Terkadang aku merasa aneh, walaupun tidak sampai membuatku gila. Hhh... terlalu susah memvisualkannya lewat media ini. Maksudku, melalui tulisan seperti ini. Oke, em... rasanya seperti memakai celana longgar favorit saat semua orang memakai skinny jeans. Ya! Seperti itu. Atau semisalnya menikmati es krim cokelat yang membekukan saat gerimis. Aneh, namun tetap menyenangkan. Aneh yang menyenangkan .
Tidak, ini bukan tentang orang kurang waras yang telanjang di sembarang tempat. Itu sih aneh yang tidak menyenangkan. Ayah bilang aneh yang menyenangkan itu ketika aku berumur tiga tahun, yeah, aku junior-jatuh saat belajar berjalan. Ibu bilang, aneh yang menyenangkan itu layaknya ia memasak tanpa mengingat bahkan melihat resep yang sudah ada. Aneh yang menyenangkan itu tanpa batasan . tidak wajar. Liar. Tidak masuk akal. Tidak sopan.
Yang paling membuatku heran sekaligus penasaran adalah anggapan kepunyaan Silva. aneh yang menyenangkan itu, menurutnya adalah ketika ia membela tim sepakbola Chelsea mati-matian saat diam-diam ia lebih menggandrumi Manchster United. Ketika ia nonton bareng di kubu para pendukung Chelsea, padahal hatinya memperkukuh kedudukan Manchester United agar mencetak poin.
Hah? Andai saja aku tahu rasa itu.
Ya, bagiku inilah rasa itu. Aneh tapi menyenangkan. Aneh tapi menyenagkan itu tepat pada saat aku bermimpi tentang Raka. Ya, aku tahu, aku gila ketika aku luruskan lagi bukan bermimpi, namun daydreaming. Otakku asyik ber-daydreaming tentang cowok biasa bertajuk fakta itu, namun tanganku masih asyik bergelayut pada tangannya. Tangan cowokku. Silva.
Aneh versiku kali ini adalah aneh yang lain. Bukan tentang lagi-lagi aneh yang menyenangkan. Kali ini versi yang lebih rumit. Aneh yang memuakkan.
Aneh yang memuakkan, aneh yang bila diproses lewat pikiran Ayah bakal berkisah tentang ketidaksabaran Ayah melakukan sisa pekerjaannya di kantor pada setengah jam terakhir sebelum waktu pulang. Padahal aku tahu, Ayah cinta sekali dengan pekerjaanya yang tidak jauh berada dengan pendidikan yang diambilnya sebelum itu. Marketing, tepat bila digambarkan dengan lelaki paruh baya , berbaju khas 'manusia' kantoran: dasi, kemeja soft warna netral dan celana kain lebih dark disetrika rapi, sepatu pantofel mengkilat serta tas tangan ala bapak-bapak. Tidak lupa kacamata pembawa wibawa, serta sisiran rambut rapid an berminyak.
Well, Ayahku memang begitu. Tapi untungnya, rambutnya rapi namun tidak berminyak!
Ibuku lain lagi. Aneh yang memuakkan itu ketika ia tahu channel 32 pada televisi ruang keluarga bakal menampilkan telenovela dengan pemain-pemain favoritnya, sementara ia harus menyiapkan makanan pada jam itu juga. Padahal Ibu sangat ingin menonton acara itu. Namun tanggung jawabnya sebagai Ibu menekan habis nafsu kewanitaannya: menonton telenovela atau sejenisnya. Ibuku bukan orang yang movie freak atau bagaimana. Hanya saja, dia terlihat seperti menikmati tetsan air mata ketika adegan demi adegan di teleevisi mulai berlebihan menunjukkan kesedihan. Aku heran, kenyataannya di dapur pun ibu dapat menangis juga bukan? Ketika mengiris bawang merah atau cabai misalnya. Yaaah, ini masalah selera. Manusia yang memilih, kan?
Aneh yang memuakkan itu mengesalkan. Bikin keki. Tidak sabaran.
Namun tetap, tanpa batasan.
Raka bilang, dia sudah terbiasa dengan aneh yang memuakkan versi dirinya sendiri. Dan, baginya, cukup dia saja yang tahu. Aku, Silva, tak perlu tahu.
Lalu, saat di taman, suatu aku coba bertanya pada Raka,"Aneh yang memuakkan itu , ketika kamu merasa ingin membunuh Silva, padahal kamu sadar dia sahabatmu sendiri?" Investigasi terselubung, pikirku. Semoga dia tak sadar dan menagkap umpan ini.
"Ya, aneh yang memuakkan itu ketika kamu bersandiwara di depan Silva, padahal memang sewajarnya kamu berlaku seperti itu,"
Raka tak pernah tahu, anehnya anehku juga. Aneh yang memuakkan bagiku ketika aku tahu aku adalah pacar Silva saat aku di depan banyak orang, ketika aku juga tahu aku ingin bersama Raka di saat dan tempat yang sama.
Saat aku ingin memberi support pada Raka habis-habisan, ketika pikiran Raka nulai irasional dengan membenci Silva.
Silva itu sahabat Raka. Dari saat mereka kecil, saat mereka sama-sama ditinggal orang tua masing-masing dengan alasan klise ala rich parents; bekrja di luar negeri.
Bagi Silva, aneh yang memuakkan itu ketika ia menunggu saluran telepon genggamku sampai tidak sibuk lagi. Karena dia ingin menelpon. Ketika Silva sibuk bertanya-tanya siapa yang mengobrol denganku via telepon?
Atau ketika teleponnya sengaja kuangkat, namun dengan sengaja pula aku meng-hold-nya untuk beberapa saat. Dengan kasar dia akan menjawab panggilan sayangku, setelah aku mengaktifkan salurannya kembali.
Aku tahu, dia bertanya-tanya dan mengandai-andai dalam hati dan otaknya. Namun ia tak pernah menanyakannya, bahkan sekedar menyinggungnya.
Jadilah, aku semakin menjadi bergerilnya dengan Raka. Telepon, chat, text message, bahkan secara face to face pun kami mulai memberanikan diri.
Ini bagian aneh yang menyenangkan bagiku, juga bagi Raka.
Bagiku, berjalan bersama Raka ketika aku tahu Silva sedang berpeluh melakukan hobi favoritnya, main bola, adalah rasa aneh sekaligus ketakutan. Aneh dalam artian orang-orang mengenalku sebagai pacar Silva, bukan pacar sahabatnya Silva. Menyenangkan dalam lingkup yang sama juga, ini jalan perdana kami-aku dan Raka-setelah beberapa waktu kami meresmikan komitmen kami.
Bagi raka, mungkin tidak jauh penafsirannya dengan yang aku piker. Raka tahu dia berada dalam posisi yang riskan namun aman. Dia tahu berjalan denganku adalah hal yang menyenangkan, meskipun banyak kemungkinan persahabatannya dengan Silva terancam hancur.
Aneh yang menyenangkan itu memang tanpa batas. Terlalu menyimpang dari jauh.
Aneh yang melegakkan . versi lain, sekitar delapan tahun yang ibu rasakan. Kalau kau menyebut ini lama, hmm, tidak juga. Terkadang, delapan tahunmu bisa terasa bgitu cepat bila dibandingkan satu tahun pertama yang sulit. Bisa, karena biasa.
Memori di pikiranku mengingatkanku akan peristiwa ini, ketika aku menikmati secangkir susu yang ibu beri marshmallow di piring cangkir susu cokelatku. Delapan tahun yang lau umurku masih delapan, enam belas dikurang delapan tahun yang lalu, teori dari piikranku terus mengulang kata delapan.
Sambil menikmati minuman favorit bikinan Ibu, aku mempeerhatikannya. Ibu, maksudku. Tidak seperti biasa, hari ini ia lebih sering memondar-mandirkan kakinya daripada memondar-mandirkan setrikaan. Tugas seorang ibu, begitu yang kutahu. Tidak, dia hanya terus melangkah lebar, dari meja makan, kembali ke dapur lalu menuju meja makan lagi tanpa jeda.
Aku masih belum cukup mengerti untuk mengetahui apa yang ibu nantikan. Ibu terus-terusan memandangi jam dinding. Bahasa tubuh untuk 'menanti', bukan?
Kulihat bekas-bekas susu masih berbekas di sekitar bibirku. Sekedar kamu tahu saja, aku bisa melihat bibirku sendiri lho! Maksudku, aku bisa melihatnya tanpa bantuan apapun, semisal cermin. Aku hanya perlu menundukkan kepala dan melihat apa yang teerjadi.
Ya sudahlah. Lain kali aku akan belajar melihat telinga dengan mataku sendiri - tanpa bantuan apapun.
Bekas-bekas susu yang menumpuk ini secara tidak langsung memberitahuku bahwa susu cokelatku sudah habis. Paling tidak HAMPIR habis. Akhirnya aku memutuskan untuk...
"Ibu, susunya habis."
"Sebentar ya nak, sebentar lagi."
"Ada apa sih, Bu?"
"Ayahmu nak, ini soal Ayahmu..."
Ayah datang seperti biasa, dngan setelan kantornya yang lengkap dan masih rapi, walaupun sudah lebih dari 12 jam dia memakai kostum yang sama. Namun kali ini badge kantornya tidak terpasang pada tempat biasa, dan tas serta sepatunya tidak pulang bersamanya.
Ayah di - PHK. Menurut ibu, itu aneh. Ayah adalah seorang pekerja keras. Merugikan sekali memecat ayah sebagai karyawan di sana. Padahal mereka paham benar ketangkasan ayah dalam bekerja. Mereka yang paling paham!
Menyenangkan, kata ibu, karena ayah tidak perlu pulang malam-malam dengan wajah letih, tanpa senyum dan berantakan.
Aneh yang melegakan itu sama dengan berakhirnya hubunganku dengan Raka. Mengangkat nama besar persahabatan, Raka dan aku memutuskan mengakhiri semuanya. Walaupun aku tahu Raka mendapat nilai plus di hatiku. Tapi Silva adalah orang yang mengambil semua nilai Raka... waktu.
Ya, hanya waktu, masalahnya adalah waktu.
Kali ini Silva punya cerita. Aneh baginya adalah aku. Ketika kutanyakan apa maksudnya, dia hanya tersenyum ngilu dan berlalu. Ada PR yang belum ia kerjakan hari ini, jelasnya singkat. Ah, ya, kami sedang berada di sekolah dan ini saat istirahat.
Perkataan Silva jadi membuatku brpikir sejenak. Apa? Apa yang aneh dari diriku?
Aku berpikir keras, sampai-sampai tanpa sadar aku menyandung batu besar di taman. Bodohnya. Orang-orang di sekitarku tertawa teertahan, menutup bibir mereka dengan tangan.
Pulang sekolah, kuputuskan untuk menghancurkan dinding gengsiku. Biasanya, aku akan tetap berdiam diri saja saat ada masalah, walaupun aku benar-benar ingin tahu, sampai akhirnya Silva sendiri yang mulai membicarakannya. Tapi kali ini lain, tidak tahu mengapa aku sangat ingin tahu aneh yang bagaimana yang dia rasakan kali ini. Perasaanku tidak enak, tidak nyaman. Mungkin karena kebenaran itu semakin dekat. Dan pahit.
Akhirnya kenyataan datang, tanpa mengenal siapa dan apa yang dikunjunginya. Terkejut, terdiam, menangis ...
"Aneh bagiku adalah melihat kamu berjalan bergandengan bersama sahabatku. Tapi aneh yang ini biasa saja."
"Aku tahu ini aneh, pacarku berpacaran tangan dengan sahabatku. Tapi kamu tahu? Sekarang hal itu biasa saja. Sama seperti Ayahmu makan siang dengan ibuku dengan alasan yang sama seperti kamu, makan siang biasa, sebagai sahabatku."
"Aku tak mau menyebutnya, tapi hal itu hal yang biasa saja sekarang."
Silva, anehmu adalah aneh yang biasa saja. Tapi bagiku, anehmu adalah aneh yang menyakitkan.
***
Oleh : Mira Rinienta
Alumni Coaching Cerpen KaWanku 2009
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR