Suatu hari, aku kecapekan sampai ketiduran. Ternyata banyak yang nelepon aku, tapi enggak aku angkat. Pas udah bangun, aku diminta ke bangsal anak karena katanya Malak ngamuk, enggak mau makan. Rupanya dia begitu karena aku enggak datang.
Dia menderita glaukoma sehingga penglihatannya enggak jelas, tapi dia bisa mengenaliku lewat suara. Karena dia, aku jadi belajar buat menghargai janji.
Setiap hari, aku harus berusaha mengambil keputusan terkait dengan pasienku. Kesehatan pasien itu penting, tapi keselamatan stafku juga harus dilindungi. Misalnya saat merujuk pasien ke rumah sakit lain, itu banyak yang harus dipikirin.
Bagaimana perjalanan ke rumah sakit itu, apakah dia bisa sampai dengan selamat, apakah stafku yang mengantar bisa pulang dengan selamat, bagaimana dengan keluarganya, hal-hal itulah yang harus dipertimbangkan setiap hari selama berada di sini.
Apa yang aku bayangkan selama ini dengan apa yang aku jalani langsung itu ternyata berbeda. Kenyataannya jauh lebih berat, pola kerjanya sangat berat, tapi bukan berarti enggak bisa.
Memang banyak yang harus dikorbankan, seperti tinggal sendiri di tempat bahaya, jauh dari keluarga, tapi apa yang aku dapatkan itu terasa sesuai.
Ketemu pasien membuatku bahagia. Pasien sembuh bikin aku bahagia. Orangtua anak-anak itu sering bawain makanan. Bahkan, sebelum pulang teman-teman di sana membuat acara kecil-kecilan. Itu pengalaman berharga yang aku dapatkan di sana.”
Rasa Damai Itu Penting dan Harus Dijaga
“Berada di daerah perang membuatku jadi menghargai pentingnya perdamaian. Ketika akhirnya pulang ke Indonesia, aku jadi mensyukuri banget apa yang kita miliki di sini.
Bayangkan kita ada di sana, bangun di pagi hari dan menyadari negara kita sudah hancur. Keluar dari rumah sakit, enggak tahu apakah kita bisa sampai di rumah dengan selamat.
Misalnya Taiz, daerah ini enggak ikut berperang tapi ikut kena imbasnya. Enggak ada air, listrik, makanan, sehingga banyak anak-anak yang mengalami malnutrisi.
Intinya, perang itu enggak ada baik-baiknya. Setiap anak itu hanya ingin tumbuh dengan tenang, pergi ke sekolah, berkumpul bersama keluarga, tapi itu semua direnggut oleh perang.
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR