Bang Iwan sudah tua sekali. Sudah keriput, rambutnya sudah beruban. Dan aku melihat Aldi, mendorong trolley besar berisi banyak makanan.
"Wah, ayah, ternyata toko di kota seperti ini ya...besar sekali..."si anak kecil berkata sambil terkagum-kagum kepada Aldi. Oh, ternyata itu anaknya Aldi.
Aku berteriak. Tapi percuma. Mereka takkan sanggup mengenaliku. Aku kan sudah berubah. Sekarang aku sudah dalam kaleng.
Tiba-tiba, anak si Aldi menoleh padaku, seakan tahu kalau aku memanggilnya, aku sudah senang, tapi...
"Ayah, aku boleh beli minuman itu tidak? Kata teman-teman minuman itu enak sekali..."
Aldi menatapku sejenak, lalu berkata. "Wah... Terlalu mahal. Ayah tidak punya banyak uang. Besok kita bikin saja sendiri di rumah. Kakek petani kopi. Kenapa kamu harus beli? Besok ayah buatkan yang tidak kalah enaknya? Oke sayang?"
Si anak cemberut sejenak tapi kemudian ia tersenyum kemudian, mengerti.
Hatiku hancur. Aku ini mereka yang buat? Kenapa bahkan mereka harus membayar mahal untukku? Apakah mereka tahu bahwa aku, si Sharducs beken adalah aku yang dulu hidup menderita bersama mereka?
Hatiku hancur lagi. Mereka tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Mereka bahkan belum pernah ke giant market. Kalau aku bisa berubah seperti ini, kenapa mereka tidak?
Hatiku semakin hancur. Ketika Bang Iwan tiba-tiba menoleh padaku, mengangkat kalengku, dan tersenyum hangat, seakan ingin berkata bahwa ia telah merelakan aku.
Bang Iwan, Aldi, dan anaknya semakin menjauh, lalu hilang.
Hatiku mencelos.
Aku tidak tahu lagi.
Aku hanya bisa berharap, semoga suatu saat nanti anak kecil yang merupakan anak Aldi tadi, bisa membeliku, tanpa harus merengek-rengek seperti tadi lagi.
Aku, kopi.
Si kopi durhaka.
***
Oleh: Sarah Karindra
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR