CewekBanget.ID - Girls, apakah ada di antara kamu yang menyukai musik dan budaya punk?
Kalau iya, mungkin kita kerap dianggap aneh, nyeleneh, hingga 'enggak benar' gara-gara menyukai musik dan budaya yang dipandang sebagai sesuatu yang 'laki banget'.
Sayangnya, bukan cuma dari orang luar, kadang posisi cewek yang kerap dipinggirkan di skena punk bikin berbagai peristiwa seperti pelecehan hingga kekerasan seksual bisa terjadi dan dianggap lumrah, padahal kita cuma mau bersenang-senang seperti orang lain.
Nah, perasaan enggak diterimanya cewek di skena punk seperti itu lalu memunculkan gerakan riot grrrl, istilah untuk menyebut gerakan feminisme 'bawah tanah' di skena punk. Meski identik banget dengan cowok, enggak jarang juga musik dan budaya punk juga sebetulnya diminati para cewek.
Gerakan riot grrrl sendiri sudah eksis lama dan terus berlanjut, tapi rupanya ruang aman bagi cewek di punk enggak serta-merta terbentuk. Bukan hanya di dalam skena musiknya, stigma terhadap cewek yang menyukai dan terlibat dalam musik dan komunitas punk pun masih bersifat negatif dan menyudutkan.
Terus, gimana sih sebenarnya sejarah gerakan riot grrrl? Terus, apa aja yang dihadapi para cewek di skena punk? Bisakah ruang aman itu terwujud?
Riot Grrrl
Meski istilah ini mungkin belum betul-betul dikenal oleh banyak orang, sebagian cewek penggemar musik punk yang juga mengikuti budaya punk mungkin pernah mendengar kata tersebut.
Dalam buku the Riot Grrrl Movement oleh Steve Feliciano, riot grrrl adalah gerakan punk feminis 'bawah tanah' yang dimulai pada awal tahun 1990-an di Amerika Serikat dan sejak itu tersebar seenggaknya di 26 negara.
Bukan cuma berfokus pada partisipasi perempuan dan gender lain dalam musik punk, riot grrrl juga mengombinasikannya dengan feminisme dan politik; dalam gerakan feminisme, riot grrrl kerap identik dengan feminisme gelombang ketiga hingga keempat yang memang sedang berada pada puncaknya di masa itu.
Gerakan riot grrrl sendiri mulai redup beberapa lama setelah kemunculannya, tapi prinsip untuk memperjuangkan hak atas ruang aman perempuan di punk masih berlanjut.
Baca Juga: Gangga Kusuma, Pacar Awkarin yang Dulu Penyanyi Punk Kini Sad Boy!
Musisi Punk Perempuan
Fyi, kendati identik banget dengan laki-laki, punk bukannya hadir tanpa adanya musisi cewek, kok!
Sejak awal kemunculannya pun, ada sejumlah band punk seperti Bikini Kill, Patti Smith Group, Blondie, dan The Runaways yang semua anggota atau fronter-nya adalah perempuan.
Di Indonesia sendiri, kita punya beberapa band punk dengan personil perempuan, salah satunya band post-punk Bananach yang hampir seluruh anggotanya adalah cewek.
Bananach beranggotakan Karina Sokowati sebagai vokalis, Mojan Larasati sebagai gitaris, Fay Murray sebagai drummer, dan Java Anggara sebagai bassist.
Dibentuk pada tahun 2013, Bananach sempat beberapa kali mengalami pergantian formasi tim sampai akhirnya berjalan dengan formasi saat ini, dan mereka beberapa bulan lalu merilis EP Panoptic Litter.
Bukan cuma manggung di Indonesia, Bananach juga sudah mengalami manggung di ajang Decolonize Fest pada 28 Mei 2022 lalu di Berlin, Jerman.
Setelah itu, mereka mengadakan tur di sejumlah kota di Jerman selama bulan Mei 2022 dalam rangka peluncuran EP Panoptic Litter. Keren!
Jadi sesungguhnya, musik punk enggak eksklusif hanya untuk laki-laki ya, girls.
Cewek Suka Punk, Wajar?
Terlepas dari gerakan riot grrrl dan keberadaan band punk perempuan sendiri, kayaknya kita masih sering juga mendengar stereotip kalau cewek yang menyukai musik dan budaya punk itu 'aneh', 'menyimpang', hingga 'nakal'.
Baca Juga: Girl Power! Ini 4 Band Indonesia Personil Cewek dengan Genre Unik!
Mengenai hal itu, seorang perempuan penikmat musik punk dari Bandung, Sarah, turut berkomentar.
"Kesannya seakan-akan punk itu cuma buat laki-laki. Padahal mah kalau lihat di luar (negeri), justru enggak sedikit juga musisi dan penikmat punk yang perempuan, kok,” kata Sarah kepada CewekBanget.id pada Jumat (9/9/2022).
Pernyataan Sarah yang menyukai band punk Sex Pistols itu bisa jadi ada benarnya soal hal itu, girls.
Melansir artikel The Guardian (3/7/2014), perempuan sebetulnya sudah menjadi bagian dari punk, entah itu sebagai promotor, musisi, artis, organisator komunitas punk, hingga mendokumentasikan berbagai media terkait punk pada masa awal kehadirannya.
Awalnya, punk memang bergerak sebagai musik sekaligus komunitas yang inklusif dan beragam.
Tapi makin ke sini, kehadiran laki-laki dengan maskulinitas toxic-nya semakin menggeser posisi perempuan di skena punk.
Hal tersebut sedikit diulas dalam film dokumenter Ini Scene Kami Juga (2016) garapan sutradara Hera Mary.
Inilah, menurut Sarah, yang membuat kehadiran perempuan dalam punk masih dianggap enggak wajar.
Dominasi laki-laki di skena punk seakan membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan yang sama-sama menyukai punk.
Selain itu, hal tersebut sekaligus membuat orang di luar komunitas mereka hanya melihat laki-laki yang pantas jadi bagian dari kultur musik 'keras' tersebut.
Pelecehan Seksual dan Kebutuhan Ruang Aman
Nah, kalau kata Sarah, ia paling kesal ketika sadar bahwa prinsip musik punk adalah soal melawan kekuasaan, tapi justru ia dan teman-teman perempuannya di gig masih saja menjadi korban kekerasan seksual yang merupakan bagian dari misogini dan kuasa laki-laki.
"Jadinya punk ini kayak patriarkis banget," ujar Sarah, "Padahal kalau lihat skena di luar, mereka bisa mulai menghilangkan si patriarki ini. Kadang masalahnya memang dari budaya kitanya sendiri, sih."
Sarah menyebut, enggak jarang catcalling dan bentuk kekerasan seksual lainnya terjadi di gig musik, termasuk punk.
"Dan itu buat mereka sans (santai) aja. 'Ya udah lah, gitu doang'," jelasnya, "Ya, kita yang cewek juga cuma mau ikut enjoy bareng, dengar musiknya bareng, dengan suasana yang aman dan nyaman juga buat kita. Kan sama saja."
Menurut Sarah, "Akhirnya antara kita sebagai cewek yang harus menjauh, atau kita ikut flow mereka, kayak enggak kenapa-napa padahal risih. Kadang ini juga bikin ada internalized misogyny di perempuannya sendiri."
Mendobrak Misogini dan Maskulinitas Punk
Gerakan riot grrrl bertujuan untuk mematahkan pandangan maskulin dan misoginis yang masih sangat kuat terasa di skena punk, dan enggak bisa dimungkiri, terjadi juga di skena punk Indonesia.
"Iya kayak kalau nonton band di gig aja, atau baca beberapa zine atau konten, masih kelihatan banget gimana kita sebagai cewek, ya, enggak merasa aman walaupun sama-sama suka punk," kata seorang punker perempuan yang bisa dipanggil Acil kepada CewekBanget.id, Sabtu (13/8/2022).
Menurutnya, justru prinsip dasar punk adalah menjadi ruang aman dan ekspresi kebebasan dari penindasan, sehingga aksi seperti pelecehan dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi dalam skena punk tentu menodai nilai tersebut.
Enggak semua orang familier dengan istilah riot grrrl sendiri, tapi upaya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan mematahkan image punk yang sangat maskulin terus digencarkan.
Baik Sarah maupun Acil sama-sama berpendapat, ruang aman itu harus mulai disediakan oleh lingkungan, alih-alih hanya perempuan yang diimbau untuk menjaga diri.
"Ya sekarang misal, kita (cewek) udah menjaga diri, tapi kan perilaku seperti sexual harassmentitu datangnya dari kontrol diri masing-masing,” ungkap Acil.
Sementara itu, Sarah merekomendasikan adanya protokol keamanan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya di gig dan venue, bukan hanya untuk panggung punk, tetapi juga pada berbagai jenis pertunjukan musik yang masih rawan kekerasan seksual.
"Jadi sebetulnya kita cuma butuh ruang buat sama-sama have fun bareng, nikmati musik bareng, tanpa yang cewek harus takut diapa-apain cowok. Punk ini punya semua orang,” kata Sarah.
Jadi kalau kita masih merasa punk itu budaya yang ‘cowok banget’, atau banyak orang yang memandang kita aneh karena menyukai punk meski kita adalah cewek, abaikan saja!
Sama seperti semua jenis musik, punk juga terbuka untuk kita para cewek, dan sudah seharusnya ada ruang aman bagi kita sebagai bagian dari budaya tersebut di sana.
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos, dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.
Baca Juga: Kband Enggak Cowok Doang, Cek Rolling Quartz dan 3 Girl Band Kpop Ini!
(*)