Awal Januari 2017, Kate Walton. Lewat Twitter mengungkapkan kalau dalam waktu 35 menit dia berjalan kaki dari daerah sekitar Pasar Mayestik ke Plaza Senayan Jakarta, dia mengalami catcalling sebanyak tiga belas kali. Pengalaman ini menunjukkan betapa tidak aman dan tidak nyamannya kita sebagai cewek tinggal di Jakarta karena selalu menjadi objek catcalling atau street harassment.
Disadari atau tidak, catcalling merupakan masalah yang sering kita hadapi sehari-hari. Siulan dari orang enggak dikenal, panggilan bernada menggoda dan melecehkan, sampai ke kekerasan fisik seperti mencolek atau meremas bagian tubuh tertentu merupakan masalah yang sering kita hadapi sehari-hari. Secara sederhana, catcalling bisa didefinisikan sebagai sebuah tindakan yang bertendensi seksual, seperti bersiul, berseru, memanggil, menunjukkan gestur tertentu, dan memberikan komentar berbau seksual terhadap seseorang di jalan.
Saya pribadi merasa terganggu dengan catcalling ini. Pengalaman paling menyesakkan itu ketika saya sedang menunggu teman di daerah Kemang, Jakarta, lalu ada tukang ojek pinggir jalan sok akrab bertanya saya lagi ngapain dan ujung-ujungnya berkata ‘dari pada sendirian, ke hotel yuk neng.’ Terang saja saya langsung shock dan tanpa sadar, novel Harry Potter yang tengah saya pegang melayang ke kepala si Bapak itu. Masalahnya ini bukan hal pertama yang saya alami. Siulan dan komentar melecehkan sering saya terima, bahkan ketika jalan kaki pulang dari kantor menuju ke kost yang hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki saja, berbagai bentuk pelecehan ini sering saya alami. Bahkan, catcalling jadi salah satu topic yang sering saya bahas bersama teman-teman. Dan saya yakin, kamu pun pasti pernah mengalami kejadian serupa.
“Aku pernah menunggu angkot untuk pulang kuliah. Jalanan macet, jadi banyak kendaraan yang stuck. Motor di depan aku enggak bisa jalan, trus mereka berdua awalnya cuma ngelirik aku. Lama-lama jadi ngomong yang enggak-enggak. ‘Mau ke mana neng? Mau dianterin enggak? Buat neng gratis deh. Minta nomor hapenya boleh enggak? Cemberut aja, senyum dong biar cakep. Sombong amat sih,’ kayak gitu. Aku diem aja dan terus pasang wajah jutek. Akhirnya enggak tahan juga dan aku omelin. Eh mereka malah ketawa, ngomong ‘makin manis kalau ngomel’. Aku makin kesal. Untung angkotku datang. Pas aku udah naik angkot pun mereka masih ketawa-ketawa sambil ngeliatin aku.” (Cindy, 18 tahun, Depok)
Sedihnya, catcalling ini dimulai sejak kita masih kecil. Hollaback!, sebuah LSM menyebutkan kalau dari penelitian mereka terhadap lebih dari 16.000 orang cewek, ditemukan bahwa yang banyak mengalami catcalling berumur 11 – 17 tahun. Malah, 90% cewek Inggris mengaku kalau mereka mengalaminya pertama kali semenjak memasuki usia puber. Jika dibiarkan lama-lama, hal ini bisa mempengaruhi kesehatan psikologis kita.
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR