Telah hampir sebulan, Maya merasa ada yang aneh pada diri Dimas, sobatnya. Bagi orang lain, mungkin apa yang terjadi pada diri Dimas, biasa-biasa saja. Tapi bagi Maya yang telah mengenal Dimas sebagai teman sepermainan sedari kecil hingga menjadi teman sekolah seperti saat sekarang, merasa ada yang tak pernah terjadi pada Dimas sebelumnya. Anehnya, setiap Maya mau berterus terang tentang keanehan yang dirasakannya itu, bibir Maya terkatup rapat, terkunci oleh pandangan Dimas yang juga menurutnya menyimpan misteri.
"Sudah shalat?"
Dimas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Maya barusan. Anggukan yang begitu lama dipertimbangkan sebelumnya. Bukan karena jawaban seharusnya adalah gelengan. Maya memang telah shalat Maghrib lima belas menit yang lalu. Yang membuat Maya lama baru mengangguk adalah pertanyaan Dimas yang tak pernah dilontarkannya sebelumnya. Bahkan Dimas untuk shalat tepat waktu.
Selama ini Dimas dikenalkannya sebagai orang cuek. Jangankan untuk bertanya tentang shalat Maya, untuk menegur pun terkadang Maya harus mulai duluan. Meski banyak yang menganggapnya sombong, tapi bagi Maya lain. Dimas adalah orang yang mendulang emas dengan diam, bicara seperlunya. Begitu penilaian Maya tentang Dimas.
Tapi kini, penilaian itu terkikis. Telah hadir Dimas yang lain dalam diri Dimas yang sebenarnya. Penuh misteri, sarat dengan teka-teki buat Maya. Dan entah atas bisikan siapa, dia merasa jika ajal Dimas telah dekat.
Dulu saat ayah Maya mau meninggal, dia juga meninggalkan tanda-tanda seperti yang Dimas kini tampakkan. Namun sayang, sedikitpun tanda-tanda itu tak terbaca oleh Maya. Sekarang dia tak ingin kecolongan lagi, dia harus menemani hari-hari terakhir sahabatnya itu dengan kenangan yang bisa membuatnya tenang di alam baqanya kelak.
"Mungkin saya enggak bisa jemput kamu ke sekolah besok," ungkap Dimas setelah merapatkan duduk di kursi teras. "Saya harus mengantar Papa ke kantor, Mobilnya rusak. Pulang sekolah kita boleh barengan jemput Papa di kantor."
Lanjutan kalimat Dimas kembali membuat dadanya berdebar kencang. Nanya saya sudah shalat belum? Mengantar Papa ke kantor? Kalimat itu dicerna kembali oleh pikirannya. Maya semakin memastikan jika dia akan kehilangan sahabatnya untuk selamanya. Dulu, setiap Dimas mengeluh dengan mobil Papanya yang sering rusak, akhir dari keluhannya pastilah meminjamkan mobil untuk Papanya, lalu rela berpeluh dan bergelantungan di bis dengan penumpang lainnya, asalkan bersama dengan Maya.
Tapi kini, seolah Dimas ingin menunjukkan jika dia adalah anak yang berbakti pada orang tuanya. Ingin meninggalkan kenangan indah untuk Papanya.
Maya mendesah sejenak, mencoba mencari tahu sesuatu dari bola mata sahabatnya. Dimas yang merasa dirinya ditatap tak seperti biasanya, hanya membuang pandangan.
"Kamu ada masalah?"
Maya mencoba menelusuri arus perasaan Dimas. Tapi jawaban yang diterimanya adalah gelengan.
"Saya hanya merasa bahwa akhir-akhir ini saya banyak bersalah sama kamu. Semoga saja ini bukan sebuah dosa," ungkap Dimas di akhir gelengannya.
"Salah? Dosa?"
Kening Maya berkerut pertanda bingung.
"Ya, bersalah. Kamu begitu baik padaku, mengingatkanku untuk shalat bahkan menegurku saat terlalu banyak bergaul dengan preman kompleks rumahku. Sementara saya? Terlalu cuek untuk ukuran sahabat."
"Saya sudah memaklumi sikap cuekmu itu sejak dulu. Sejak kita sepakat untuk menjadi sahabat. Bahkan cuekmu itu kukagumi. Bagiku, itu lebih baik daripada bicara tanpa juntrungan."
Maya mencoba menenangkan perasaan bersalah Dimas. Bisu kemudian. Hingga beberapa menit. Maya larut dalam pikirannya, membayangkan tubuh Dimas terbujur kaku, dikafani dan tentu saja ditangisi.
"Saya pulang dulu, May."
Maya tersentak. Lamunannya buyar. Firasat tentang kematian Dimas yang selama ini menghantui, membuatnya banyak melamun. Hingga dia lupa membuatkan minum untuk sahabatnya itu, bahkan memanggilnya masuk ke kamar tamu. Sejak tadi dia menerima kehadiran Dimas di teras. Padahal sebelumnya? Kembali kening Maya berkerut. Bukankah sebelumnya, setiap dia datang selalu masuk rumah tanpa dipersilakan? Pikir Maya bingung.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balasnya.
"Oh iya! Hati-hati di jalan, jangan ngebut!" teriak Maya.
Sepeninggal Dimas, Maya langsung masuk kamar. Malam ini otaknya tak bisa mencerna pelajaran apa pun. Yang ada di lembaran buku yang dibukanya adalah bayangan seseorang yang terbungkus kafan dan ditangisi. Maya menggeleng keras, melemparkan buku yang dipegangnya lalu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
Kriiiiing!
Matanya yang susah terpejam, kini semakin melek dengan deringan telepon yang seolah telah parau karena kelamaan tidak diangkat.
"Waalaikumsalam," jawab Maya sopan ketika disadari bahwa suara dari horn telepon adalah suara papa Dimas.
Sejenak dadanya berdetak kencang. Sesak. Seolah seluruh napasnya hendak keluar serempak tapi tertahan di tnggorokan. Apa yang telah terjadi dengan Dimas hingga Papanya tumben menelpon? Batinnya.
"Nak Maya, Dimas ada di situ?"
"Dia sudah pulang sejam yang lalu."
Pikiran Maya menerawang jauh. Bahkan telepon yang ditutup dari seberang pun tak disadarinya. Bukankah perjalanan pulang ke rumahnya hanya butuh waktu lima belas menit? Yang ada di kepalanya adalah bayangan Honda Civik milik Dimas terjerumus ke jurang, atau tertabrak mobil kanvas, dan entah bayangan ngeri apa lagi yang kini silih berganti menghantui pikirannya.
Bayangan ngeri itu seolah semakin menjadi kenyataan ketika balasan dari HP Dimas adalah nada tidak aktif. Dia merasa firasatnya selama ini tentang Dimas, terbukti. Berbaring gelisah, duduk pun tak tenang. Dia berjalan mengitari kamar sempitnya, seperti menginjak bara. Di sela kepanikannya itu, satu sisi di ruang hatinya masih sempat melantunkan doa untuk sahabatnya itu. barulah setelah sepuluh menit kemudian, kegelisahan itu terjawab. Membuatnya bisa tersenyum bahkan terlelap setelah membaca SMS dari Dimas. Kamu abis miscalled, ya. Sori, saya baru keluar masjid untuk shalat Isya.
***
Di sekolah. saat jam istirahat, seperti biasanya Maya langsung mengajak Dimas kabur masuk kantin. Masih dengan sifat khas Dimas yang dulu, seolah tak ada Maya di sampingnya, diam menikmati bakso pesanannya.
"Oh iya! Pulang sekolah kita mampir ke Gramedia, yuk!" Maya memulai pembicaraan.
"Oke! Kebetulan saya juga mau beli buku komik."
"Saya yang beliin, ya? Maya mencoba menawarkan diri.
"Enggak usah."
"Enggak mau terima pemberian dariku lagi?"
"Bukan begitu. Kemarin Harry Potter, kamu yang beliin. Biografi Valentino Rossi juga kamu yang beliin."
"Itu kan kado ulang tahun."
Maya tersentak di akhir kalimatnya. Bulan kemarin, Dimas baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 17. Sebenarnya bukan perayaan, hanya sekedar peringatan dan juga tanda syukur dengan umurnya yang bertambah. Tak ada kue tart, tak ada lilin menyala. Dimas hanya meminta Maya dan Ryan menemani untuk sebuah perjalanan yang disebutnya Long March.
Padahal perjalanan itu terlalu pendek untuk disebut Lung March, bahkan lebih tepat disebut sebagai Wisata Iman. Bagaimana tidak, berangkat dari rumah Dimas selepas Shalat subuh, menuju Masjid Agung untuk shalat Dhuha sekaligus sujud syukur atas limpahan rahmat serta umur yang masih dinikmatinya, lalu lanjut dengan perjalanan menuju Masjid PLN. Dia dan Sandi shalat Dhuhur berjamaah. Dimas yang mengimami. Dalam perjalanan pulang, shalat Ashar di sebuah masjid sederhana di daerah Manahan, lalu Maghrib di Sumber dan Isya di Pabelan.
Diakui Maya, Dimas adalah sahabat yang terkadang puny aide yang bukan saja unik tapi juga controversial. Seolah diam yang dinikmatinya dipergunakan untuk ide-ide cemerlang, dan untuk berdoa.
Masihkah ada Dimas untuk hari-hari esoknya? Maya gamang. Bingung kembali merajai. Dia takut, ide ulang tahun kemarin adalah ide controversial yang terakhir dari Dimas. Dia ragu, bisa memberi kembali kado ulang tahun untuk Dimas. Tiba-tiba seluruh isi perpustakaan mini di kamarnya, hadir di pikirannya. Buku-buku novel dan komik-komik, dan ensiklopedia dan banyak lagi, semua akan dipersembahkan untuk Dimas. Dia berharap, itu bisa menjadi surprise terakhir untuk seorang sahabat sejati seperti Dimas.
***
"Lho kok?"
Bibir Dimas membulat ketika Maya tiba di rumahnya dengan semua buku perpustakaan pribadinya.
"Mau pindah ke sini?"
Keheranan Dimas semakin menjadi ketika tanpa instruksi dari siapa pun, Maya mengatur buku-buku itu di kamar Dimas.
"Semua ini untukmu. Lebih dari ini akan saya berikan demi ..."
Kalimat Maya terhenti. Mulutnya terkunci tiba-tiba. Setiap dia hendak berbicara tentang firasat itu, dia selalu kehabisan kalimat. Tak satu pun bahasa yang dapat ia tuturkan. Hanya kesedihan yang menyeruak setiap dia membayangkan tubuh terbujur kaku dan terbungkus kafan. Menunggu sendiri di alam kubur, hingga kiamat tiba. Baguslah jika liang sempit itu ada taman surge dari bekal amal yang dibawanya dari dunia, tapi jika ruang itu adalah gulita sekaligus lubang neraka atas segala dosa dunia. Akh! Maya mendesah dan menggeleng cepat demi membuang bayangan mengerikan itu.
"Saya pulang dulu," pamit Maya.
"Kok buru-buru? Entar sorean dikit, saya yang ngantar, soalnya saya juga mau ke Jogja jenguk nenek."
"Enggak usah repot-repot. Assalamualaikum."
Dimas terdiam heran. Salam dari Maya pun hanya dibalasnya dalam hati.
"Kamu enggak balas salamku?"
"Waalaikumsalam," ulangnya dengan bibirnya," Terima kasih dengan buku-buku itu."
Entah atas dorongan apa, Dimas mengulurkan tangan dan Maya menjabatnya erat. Bagi Maya, kebiasaan baru Dimas yang selalu berjabat tangan setiap hendak pisah, tak dihiraukannya. Baginya itu tak aneh, malah semakin meyakinkan hatinya jika ajal Dimas semakin dekat.
Maya melangkah ragu. Ada perasaan yang tak bisa dibahasakan, kini berkecamuk di hatinya. Ada sesal yang menderanya, mengapa dia hanya membalas genggaman Dimas tadi. Bukan tak mungkin, tadi adalah yang terakhir kalinya dia melihat Dimas. Bukan tak mungkin, perjalanan ke Jogja nanti membawa maut bagi sahabatnya itu. bayangan ngeri itu kembali terlintas.
Maya menghentikan langkah, ada keinginan untuk membalikkan tubuh demi melihat dan memeluk erat tubuh Dimas. Dan saat keinginan itu memuncak untuk diwujudkan, sebuah ambulance melintas. Meleset cepat dari belakang. Menghempaskan tubuh Maya yang tengah berbalik melangkah kembali menemui Dimas. Samar dilihatnya, Dimas masih berdiri mengawasi kepergiannya di pintu garasi. Setelah itu, gelap sekeliling. Pekat!
Dimas tersentak. Seperti mimpi dia melihat tubuh Maya terpental ke trotoar. Seluryh berat badannya terasa hilang, ringan kakinya berlari ke arah Maya untuk menolong. Tapi hanya tubuh berlumuran darah yang di dapatkan di sana. Tanpa desah napas. Tanpa detak nadi.
***
Di depan gundukan tanah merah, Dimas berjongkok dan tertunduk. Tanpa sadar dia mengusap nisan bertuliskan nama Maya, sahabatnya terbaiknya. Perih! Membayangkan semua kebaikan Maya. Dinding hatinya seperti tersulut api rokok. Ada sesal yang mendera. Mengapa sedikit pun dia tak membaca tanda-tanda yang Maya lakonkan di hari terakhirnya? Terkadang menatapnya aneh, mengingatkannya untuk shalat tepat waktu bahkan memberikan semua isi perpustakaan pribadinya, apalagi dia pun sering tak sadar ingin memeluk dan menjabat erat tangan Maya dan merasa dirinya banyak bersalah.
Dan kini baru disadarinya, semua itu adalah teka-teki dan telah terjawab kini. Kematian. Meskipun pahit, jawaban itu harus diterima. Dimas menggeleng pelan, menyeka air mata yang tiba-tiba turun tanpa dimintanya. Satu yang tak pernah disadarinya. Di akhir hidupnya, Maya justru merasa bahwa Dimas-lah yang akan pergi meninggalkan Maya untuk selamanya.
Bersama senja yang layu, Dimas beranjak pergi meninggalkan gundukan tanah merah itu.Dengan sebuah janji, tak akan meninggalkan sahabatnya sendiri di alam sana. Ada doa yang akan mengalir untuk Maya, ada amal yang akan terkirim terus untuk Maya dari apa pun yang pernah ia kerjakan di dunia. Dan juga, kepergian Maya baginya menjadi sebuah nasihat bahwa tak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati, juga entah pada detik kapan.
Oleh: Aisyah Hariadi
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR