"ADA APA KAMU BILANG?" Bunda menumpahkan isi kantung di genggamannya ke pangkuanku. Meluncurkan senjata pribadiku. Bedak. Blush on. Eye Shadow, Foundation. Eye Liner. Mascara. Semuanya. WHOA. Gaswat! Aku sempat terlonjak. Tiba-tiba bunda histeris. Menjerit. Menjambak rambutnya sendiri yang ikal. Juga diiringi rintikan hujan di wajahnya. Mendadak dramatis.
"Apaan nih, Bun? Bunda mau latihan jadi sales girl?" Aku mencoba berakting. Maklum anak IKJ yang enggak keterima. Bisalah.
"Kamu pikir kamu bisa bohongin bunda? Bunda nemuin ini di laci kamu! Kenapa kamu menyimpan barang-barang ini?" Bunda terlihat amat berang. Sudut 35 derajat dari mataku menangkap kedatangan ketiga kakakku. Wajah-wajah penuh dosa dan tanda tanya menyerbu kamarku.
"Ada apa sih, Bun? Kok kayaknya emosi sekali." Mbak Tari mencoba memecah penasarannya yang sudah sampai ke ubun-ubun.
"Lho? Kok bisa ada di laci aku sih? Mbak Citra kali lupa naruh di kamarnya lagi." Dengan memasang wajah innocence bin (pura-pura) enggak tahu apa-apa, kujawab. Aku masih nyoba mengeles, mengacuhkan selaan Mbak Tari. Eits. Pantang menyerah. Atau hancur selamanya? Mbak Citra yang kujadikan tumbal menganga lebar. Kurasa bola tenis masuk mulutnya dengan mulus.
"Citra itu tidak ceroboh. Kamu tidak usah mungkir terus! Sudah! Jelasin semuanya sama Bunda!" Mata sendu yang biasa menatap lembut kini memerah dan berkilat penuh amarah. Sial! Ini adalah pertanda perang dunia akan dimulai.
"Kenapa Citra sih, Tang? Emang ada apa sih Bund?" Mbak Citra mulai sewot, mendengar namanya disebut-sebut tanpa izin.
"Itu tuh!" Bunda menunjuk segala perisai hidup yang ada dipangkuanku, "Adik kamu memiliki dan menyimpan barang itu semua. Bunda curiga. Apa itu punya kalian?" Serentak semua menggeleng seperti agem (anak dugem) yang digambarkan Project Pop. Tatapan menghujam dengan samurai menguap dari Mbak Citra. Dendam Mbak Citra. (Baca seperti suara orang yang menyebutkan Dendam Nyi Pelet di televisi).
"Oke. Bintang jelasin semuanya, aku coba menguatkan hati. "Bintang emang nyimpen itu semua. Karena emang Bintang suka. Bintang juga mau terlihat seperti Mbak Tari, Mbak Citra, ataupun Mbak Rissa. Terus apa yang salah Bun?" Kuatur napas yang mulai memendek. Sakit.
"TAPI KAMU ITU LAKI-LAKI, BINTANG!" Helaan napas menyela. Aku merasa tertohok dengan realita itu. Aku ini laki-laki. "Kamu enggak pantas pakai barang begituan. Sejak kapan kamu begini? Kenapa Bintang? Kenapa?"
Kusapukan pandangan pada diriku. Aku tidak melihat adanya lekuk tubuh indah layaknya perempuan. Yang ada hanya dada bidang, dengan lengan yang sedikit berotot, tak ketinggalan sesuatu yang mengganjal di selangkanganku. Aku mulai shock dengan keadaanku sendiri. Merasa bahwa aku selama ini sama dengan Mbak Tari, Mbak Citra, ataupun Mbak Rissa. Perempuan. Tapi kenyataannya aku ini LAKI-LAKI. Laki-laki. Cowok. Pria.
Entah dari mana asalnya aku merasakan air mata yang membuat aliran sungai di pipiku. Oh Tuhan, apa yang membuat aku harus terbentur realita sepahit ini. Apa salah bila aku menyukai kosmetik itu. Apa salah bila aku gemar bersolek? Karena tidak ada tulisan pada kemasan kosmetik manapun, poter apapun, yang menyatakan kosmetik hanya khusus wanita. Lalu apa salahku? APA SALAHKU?! AAAAARRRRGGGGHHH!
"Ingat Bintang Andhika Mulia Prabowo. Kamu itu LAKI-LAKI! LAKI-LAKI! Jangan sekalipun kamu menyalahi kodrat kamu sebagai seorang PRIA seperti ini!" Bunda menjerit frustasi. Mencoba menyaingi kefrustasianku. Fiuh!
"Bunda, ini mungkin salah Tari juga. Dari Bintang kecil, Tari suka mengajak Bintang berdandan, kadang-kadang juga Tari jadiin Bintang korban yang Tari dandanin." Terdengar tawa putus asa yang menyilet jantung." Jangan salahin Bintang sepenuhnya Bun. Tari juga merasa bersalah. Bintang maafin Mbak Tari ya. Gara-gara Mbak kamu jadi begini." Tangisan yang sedari tadi dibendung, kini membanjiri wajah cantik kakak yang sangat dekat dan menyayangiku. Aku? Hancur.
"Sudahlah Mbak. Mbak enggak usah menyalahkan diri sendiri. Toh emang bukan Mbak yang salah." Refleks aku membanting semua kosmetik-kosmetik yang sedari tadi kukelonin di pangkuan. Kontraksi infeksi batinku sudah teramat parah. Tak sanggup aku terus mendengar realita. AKU INI LAKI-LAKI. Laki-laki yang salah.
***
Keterangan: ** = Kenyataan yang terbongkar.
Oleh: Ketty Tressianah
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR