CELUP yang merupakan kepanjangan dari Cekrek Lapor Upload adalah sebuah kampanye yang viral di dunia maya.
Berdalih demi menyelamatkan ruang publik, CELUP justru dianggap menggunakan dasar hukum yang salah.
(Baca juga: Belajar dari Kasus Viral Video Seks, Ini Alasan Kita Enggak Boleh Ikut Menyebarkan Video Seks)
Mengembalikan Fungsi Ruang Publik
Kampanye CELUP awalnya mempromosikan aksi mereka lewat sebuah akun resmi Instagram, @celup.lapor.upload, sebelum akhirnya dihapus karena mendapat banyak kecaman dari berbagai kalangan.
Di dalam akun tersebut, CELUP mengajak para pengguna Instagram untuk ikut serta dalam kampanye mereka dengan cara memergoki orang yang mereka anggap melakukan tindakan asusila dan melaporkannya pada mereka, lengkap dengan tagar #terciduk #antiasusila.
Enggak tanggung-tanggung, penggagas kampanye tersebut juga membuat banner dengan tulisan “Pergokin Yuk! Biar Kapok!”.
Serta ilustrasi seorang laki-laki bersembunyi di balik pohon dan mengarahkan kamera ponsel ke sepasang laki-laki dan perempuan.
Dilansir dari Tirto, koordinator CELUP memberikan klarisfikasi soal aksi tersebut. Menurutnya, CELUP merupakan kampanye sosial untuk mnegembalikan fungsi ruang publik, bukan mengunggah dan menyebar aib orang-orang yang melakukan tindak asusila.
Warganet yang ikut serta dalam kampanye ini pun bahkan diiming-imingi hadiah berupa voucher pulsa, gantungan kunci, dan t-shirt.
Hadiah tersebut bisa didapatkan dengan metode penukaran poin setiap kali foto yang mereka ambil diunggah di media sosial.
Kritik dan kecaman
Kampanye CELUP dianggap melanggar etika karena berlandaskan pada dasar hukum yang salah. Begitupun dengan kritik yang terus meluncur deras karena aksi ini dinilai tidak menghargau privasi orang lain.
Koordinator CELUP juga mengatakan kritik yang terus berdatangan tersebut enggak lain datang pasca diterbitkannya artikel oleh media Plasticdeath yang pertama kali menyebarkan informasi soal CELUP.
Detha Prastyphylia dan Bagoes Carlvito sebagai penulis mengatakan bahwa apa yang dilakukan CELUP bermasalah karena melanggar Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Enggak hanya itu, Detha dan Bagoes juga mengatakan bahwa aksi CELUP melanggar UU Pornografi Pasall 4 ayat (1) di mana seseorang dilarang untuk membuat dan menyebarluaskan konten pornografi.
Ironisnya, ketika aksi ini bertujuan supaya tidak terjadi pelanggaran norma susila yang berlaku di masyarakat, namun pada prosesnya mereka malah melanggar etika.
Pencatutan Sejumlah Institusi
Belum berhenti di kritik dan kecaman yang datang bertubi-tubi, serta menjadi perbincangan viral di jejaring media sosial, CELUP juga menemui masalah berikutnya.
Kali ini datang dari klarifikasi sejumlah institusi dalam promo aksi tersebut.
Logo institusi seperti Detik.com, Jawa Pos, C2O Library & Collaborative, Aiola Eatery, hingga Humas Pemerintah Kota Surabaya, memang tercatut dalam banner dan selebaran promo kampanye CELUP.
Namun kelima institusi tersebut dengan tegas menolak keterlibatan mereka dengan kampanye CELUP dan mengatakan bahwa pencatutan logo institusi mereka dilakukan tanpa izin.
Tugas Kuliah
Kampanye CELUP ternyata bermula dari tugas kuliah untuk mahasiswa DKV bulan Agustus kemarin. Dosen akan menilai bagaimana kampanye tersebut dapat diimplentasi serta desain yang mereka kerjakan.
Tim penggagas CELUP pun sudah beberapa kali melakukan kampanye terbuka dan tidak menemui penolakan. Namun pasca pemberitaan dan menjadi viral, koordinator CELUP mengatakan orang-orang kini sudah malas mendukung gerakan mereka.
Mengapa enggak seharusnya kita ikut campur dengan privasi orang lain?
Fenomena suka ikut campur dalam masalah privasi orang lain memang semakin menjamur di era digital ini. Media sosial yang semula dijadikan sebagai tempat hiburan dan berkomunikasi malah menjadi lahan mencari-cari hal pribadi orang lain. Batasan antara hal yang bersifat personal dan publik pun menjadi kabur.
Ikut campur dalam masalah pribadi seseorang enggak menggambarkan kalau kita menghargai dan menghormati hak setiap orang untuk bisa merdeka.
Terlebih dengan komen-komen yang bernada mencemooh dan berlagak paling pantas untuk mengadili tindakan seseorang, kebebasan kita dalam berkespresi pun semakin sempit.
Daripada sibuk mengurusi urusan personal orang lain, akan jauh lebih baik kalau kita berkaca dan menyadari bahwa pada dasarnya, diri kita sendiri lah yang lebih membutuhkan perhatian.
Penulis | : | Indra Pramesti |
Editor | : | Indra Pramesti |
KOMENTAR