Enggak kalah dari kisah cinta tragis Romeo dan Juliet, Indonesia juga punya beberapa kisah cinta legenda dengan kandungan perih yang mendalam nih, girls.
Dari tanah Sumatera hingga Kalimantan, yuk intip 5 kisah di antaranya!
(Baca juga: 4 kisah cinta tragis kerajaan Inggris
Legenda cinta Mak Lampir (Sumatera Barat)
Buat yang hobi nonton sinetron kolosal, pasti familiar dengan Mak Lampir. Sosok nenek sihir berwajah seram, jahat bukan kepalang.
Tapi ternyata nih menurut legenda, Mak Lampir dulunya adalah seorang putri cantik dari kerajaan kuno Champa yang pernah menguasai daerah yang sekarang kita ketahui sebagai Vietnam Tengah dan Selatan pada sekitar abad ke-7 sampai dengan 1832.
Alkisah, Mak Lampir jatuh cinta pada seorang pimpinan pasukan harimau bernama Datuk Panglima Kumbang. Namun cintanya ini enggak direstui oleh kedua orang tuanya.
Hingga akhirnya Mak Lampir dibuang oleh orang tuanya dan memutuskan untuk bertapa di Gunung Merapi. Dia lantas berguru dengan seorang pertapa sakti dan berhasil memiliki kekuatan yang enggak tertandingi.
Setelah selesai bertapa, Mak Lampir yang enggak tahu kalau sebenarnya Datuk Panglima Kumbang juga mencintainya ini berusaha mencari keberadaan lelaki yang dia cintai itu.
Dalam pencariannya, dia enggak sengaja bertemu dengan Datuk Panglima Kumbang dalam sebuah peperangan yang kemudian berakhir tragis dengan kematian Datuk Panglima Kumbang.
Mak Lampir lalu menggunakan seluruh kesaktiannya untuk menghidupkan kembali sang pujaan hati. ‘Pembangkitan kembali’ Datuk Panglima Kumbang yang berjalan sukses ini harus dibayar oleh Mak Lampir dengan mengorbankan kecantikan parasnya.
Nahas setelah sadar, Datuk Panglima Kumbang sama sekali enggak mengenali wajah buruk Mak Lampir dan justru menuduhnya sebagai setan yang meneror masyarakat.
(Baca juga: 4 kisah cinta nyata Kerajaan Korea yang berakhir tragis)
Legenda cinta Nisan Berdarah (Kalimantan Selatan)
Kisah Nisan Berdarah ini adalah salah satu cerita rakyat paling populer dari Martapura, Kalimantan Selatan.
Legenda kisah cinta tragis antara sosok pembantu dan sang majikan ini jadi asal usul mitos keberadaan nisan berdarah di sebuah pemakaman di daerah Tungkaran.
Dikisahkan dulu tinggalah keluarga saudagar kaya raya di sebuah kediaman besar nan luas. Selain punya lahan pertanian, keluarga ini juga punya lahan perkebunan karet.
Saudagar kaya itu punya banyak pekerja dan salah satunya adalah Mashor, pemuda dengan tabiat baik, pekerja keras serta jujur yang disukai oleh anak perempuannya, Fatimah.
Karena perbedaan status ekonomi, Fatimah dan Mashor menjalin asmara secara diam-diam. Tapi suatu hari hubungan mereka ketahuan dan Mashor yang tadinya bekerja di kediaman Fatimah, dipindahkan untuk bekerja di perkebunan di seberang sungai.
Enggak lama setelahnya, Fatimah lalu dijodohkan oleh seorang pemuda kaya raya bernama Muhdar tanpa sepengetahuan Mashor.
Nahas saat malam pernikahan, terjadi kebakaran besar di rumah Fatimah. Muhdar yang ketakutan lalu meninggalkan Fatimah seorang diri di dalam rumah.
Kobaran api pun nampak hingga ke gubuk kecil Mashor. Tanpa pikir panjang dia berenang menyebrangi sungai dan lari menembus kobaran api mencari Fatimah.
Dengan badan berlumuran darah dan penuh luka bakar, Mashor berhasil membawa Fatimah yang enggak sadarkan diri keluar rumah. Pada waktu yang bersamaan, Muhdar muncul dan langsung merebut Fatimah dari tangan Mashor.
Saat itulah Mashor menyadari kalau Fatimah udah menikah dengan orang lain. Sedih bukan kepalang, Mashor jatuh pingsan. Dia lalu dibawa kembali ke pondok lusuhnya dan dirawat oleh tabib suruhan orang tua Fatimah.
Sempat tersadar dan berkali-kali menyebut nama Fatimah, Mashor lalu menghembuskan napas terakhirnya. Dia lalu dikubur di sebuah pemakaman kecil di dekat gubuk kecilnya.
Berbulan-bulan kemudian, Fatimah baru tahu bahwa Mashor udah meninggal. Bersamaan dengan itu Fatimah juga akhirnya tahu kalau Mashor lah yang menyelamatkannya dari kebakaran. Selama ini keluarga Fatimah sengaja merahasiakan fakta ini agar Fatimah enggak terguncang.
Dengan hati yang dipenuhi duka, dia mendatangi kuburan Mashor. Di tengah gerimis, Fatimah merasa melihat sosok Mashor berdiri di hadapannya sambil tersenyum dan merentangkan tangan. Rindu, dia pun berlari ke arah sosok itu dan memeluknya.
Nahas, Fatimah terjatuh dan menimpa pagar-pagar kayu tajam yang mengelilingi kuburan Mashor. Fatimah lalu menemui ajalnya dalam keadaan tersenyum. Darah Fatimah mengalir di atas nisan Mashor yang kemudian menjali asal muasal mitos nisan berdarah.
(Baca juga: 4 kisah cinta nyata kerajaan Cina yang berakhir tragis)
Legenda cinta Datu Museng dan Putri Lombok Maipa Deapati (Sulawesi Selatan)
Cerita bermula ketika terjadi kekacauan di Butta Gowa yang disebabkan karena adu domba penjajah Belanda. Seorang kakek Addengareng bersama sang cucu Datu Museng akhirnya menyebrangi lautan dan menetap di Sumbawa.
Ketika dewasa, Datu Museng jatuh cinta Maipa Deapati yang saat itu udah bertunangan dengan Putra Sultan Lombok, Pangeran Mangalasa.
Mengetahui sang cucu jatuh cinta pada perempuan yang udah berjodoh, dia menyuruh Datu Museng berangkat ke Mekah untuk belajar ilmu agama.
Kembali dari Mekah, Datu Museng mengetahui kalau Maipa Deapati jatuh sakit. Tanpa pikir panjang, Duta Museng berusaha menyembuhkannya dengan ilmu yang dia dapatkan di Mekah.
Melihat kedekatan Duta Museng dan sang istri, Pangeran Mangalasa cemburu dan akhirnya bersekutu dengan tentara Belanda untuk membunuh Duta Museng.
Kemenangan jatuh ke tangan Duta Museng dan enggak lama setelahnya dia pun menikahi Maipa Deapati. Tapi enggak lama setelahnya, Sultan Lombok meminta Duta Museng - yang udah diangkat sebagai panglima perang - kembali ke Makassar untuk menyelesaikan kekacauan yang tengah terjadi.
Bersama sang istri, Duta Museng pun berangkat ke Makassar. Sesampainya di sana mereka bertemu dengan seorang Kapten Belanda yang ternyata jatuh cinta pada Maipa Deapati.
Kapten itu melancarkan berbagai serangan pada Datu Museng untuk merebut Maipa Deapati. Hingga pada akhirnya Datu Museng pun terdesak.
Karena enggak ingin jatuh ke tangan Kapten Belanda tersebut, Maipa Deapati meminta sang suami untuk membunuhunya. Maipa Deapati lebih memilih mati di tangan suaminya dibanding harus menyerahkan diri pada Belanda.
Dengan berat hati, Datu Museng lantas menancapkan keris pusakanya ke leher Maipa Deapati. Setelah itu dia melepaskan semua ilmu yang dimilikinya dan membiarkan dirinya dibunuh oleh pasukan Belanda.
(Baca juga: 7 kisah cinta cerita rakyat Asia yang berakhir dengan tragis)
Jayaprana dan Layon Sari (Bali)
Jayaprana, abdi dari Raja Kalianget jatuh cinta pada Ni Nyoman Layon Sari, gadis asal desa tetangga yang terkenal akan kecantikannya.
Perasaan cintanya disambut oleh Ni Nyoman Layon Sari dan keduanya lantas memutuskan untuk menikah.
Sayangnya, kebahagiaan pasangan ini enggak bertahan lama. Raja Kalianget yang ternyata juga menyukai Ni Nyoman Layon Sari menyusun strategi untuk membunuh Jayaprana.
Raja mengutus Jayaprana untuk menyelidiki kabar kedatangan bajak laut di Celuk Terima.
Sesampainya di Celuk Terima, utusan Raja Kalianget yang lain lalu membunuh Jayaprana dengan cara menancapkan keris ke tubuhnya.
Setelah mendengar kabar kematian Jayaprana, Ni Nyoman Layon Sari lebih memilih untuk bunuh diri dibanding harus menuruti permintaan Raja yang ingin mempersuntingnya.
Tan Bun An dan Siti Fatimah (Sumatera Selatan)
Tan Bun An adalah saudagar asal Cina yang berdagang hingga ke kota Palembang. Di kota inilah dia bertemu dengan Siti Fatimah, putri Raja Palembang.
Saat Tan Bun An menyampaikan maksud untuk mempersunting Siti Fatimah, orang tuanya memberikan beberapa syarat yang cukup berat. Salah satunya adalah keluarga Tan harus memberikan tujuh guci emas sebagai seserahan.
Mengajak Siti, Tan kemudian kembali ke Cina untuk menemui orang tuanya. Dalam perjalanan pulang di muara Sungai Musi, Tan ingin melihat hadiah emas dari kedua orang tuanya.
Tapi dia kemudian kaget saat melihat bahwa tujuh guci tersebut hanya berisi sayuran sawi asin.
Marah, Tan pun membuang semua guci ke laut. Tapi satu guci terjatuh di atas dek dan pecah. Barulah saat itu Tan menyadari bahwa ada emas yang terletak di bawah tumpukan sawi.
Tanpa pikir panjang, Tan lalu melompat ke laut untuk mengambil emas-emas tersebut.
Lama ditunggu, Tan enggak muncul juga ke permukaan. Khawatir, Siti lalu berpesan pada para pengawalnya, “Jika kelak ada tanah tumbuh di Sungai Musi ini, maka di situlah kuburan kami,” sebelum akhirnya ikut terjun berusaha membantu Tan.
Naas, baik Tan maupun Fatimah enggak pernah muncul kembali ke permukaan.
Daratan yang kini muncul di Sungai Musi disebut dengan Pulau Kemaro.
Penulis | : | Putri Saraswati |
Editor | : | Putri Saraswati |
KOMENTAR