Pasti banyak dari kita yang udah enggak asing dengan istilah Women’s March. Yap, sebuah kegiatan unjuk rasa atau demo besar yang dilakukan oleh para cewek di berbagai belahan dunia ini telah ramai diberitakan beberapa tahun ke belakang.
Di Indonesia sendiri, Women’s March mulai dilaksanakan tahun 2017 lalu, dan di tahun 2018 ini, Women’s March kembali diadakan di Indonesia dengan tema #LawanBersama kekerasan berbasis gender.
Lalu apa pentingnya Women’s March 2018? Jawabannya penting banget, girls. Sekalipun Women’s March ini bermula dari demo para cewek di Amerika Serikat, bukan berarti kita enggak menghadapi masalah yang saa dengan cewek-cewek di belahan dunia lain. Masih banyak hak-hak perempuan di Indonesia yang harus kita perjuangkan, lho.
(Baca juga: Women's March Jakarta 2017: Aksi Seru & Damai Buat Indonesia yang Lebih Baik. Bukan Cuma Tentang Cewek!)
Bukan hanya soal perempuan
Ribuan orang yang nantinya akan turun ke jalan enggak hanya menuntut pemenuhan hak perempuan, tapi juga kelompok marginal lain seperti masyarakat adat, pekerja migran, pekerja industri, pekerja domestic, orang dengan HIV/AIDS, kelompok minoritas gender dan seksual, dan orang difabel. Tuntutan ini bukan hanya perlindungan tapi juga bantuan hukum dan pemulihan untuk penyintas.
Kenapa? Karena ada hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap permpuan yang dilaporkan pada tahun 2017, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan, baik dalam ranah rumah tangga maupun di ranah publik. Menurut data Menghitung Pembunuhan Perempuan, 173 perempuan dibunuh di Indonesia pada tahun 217, dengan 95% di antaranya dibunuh laki-laki.
Alasan Womens March 2018 mendorong permerintah untuk menghapus kekerasan berbasis gender
- RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih belum disahkan, bahkan tidka masuk ke daftar Polegnas 2018. Kelompok AILA juga berupaya mengambil alih dan mengubah fokus RUU ini supaya mempidana semua bentuk hubungan seksual yang mereka anggap ‘zina’. Perubahan ini akan menghilangkan ‘jiwa’ RUU PKS yang berorientasi pada korban.
- RUU Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) juga belum disahkan sejak diajukan pertama kali 14 tahun yang lalu, padahal PRT sangat rentan terhadap kekerasan dan penganiayaan.
- Rancangan KUHP berpotensi besar utnuk meningkatkan stigmatisasi serta diskriminasi karena adanya pasal zina, pasal kumpul kebo, dan pasal larangan distribusi alat kontrasepsi maupun pengembangan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual.
Berdasarkan hal tersebut, ada 8 poin tuntutan kepada pemerintaj, DPR, aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya:
Penulis | : | Indra Pramesti |
Editor | : | Indra Pramesti |
KOMENTAR