Pelecehan seksual saat ini menjadi isu yang sering dibahas karena kondisinya semakin memperihatinkan, girls. Disadari atau tidak, kasus pelecehan seksual semakin meningkat dari waktu ke waktu. Korban pelecehan seksual tidak memandang usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan berbagai hal lainnya.
Begitu pula dengan pelaku yang justru terkadang berasal dari kalangan orang berpendidikan, ‘terpandang’, bahkan dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Ayu dan Beta (bukan nama sebenarnya) berbagi cerita kepada Cewekbanget.id tentang pelecehan seksual yang pernah dialami oleh mereka berdua. Berikut cerita Ayu dan Beta:
(Baca juga: Banyak Korban Pelecehan Seksual yang Tidak Berdaya Sehingga Butuh Waktu Lama untuk Terungkap. Kenapa?)
Payudara Ayu yang diraba oleh pelatih Paskibra
“Saat itu sedang pemeriksaan kelengkapan, kami semua istirahat di tempat. Tiba-tiba mas Yudha meraba tubuhku mulai dari pundak turun hingga ke payudara.”
Namaku Ayu. Aku berasal dari salah satu kota di provinsi Jawa Tengah. Kejadian ini aku alami sekitar 7 tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku SMA. Semuanya berjalan lancar dan aku bangga karena aku terpilih menjadi anggota Paskibra.
Menjadi anggota Paskibra yang dipercaya mengibarkan Sang Saka Merah Putih saat Hari Kemerdekaan Indonesia, membuat peleton kami harus berlatih setidaknya 3 jam setiap hari setelah pulang sekolah. Tiga hari menjelang Upacara Hari Kemerdekaan Indonesia, kami diharuskan menginap di sekolah karena pada malam hari latihan tetap dilaksanakan.
Pada malam kedua, seluruh anggota peleton sudah tertidur pulas. Tiba-tiba sirine berbunyi dan instruktur mengharuskan kami berpakaian lengkap sebagai seorang Paskibra. Lampu tidak boleh dinyalakan dan kami harus siap dalam waktu 1 menit.
Jika pernah mengalami kondisi serupa denganku, pasti tahu rasanya berada antara panik dan nyawa yang belum terkumpul karena benar-benar bangun tidur. Kami semua langsung disuruh berkumpul di lapangan, berbaris sesuai peleton. Komandan memberi perintah agar istirahat di tempat. Kami menurut.
(Baca juga: Banyak Korban Pelecehan Seksual yang Tidak Berdaya Sehingga Butuh Waktu Lama untuk Terungkap. Kenapa?)
Saat itu, instruktur Paskibra kami yang bernama Mas Yudha tiba-tiba berteriak dan memberi tahu bahwa seorang Paskibra, pembawa Sang Saka Merah Putih, harus siap kapan pun dan dalam kondisi apa pun jika dipanggil untuk melakukan tugas. Oleh karena itu, mas Yudha dan tim akan melakukan pengecekan kelengkapan pakaian kami.
Temanku yang menggunakan kaos kaki hanya satu, tanpa peci, tanpa emblem, semua disuruh maju dan siap menerima “porsi” alias hukuman. Tiba saat giliranku, mas Yudha memandang dari atas sampai bawah.
Tiba-tiba dia meraba pundak, semakin turun, menuju payudaraku. Ia meraba bagian samping. Setelah itu, mas Yudha berlalu. Aku saat itu tidak menyadari dan hanya bersyukur karena pakaianku lengkap dan tidak mendapatkan hukuman.
Setelah selesai dan akan kembali tidur sampai subuh, aku bertanya pada teman perempuan yang lain apa mereka diperiksa hingga meraba payudara. Mereka hanya menjawab tidak.
Ketika aku ceritakan apa yang aku alami, teman-temanku kaget. Namun mereka hanya berkata bahwa mereka tidak melihat kejadiannya sehingga ditakutkan akan menimbulkan fitnah.
Salah satu temanku malah ada yang mengatakan bahwa mungkin aku masih mengantuk. Tidak, aku yakin benar bahwa mas Yudha meraba payudara bagian samping. Semenjak saat itu, aku menjadi lebih pendiam dan saat Upacara Hari Kemerdekaan, aku yang awalnya sangat excited menjadi tidak bersemangat.
Namun, mulai dari kejadian berlangsung hingga saat ini aku tetap diam. Aku seorang korban yang sama sekali tidak pernah berani mengatakan pada siapa pun, bahkan pada orang tuaku sendiri.
Tujuh tahun, aku memendam perasaan marah, kesal, dan jijik pada diri sendiri serta orang tersebut. Boleh dibilang, aku bahkan sudah lupa dengan wajah orang yang meraba payudaraku.
Berat rasanya untuk membuka luka yang sudah disimpan selama 7 tahun. Tapi, aku harus bisa menceritakan pengalamanku agar perempuan di luar sana lebih berhati-hati agar tidak mengalami kejadian serupa."
(Baca juga: Embel-Embel ‘Cantik’ Dalam Judul Tulisan yang Sebenarnya Merendahkan Perempuan)
Beta disuruh membuka baju saat bimbingan skripsi
“Aku masih ingat betul ketika dosenku menyuruh untuk membuka dua kancing baju yang aku kenakan.”
Aku Beta. Aku akan menceritakan kejadian nyata tentang pelecehan seksual yang pernah aku alami. Singkat saja, karena ketika aku menceritakan semuanya berarti aku membuka luka lama dan keputusan bodoh yang pernah aku ambil.
Kejadian ini berlangsung sudah cukup lama, sekitar 2 tahun lalu. Saat itu, aku merupakan salah satu mahasiswi tingkat akhir yang sedang giat-giatnya mengerjakan skripsi, mengejar dosen untuk mendapatkan tanda tangan “acc” dan sidang.
Demi gelar sarjana. Bagi mahasiswi tingkat akhir yang sama denganku, mungkin benar-benar merasakan bagaimana dosen menjadi “dewa” karena kelulusanku bergantung dari tanda tangan “acc” miliknya.
(Baca juga: Sikapnya yang Melecehkan Perempuan, 6 Tipe Cowok Ini Perlu Kita Hindari)
Saat itu, semua persiapan untuk sidang sudah mencapai 75% karena 25% lainnya, aku belum mendapatkan persetujuan sidang dari dosen X. Dari awal, dosen X sebenarnya dosen yang sangat menyenangkan. Ia baik hati dan sedikit humoris. Mahasiswa pasti betah diajar oleh beliau.
Tibalah hari Jumat sekitar jam 3 sore aku ke kampus untuk menemuinya. Kenapa sore? Karena beliau baru selesai marathon mengajar mahasiswa tingkat bawah. Saat janji dibuat, beliau menyepakati jam 3.
Aku saat itu mengenakan blouse lengan panjang berwarna merah dengan banyak kancing. 15 menit menuju jam 3, aku berangkat dari kost ditemani oleh temanku. Berbeda jurusan, tetapi dia setia denganku.
Tepat jam 3, aku masuk ke dalam sendiri dan temanku menunggu di luar. Aku masuk dengan percaya diri. Ruangan dosen sudah sepi. Akhirnya aku masuk dan duduk di depannya. Ngobrol ke sana kemari akhirnya beliau mengatakan skripsiku disetujui sidang. Senang!
Semua berubah ketika “Saya acc ya, tetapi coba bajunya dibuka 2 kancing.” Mendengar itu, saya masih cengengesan. “Ayo, tunggu apalagi.” Dosenku mengimbuhi. Bodohnya, aku benar-benar membuka kancing, tetapi hanya satu. Aku sudah menahan tangis.
Setelah beliau tanda tangan aku langsung kabur secepat kilat menuju temanku dengan isak tangis. Temanku menanyakan ada apa. Aku menceritakan semuanya. Temanku memang dasarnya emosian, dia mengambil handphone dan menelpon orang tuaku. Orang tuaku kaget tapi segera menuju kota di mana aku kuliah dan ingin menuntut dosen tersebut.
(Baca juga: 40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?)
Keesokan harinya, jurusan sudah heboh. Persis seperti penggrebekan. Dekan turun tangan. Bahkan rektor!
Akhirnya aku menceritakan kronologinya. Beliau mengakui kesalahan dan menangis. Pihak kampus mengatakan akan membawa ke jalur hukum jika memang diinginkan. Tetapi setelah diskusi yang alot, semuanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan oleh orang tuaku.
Murah hati sekali bukan? Aku diganti pembimbing dan Alhamdulillah sudah sarjana. Kabarnya, dosen tersebut menjadi lebih agamis dan pendiam setelah bersekolah di luar negeri. Semoga tidak akan ada korban berikutnya.
Harus berani speak up
Kejadian yang dialami oleh Ayu dan Beta merupakan kejadian yang berada di bawah instansi pendidikan resmi. Dengan kata lain, kita berada di bawah lindungan instansi tersebut.
Maka, jika kita mendapatkan tindakan pelecehan seksual oleh oknum dari instansi tersebut, kita bisa membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Hal pertama yang harus dilakukan memang terdengar sedikit klise, yakni speak up.
Tapi, keberanian kita untuk berbicara bisa menyadarkan perempuan lain untuk berhati-hati dan menangkap oknum pelecehan seksual tersebut.
Sebagai orang yang mendengar cerita dari korban pelecehan seksual, akan lebih baik jika kita mendengarkan ceritanya. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata padas atau menjadikannya sebagai bahan bercanda karena hal tersebut justru akan menyakiti hatinya dan membuat semakin frustasi dengan keadaannya. Jadilah pendengar yang baik,karena itu bisa mendukung mereka.
Penulis | : | Kinanti Nuke Mahardini |
Editor | : | Kinanti Nuke Mahardini |
KOMENTAR