Kesempatan Kedua
Saat sadar, aku ada di rumah sakit bareng si mbak. Kata dokter, aku masih beruntung bisa diselamatkan dan lukanya enggak terlalu dalam. Namun aku menyesal karena selamat.
Hari-hari selanjutnya, aku datang ke sekolah bertepatan dengan bunyi bel dan langsung pulang begitu jam terakhir selesai. Jadi, enggak banyak waktu untuk bertemu teman-teman.
Namun, tetap saja mereka mem-bully aku. Ada kabar kalau aku sudah pernah berhubungan seks dengan banyak cowok. Soalnya, orangtuaku sibuk dan kakakku di Yogya, jadi aku sering sendirian di rumah sehingga gampang membawa cowok ke rumah.
Yang membuatku makin shock, ada adik kelas yang terang-terangan mengajakku melakukan hubungan seksual. Aku langsung pulang sambil nangis.
Untuk ketiga kalinya, aku mencoba untuk bunuh diri dengan menyilet tanganku. Ketika sadar, aku melihat orangtuaku di rumah sakit. Malam itu, aku enggak ngomong apa-apa sama mereka. Aku takut mereka marah. Dan, mereka juga enggak bilang apa-apa terkait kondisiku.
Sepulang dari rumah sakit, aku kembali meminta untuk pindah. Akhirnya, mama datang ke sekolah dan ngobrol dengan kepala sekolah. Entah apa yang mereka bicarakan, mama enggak pernah memberitahuku.
Hasilnya, aku tetap sekolah di sana karena hanya tinggal satu semester lagi sebelum lulus. Orangtuaku kembali sibuk seperti semula. Tapi, kepala sekolah lebih memperhatikanku dan menyuruhku melapor kalau ada yang mem-bully lagi.
Aku tidak tahu apa yang dia katakan pada teman-temanku, tapi yang jelas mereka sudah tidak lagi mem-bully aku. Meski sesekali, aku masih mendengar kata-kata menyakitkan itu.
Enggak banyak yang aku ingat dalam rentang satu semester terakhir. Setamat SMA, aku kuliah di Bandung. Kejadian itu membuatku lebih berhati-hati agar enggak berbuat kesalahan lagi. Dan lebih selektif memilih teman atau pacar.
Sampai saat ini aku masih trauma tapi perlahan-lahan mencoba untuk melupakannya.”
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR