kembali menunjuk deretan pot.
"Bukan, itu Adenium Ungu,"
"Oh, maaf. Kukira..." Raga tergagap. Inilah hal yang paling ia benci dari kelainan matanya. Semua yang ia lihat berwarna abu-abu, hitam dan putih. Tak ada warna pelangi, tak ada warna-warna cerah yang bisa dilihat mata normal.
"Aku tahu, kok. Aku tahu tentang matamu," Farah menatap Raga yang tengah menunduk.
"Ya, aku satu-satunya cowok yang mengidap buta warna di sekolah kita," Raga berbisik lirih. Ia tahu, dengan popularitasnya yang menyandang penyakit langka ini, tentu dirinya dikenal hingga sudut sekolah sekali pun. Ia tak heran akan hal ini.
"Tak apa. Yang penting kamu masih bisa melihat, kan? Itu harus kamu syukuri," Farah berkata bijak sambil memamerkan senyum termanisnya.
"Ya, aku memang harus banyak bersyukur," Raga mencoba tersenyum.
"Dan aku tak keberatan berteman dengan kamu. Bukankah berteman itu tak memandang status sosial dan..."
Raga tak mau mendengar kelanjutan kata-kata Farah. Ia cukup paham kini. Diam-diam ia tersenyum getir. Ia patah hati. Untuk yang kedua kali.
*
"Melamun lagi, melamun lagi! Capek gue lihat lo bengong kayak patung bodoh!" sore itu, Elma menghampiri Raga yang tengah nongkrong di tempat favoritnya; ranting pohon mangga. Raga menoleh Elma sekilas, lalu kembali melamun. Ia sedang tak berniat melayani ucapan Elma. Pikirannya hanya dipenuhi satu nama. Farah. Farah. Farah. Sejak pertemuan terakhir mereka di rumah Farah, Raga tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan dan taman depan sekolah, tempat Farah biasa menghabiskan istirahat siangnya.
"Please, deh. Menye-menye banget sih looo..." Elma memanjat pohon mangga dan menjewer telinga Raga.
"Ugh, setan emang lo, ya," dengusnya kesal. Elma tertawa-tawa.
"Bagaimana lo sama Ivan?"
"Hmmm, dia minta balikan. Tapi gue ogah!" jawab Elma cuek.
Saat itulah sesosok gadis mungil ke luar dari pintu rumah Elma. Tangan kanannya membawa kanvas, sementara tangan kirinya memegang tas kecil yang berisi tube cat dan pallet. Gadis mungil itu meletakkan kanvasnya di teras. Ia mulai menuangkan cat dan menggoreskannya pada kanvas. Objeknya tak lain tak bukan adalah sepasang manusia yang nangkring di pohon mangga. Begitu uniknya tingkah mereka, hingga cewek itu tergelitik untuk mengabadikannya di lukisan.
"Loh, makhluk kece itu siapa, El? Kok keluar dari rumah lo?" mata Raga yang tadi menerawang sendu sekarang beralih pada makhluk yang sedang asyik memegang kuas.
"Oh, itu. Sepupu gue dari Sulawesi. Baru nyampe tadi pagi. Rencananya ia mau ngelanjutin SMA di Jawa..."
"Wow," hanya satu kata itulah yang bisa Raga ucapkan. Matanya langsung terhipnotis pada sosok mungil berkulit cokelat bersih, mata lebar, sepasang alis tebal dan tentunya senyuman yang mematikan. Ia turun dari pohon mangga dan menghampiri gadis itu. Elma mengikutinya dari belakang.
"Hai, Cantik. Lagi melukis apa?" goda Raga. Si Cantik itu hanya tersenyum sopan, menunjuk dua bocah tengil di antara ranting pohon mangga dalam lukisannya.
"Nah, sepupu gue emang keren, kan?" Elma berkacak pinggang.
"Keren banget! Suwer!" seru Raga. Si Cantik tertawa-tawa dan melanjutkan lukisannya.
Raga duduk di teras rumah Elma. Matanya tak lepas dari sosok anggun berkulit cokelat bersih itu. Setelah Rhein dan Farah, rupanya aroma merah jambu itu dengan mudahnya menyebar lagi ke seluruh perasaannya. Ini semua gara-gara kehadiran Si Cantik. Raga paham betul kalau ia gampang jatuh cinta. Tapi entah siapa yang membisiki telinganya, Raga yakin bahwa perasaannya kali ini berkali-kali lebih kuat daripada perasaannya untuk Rhein dan Farah, meski pun baru detik ini ia melihat wajah Si Cantik.
Lukisan bergambar dua bocah tengil di pohon mangga itu pun jadi. Raga tak peduli apakah lukisan itu bagus atau tidak. Yang jelas, lukisan berwarna kelabu itu telah membuat hatinya merah jambu sejak detik ini.
"El, kalau gue jatuh cinta sama sepupu lo, boleh kan?" Raga mencolek pipi Elma.
"Tergantung, dianya mau apa nggak" Elma menunjuk sepupunya yang masih sibuk menyempurnakan lukisan. Padahal dalam hati, ia sibuk memaki Raga.
"Kenapa lo malah suka sama sepupu gue? Kenapa nggak suka sama gue? Padahal gue putus sama Ivan kan biar gue bisa sama lo!"
"Pasti dia mau," Raga berbisik.
Kali ini Elma sama sekali tak menanggapi ucapan Raga. Hatinya perih.
*
(oleh avioleta zahra, foto: silentsweetheart.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR