"Sayang," Mama memanggilnya. Menoleh sejenak, lalu menghembuskan nafas panjang. Tangannya mengganti track lagu di Apple shuffle silver-nya. Taio Cruz menyenandungkan She's like a star. Pemuda itu menatap lurus ke jejeran mobil yang turut berpesta macet beratapkan malam yang perlahan jatuh.
"Sayang," panggilan itu bernada keras. Satu earphone ditarik hingga terjuntai di bahunya. Matanya berkedip cepat. Tangannya bersedekap. Stereo di dashboard mobil menyenandungkan petikan akustiknya Sabrina dengan Lucky milik Bruno Mars. "Maaf."
"Udah ngomong aja. Dari tadi mobil ini sudah kayak kotak penyiksaan."
"Erri Sayang, Mama khawatir sama kamu."
"Trus, solusinya, mesti ke psikolog gitu. Aku, kan, enggak gila, Ma," teriaknya. Sejak tadi dirinya sudah menunggu waktu yang tepat untuk protes. Tante Kikan adalah satu-satunya teman Mama yang berprofesi sebagai dokter kejiwaan di Rumah sakit almarhum Papa. Sekarang Mama membawanya ke sana. Ada sembilu yang menyayat-nyayat hatinya.
"Bukan begitu, Sayang...."
"Terserah Mama sajalah. Mungkin aku memang sudah benar-benar gila," ujarnya. Memasang kembali headset dan menambah volume iPod di tangannya.
**
"Ai sekolah ya, Ma."
"Have fun, Sayang," gadis itu mengangguk dan turun dari mobil yang dibukakan oleh Pak Yadi, satpam sekolah.
"Pagi, Mbak Aisha," sapa Pak Yadi yang dijawab anggukan oleh gadis itu, "Pagi Bu Kikan, langsung ke kantor?" sapa pria itu lagi sebelum menutup pintu belakang CRV hitam itu.
"Iya, Pak." Jawaban itu menuai senyum hormat seiring kaca mobil yang perlahan naik.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR