"Elo sudah menebak Vicky?" kempat sahabatku itu menatapku tak percaya.
"Beneran, guys," aku mengangguk.
"Terus gimana reaksi Vicky?" tanya Pipit penasaran. "Kaget? Senang? Dia bilang apa, Tees?"
"Iya, Tess, gimana hasilnya? Certain kita-kita, dong," Zaza ikut-ikutan penasaran. Eh, salah ding, semuanya ikut-ikutan penasaran,
"Boro-boro senang, si Vicky marah-marah sama gue," aku berkata kesal.
"Hah?! Marah?! Kok bisa?!" teriakan sobat-sobatku ini memang bikin sport jantung.
"Gini deh ceritanya..." aku berhenti sejenak, menerawang (demi dapat suasana dramatis).
***
Malam cerah bertabur bintang. Bulan sabit di langit memancarkan cahayanya yang lembut. Lampu kota yang berkelap-kelip terlihat indah dari lantai dua kafe indah nan romantic ini.
Vicky terbelalak tak percaya atas apa yang baru saja dikatakan cewek yang duduk di depannya ini. Selama sekitar sepuluh detik ia asyik terbengong-bengong sendirian.
Inilah momen yang kutunggu-tunggu, di mana Vicky merasa tak percaya seorang angel kini duduk di hadapannya, bertanya apakah Vicky mau jadi kekasih hatinya. Angel itu adalah aku. Tessa. Dan selama Vicky terdiam, aku memutuskan untuk menjadikan saat ini sebagai saat-saat paling romantis dan dramatis dalam hidupku...
"Apa lo bilang?!"
Lho? Lho? LHO? Kok reaksi Vicky enggak seperti bayanganku? Skenarionya kan si Vicky tersenyum malu-malu?!
"Jadi itu alasan elo ngajak gue makan di sini?! Mata Vicky tambah melotot. Tapi yang ini melotot marah (beda lho sama melotot kaget).
"Jadi sebenarnya acara dinner kita ini bukan buat ngomongin masalah pensi? Elo bohong sama gue?"
"I...IYA, Vick..." aku masih kaget karena tanggapan Vicky beda banget sama yang kubayangkan. "Sorry, tapi untuk ngomong sama kamu berdua saja tuh susah banget, Vick. Kamu tahu enggak, kalau sekarang aku tuh lagi nervous banget ngomong sama kamu."
Vicky menyunggingkan salah sadut bibirnya. Mencibir. "Emang elo pikir elo tuh siapa?! Cantik enggak, popular enggak, tajir pun enggak!"
Weks! Kejam sekali kata-katanya! Menusuk kalbuuuu!
"Dan elo mau nembak gue, Vicky Sanjaya yang ketua tim basket sekolah, ketua OSIS, cowok terpopuler di sekolah?" Vicky masih berkata segalak dobberman dan sekejam Pak Brendi Suherman, guru matematika paling killer di sekolahku tercinta. "Elo tuh pernah ngaca, enggak sih, Tess?! Friska yang anak cheers saja gue tolak, apalagi elo!!"
"Emangnya yang elo lihat dari gue tuh Cuma fisik ya, Vick?" aku masih punya a little bit of bravery buat bicara.
"Ya enggak sepenuhnya, sih..." kata Vicky. "Tapi kalau elo yang jadi cewek gue, bakal malu-maluin kalau diajak jalan! Elo tuh sudah gendut, enggak seksi, enggak popular, sudah gitu hidungnya pesek lagi."
PLAK! Kutampar pipi kiri Vicky. "Sorry, ya, Vick, kayaknya gue enggak jadi nembak elo, deh. Kayaknya gue salah menilai elo."
"Emangnya elo salah! Salah banget! Elo Cuma mimpi mau ngedapetin gue!"
***
"Bagus tuh Tees!" seru Linda (masih dengan teriakan ala superheronya). "Cowok kayak gitu emang enggak untuk ditangisin! Buang-buang waktu saja, deh.
"Pokoknya mulai sekarang gue benci sama yang namanya Cantik! Cewek cantik cuma bisanya ngegoda cowok playboy doang! Gue enggak mau dandan! Entar yang ada gue malah jadian sama cowok playboy lagi.." ikrarku mantap (kalau perlu sih pakai slow motion segala).
"Serius, Tess?!" empat sobatku itu percaya-enggak percaya.
"Ya iyalah..." aku sebal. Sudah susah-susah membangun suasana dramatis gitu lho...
***
Dan beneran saja. Mulai saat itu aku jadi alergi banget sama yang namanya being beautiful. Kok kesannya kayak bakal jadi santapan empuk cowok-cowok, ya. Semua peralatan make-up yang tadinya kupunya langsung kusingkirkan ke kamar nyokap (kan mubazir kalau dibuang...). Komplit deh. Mulai foundation, bedak, concealer, lipstick, mascara, blush on ... Lho, kok jadi kayak ngabsen gini, ya?
Dan pastinya empat sobat kentalku sangat menentang aksi feminisku ini Linda yang kerjanya ngomel-ngomel tanpa henti ("Kalau cewek itu jelek, pastinya lebih dianggap rendah sama cowok! Apalagi bla blab la ..."), Zaza yang entah kenapa rajin ngebeliin pembersih wajah (dan akhirnya benda itu melayang ke kamar nyokap), Pipit yang ngasih brosur perawatan wajah herbal (katanya mendingan cantik alami daripada cantik menor), sampai Tirtha yang sama sekali enggak nyambung )"Cewek tuh harus cantik, dong. Masak ganteng?"), semuanya enggak ada yang kugubris. Pokoknya, sekali aku bertekad, selamanya akan kujalani dengan sepenuh hati!
Dan hasilnya? Memuaskan! Hanya dengan waktu dua minggu, aku sudah berubah! Wajah yang tadinya semulus seluncuran di taman, berubah berminyak plus bertaburan jerawat kecil-kecil (tapi banyak!). Rambut yang tadinya langganan creambath seminggu sekali, jadi benang kusut yang belum dirajut! Dan kuku yang rajin di manicure itu cuma dipotong asal-asalan!
"Tess!!! Elo tuh gila, sinting, apa miring, sih?!" Zaza enggak tanggung-tanggung deh teriaknya. Kira-kira lima oktaf berurutan!" Jangan jadi cewek jorok gitu, deh!"
"Eh, siapa bilang gue jorok?" aku cemberut. "Biarpun gue enggak pakai kosmetik lagi, gue tetap mandi dua kali sehari, kok! Ditambah lagi cuci muka tiap dua belas jam,"
"Elo cuci muka pakai sabun apaan, Tess?" tanya Pipit heran. "Kok jadinya malah jerawatan gitu, sih?"
"Pakai sabun colek!" jawabku ngasal.
"HAH!" keempat sobatku ini pingsan dengan sukses!
***
"Mbak-mbak yang tadi itu siapa Tess?" tanya Tirtha semangat.
"Oh itu," ogah-ogahan aku ngejawab. "Dia tuh talent searah,"
"Talent searah?!" Linda mengernyitkan dahi. "Ngapain si mbak itu nemuin elo?"
"Jangan-jangan..." Pipit ikut nimbrung. "Elo mo dijadiin model ya Tess?
"Iya.." aku ngejawab males-malesan.
"YANG BENER, TESS?! Busyeett.. pake audio system merek apa nih?!
"Bener guys.. enggak usah pakai teriak-teriak gitu lah..." aku jadi enggak enak sendiri.
"Elo bakal jadi model majalah mana Tess?" Zaza penasaran.
"Bukan model majalah, sih..." kataku. "Tapi model iklan..."
"WHAT?!" kali ini suaranya ngalahin badai Katrina!
"Elo jadi model iklan? Yang bener?" Linda tampang wajah enggak terima.
"Yang bener saja, kita semua kan tahu kalau elo itu..."
"Kalau gue jelek dan enggak pernah dandan?" pertanyaan itu langsung diiyakan sambil takut-takut oleh seluruh peserta rapat (soalnya suasanya sudah kayak siding paripurna sih...).
"Huh..." aku menghembuskan nafas sejenak. "Friends, gue ditawarin main iklan produk kecantikan remaja."
Keempat sobatku menarik napas kaget, mirip orang kena serangan jantung.
"Tapi tenang aja, gue tolak, kok," aku tersenyum.
"Kok elo tolak sih?!" protes para hadirin.
"Ya iyalah gue tolak," aku sebal. "Orang gue ditawarin main di iklan sabun jerawat! Itu tuh, jadi cewek-sebelum-pakai-obat-jerawat!!!"
"BWAHAHAHAHAHAAA"!!" semuanya ketawa. Iiihhh.. bikin makin kesel saja!
"Sebel deh gue!" kataku dengan muka marah. Mulai sekarang gue mau jadi cantik lagi ah1 abisnya enggak enak jadi cewek amburadul! Riisiihh!
"Nah, gitu dong. Tess! Wakakakaka!" kata Zaza di sela-sela ketawa ngakaknya. Biar enggak ditawarin maen iklan lagi! Huahahahahah!!!
"Sialan looo!" refleks Zaza cs kena jitakan mautku!
Aku memang enggak cantik. Aku enggak berniat untuk mati-matian tampil cantik. Tapi aku sadar, lebih baik aku menjadi diriku sendiri. Dan mencari cowok yang benar-benar bisa menerimaku.
***
Oleh: Milshazena Veda Dowandrisa
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR