Rapi bisa dibilang sesuatu yang sudah diidentikkan sama cewek. Mulai dari cara berpakaian, meja belajar, lemari pakaian, sampai kondisi kamar. Saya masih ingat kata-kata ibu saya dulu setiap kali melihat lemari baju saya yang berantakan, ‘Cewek kok berantakan?’ atau ketika melihat tumpukan buku enggak beraturan di meja belajar, ‘Itu bukunya ditumpuk, jangan disebar-sebar gitu. Anak cewek harus rapi, dong!’ Saya yakin ini enggak cuma jadi pengalaman saya sendiri.
Dulu setiap kali saya mendengar kalimat bernada serupa dari ibu saya, reaksi saya cuma berkisar antara, ‘Belum sempat,’ atau ‘Iya, nanti diberesin.” Saat itu saya merasa kalau berantakan adalah ‘dosa’ yang enggak boleh saya lakukan sebagai anak cewek. Dan bodohnya saya enggak pernah menanyakan kenapa, sih, cewek harus rapi. Makanya, sekali-kali saya tetap membereskan barang saya yang berantakan, meskipun enggak lama kemudian akan berantakan lagi, sih.
Bertahun-tahun berlalu dan saya mencoba menganalisa. Saya baru sadar kalau kondisi saya sekarang enggak jauh beda dari sejak saya kecil dulu. Saya masih suka mencampur baju atasan dan bawahan di kotak lemari pakaian yang sama. Meja kerja saya pun dipenuhi banyak barang yang belum tentu dipakai. Belum lagi tumpukan jaket dan outer di gantungan dinding yang jumlahnya sudah melebihi jari tangan. Bedanya, sekarang saya sudah enggak merasa ‘seberdosa’ dulu. Saya enggak merasa dikejar-kejar untuk selalu beres-beres.
Oh iya, dulu saya punya teman yang lumayan neat freak. Setiap beberapa bulan sekali, dia akan menawarkan jasa merapikan meja gratis. Alasannya sederhana saja: dia enggak betah melihat meja saya yang berantakan. Menyingkirkan barang ke tempat sampah pastinya enggak makan waktu lama, tapi sebagian besar waktu biasanya kami habiskan (ya, kami, bukan hanya dia) untuk memperdebatkan apakah barang-barang tertentu lebih baik dibuang atau masih boleh saya pertahankan. Enggak jarang saya memohon-mohon padanya supaya boleh menyimpan barang tertentu. Sekarang, si teman sudah resign. Kalau dihubungkan dengan neat freak-nya, saya sebenarnya masih merasa terbelah antara bersyukur atau kehilangan. :D
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR