Ada 7 Gejala Baru Penularan COVID-19! Salah Satunya Muncul Lebih dari Sebulan!

By Salsabila Putri Pertiwi, Selasa, 22 September 2020 | 12:25 WIB
Ilustrasi - Ratusan orang meninggal usai percaya virus corona adalah teori konspirasi. (diplomatist.com)

CewekBanget.ID - Berbagai gejala umum infeksi COVID-19 seperti batuk kering, sesak napas, demam, meriang, hingga kehilangan kemampuan indera penciuman mungkin sudah kita sadari.

Kita juga barangkali telah mendengar sejumlah gejala dalam bentuk lain seperti ruam kulit yang aneh, tanda dari kuku kaki, hingga konjungtivis atau mata merah.

Namun, ada sejumlah gejala yang baru saja terungkap belakangan, berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman para dokter yang menangani kasus tersebut.

Melakukan pemeriksaan dan mencari bantuan profesional memang merupakan langkah yang paling tepat ketika kita merasakan gejala yang mengganggu, tapi sebaiknya kita juga mengetahui beberapa gejala baru COVID-19 ini supaya lebih tanggap dalam meresponnya.

Baca Juga: Studi: Benarkah Memakai Kacamata Efektif Menangkal Infeksi COVID-19?

Silent Hypoxia

Gejala aneh ini bahkan mengejutkan bagi sebagian dokter yang sudah berpengalaman puluhan tahun karena membuat pasien menderita infeksi paru-paru kronis dengan tingkat oksigen yang sangat rendah, namun tanpa masalah pernapasan sama sekali.

Dalam sebuah opini yang ditulis untuk New York Times, Richard Levitan, MD, menjelaskan lebih dalam tentang hal ini, yakni bahwa kebanyakan pasien dengan kondisi tersebut dilaporkan sakit selama seminggu atau lebih dengan gejala demam, batuk, sakit perut dan kelelahan, tetapi napas mereka menjadi pendek di hari mereka datang ke rumah sakit.

Pneumonia mereka jelas telah berlangsung selama berhari-hari, tetapi saat mereka merasa harus pergi ke rumah sakit, mereka seringkali sudah dalam kondisi kritis.

Pembekuan Darah dan Stroke

Ilustrasi stroke

Salah satu gejala COVID-19 yang terkadang mematikan berkaitan dengan pembekuan darah yang enggak normal.

Menurut ahli, otopsi pasien COVID-19 menunjukkan mikroemboli (gumpalan kecil) di berbagai organ yang menjelaskan beberapa disfungsi organ pada pasien.

Namun, tingkat berbahayanya bergantung pada di mana gumpalan terbentuk atau bermigrasi.

Semua organ dalam tubuh kita bergantung pada darah yang dibawa melalui sistem arteri untuk berfungsi dengan benar, sehingga setiap gangguan suplai darah dapat mengakibatkan konsekuensi yang parah.

Ada sejumlah laporan pembekuan terjadi di aorta, arteri ginjal (menyebabkan infark ginjal), dan tungkai (menyebabkan kaki hitam dan gangren).

Namun, yang paling merusak adalah gumpalan di pembuluh darah otak yang dapat menyebabkan stroke, bahkan pada orang yang lebih muda.

Penyakit Mirip 'Sindrom Kawasaki'

Pada 6 Mei lalu, otoritas negara bagian New York mengeluarkan peringatan yang menjelaskan bahwa ada 64 anak di negara bagian tersebut dirawat di rumah sakit dengan kondisi aneh.

Para dokter menggambarkan kondisi mereka seperti 'sindrom inflamasi multisistem pediatrik'.

Secara klinis, kondisi ini menyerupai proses inflamasi masa kanak-kanak lainnya, penyakit kawasaki.

Contoh gejala yang harus diwaspadai antara lain demam tinggi yang berkepanjangan, mata merah, ruam, nyeri otot, muntah, dan diare.

Biasanya, kondisi ini terjadi beberapa hari setelah infeksi awal.

Baca Juga: 4 Pasangan Seleb Hollywood Ini Melangkah ke Jenjang Serius di Tengah Pandemi Covid-19

Masalah Pencernaan

Sakit perut

Penelitian baru mengklaim, banyak pasien COVID-19 mungkin enggak mengalami gejala pernapasan sama sekali, tapi malah menderita gejala gastrointestinal seperti diare, mual, dan muntah.

Sementara penelitian awal menemukan, kurang dari empat persen pasien COVID-19 memiliki gejala gastrointestinal.

Lalu, sejumlah penelitian yang lebih baru menemukan angka itu mendekati 11 persen, sementara beberapa penelitian lain mengklaim angkanya bisa mencapai 60 persen.

Kebingungan Parah

Kelelahan adalah gejala umum COVID-19, tetapi pada beberapa orang terutama lansia, dilaporkan pula sejumlah gejala baru seperti disorientasi dan kebingungan parah.

Dalam pedoman klinis yang diterbitkan The University of Lausanne Hospital di Revue Medicale Suisse, disebut, kondisi tersebut dapat menyertai demam dan masalah pencernaan.

Joseph R. Berger, profesor neurologi di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, meyakini, gejala kejiwaan ini mungkin disebabkan oleh silent hypoxia atau kekurangan oksigen di otak karena rendahnya kadar dalam darah.

Otak enggak dapat menahan tingkat oksigen yang rendah, jadi ketika otak enggak mendapatkan cukup oksigen, pasien akan menderita hipoksia, yang pada akhirnya dapat mengubah cara berpikir mereka.

Baca Juga: Studi: Jaga Jarak Diperketat, Infeksi COVID-19 Dapat Lebih Rendah!

Lemah dan Dehidrasi

Menurut hasil pemeriksaan, pasien lansia yang dirawat awalnya tampak seperti pasien trauma tetapi belakangan ditemukan mengidap COVID-19, kemudian mereka menjadi lemah dan dehidrasi.

Ketika mereka berdiri untuk berjalan, mereka pingsan dan itu membuat mereka mengalami luka parah.

Orang dewasa yang lebih tua terlihat sangat bingung dan enggak dapat berbicara, yang pada awalnya tampak seperti menderita stroke.

Saat diuji, para peneliti menemukan apa yang menyebabkan perubahan ini adalah efek sistem saraf pusat dari virus corona.

Gejala Berlanjut

Menurut WHO, kebanyakan orang dengan kasus COVID-19 ringan akan pulih dalam dua minggu, sementara infeksi yang lebih parah membutuhkan waktu 3-6 minggu untuk mereda.

Namun, menurut laporan baru dari New York, ada beberapa orang melewati batas 30 hari tersebut dan masih melaporkan gejala COVID-19, terhitung sejak dites negatif.

Dilansir dari Kompas.com, Kerri Noeth, perempuan yang sudah memasuki hari ke-36 infeksi, mengatakan kepada ABC7NY, dia pernah ke UGD dua kali sejak tanda 14 hari dengan gejala berkelanjutan masih saja ada, termasuk rasa terbakar dan kesemutan di dada dan lehernya disertai dengan hot flash.

Ada pula Susan Silverman, yang pada hari ke-38 masih menderita kehilangan indera penciuman, sakit lengan, dan vertigo, meskipun semua gejala tersebut enggak hanya berkaitan dengan COVID-19.

Jika kita merasakan gejala-gejala tersebut, atau bahkan gejala tradisional lain dari COVID-19, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyarankan untuk segera hubungi profesional medis, terutama jika dirasa ada risiko tinggi.

(*)