"Iya, Tante. Di TIM. Iya, Cikini. Mau datang? Ajak Blues, ya? Dua ratus lima puluh aja, kok, harga tiketnya," ujar Aisha bersemangat. Gadis itu tersenyum mendengar suara di ujung sana. Tak menyadari Blues yang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah gemas ingin menarik Aisha ke kantin dan menghujaninya pertanyaan.
**
"Lagian, kamu itu anak baru, udah deket aja sama si Tio. Dia, kan, keturunan algojo. Preman terminal Blok M," ujar Aisha.
"Stop menjelek-jelekkan orang lain, deh. Mentang-mentang sering mangkal di Blok M, jadi preman begitu? Dia kerja di sana, membantu abangnya menjaga toko buku bekas. Aku dekat sama Tio, karena sering ketemu dia di sana, waktu belum pindah ke sini," kata Blues.
"Oohh...."
"Makanya, jangan suka menuduh orang sembarang. Cari dulu detailnya, baru komentar."
"Terus, yang laporin kamu ke Tante Sera, gimana tuh?"
"Ya, sama kayak kamu tadi, baru lihat sekali udah menyimpulkan. Si Nayla yang cerita ke mamanya, kebetulan mama si Nay teman sekantor mama."
"Ya ampun, Blues."
"Enggak penting, deh. Aku juga semula curiga, Mama mengajak ke psikolog buat cek kejiwaan, ternyata enggak, toh," ujar Blues seraya melukis seringai yang membuat Aisha terkekeh bahagia.
"Kalau aku ke tempatmu, apa ya, yang akan kamu curigai?"
"Leukimia stadium akhir."
"Huuush."
"Iya, dong. Kalau enggak, buat apa Tante Sera ketemu Mama di rumah, kalau bukan ngebahas asuransi kematian."
Plaaak....
Buku itu mendarat sempurna di bahu Blues. Lalu seringai yang ditambah bisikan bernada bercanda itu membungkam Aisha. Diam seribu bahasa, "Kuharap, Tante Sera dan Mama akan membahas kilas balik sejarah Siti Nurbaya. Buat kamu. Untuk kita."
(Oleh: Glora Lingga, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR