6 Tanda Kita dan Mama Punya Hubungan yang Toxic. Kamu Mengalami?

By Siti Fatimah Al Mukarramah, Kamis, 21 Maret 2024 | 10:02 WIB
Ilustrasi toxic relationship sama mama (iStock)

CewekBanget.ID - Apakah hubungan kamu dan mama akur-akur aja?

Atau justru secara enggak sadar kita dan mama sebenarnya punya hubungan yang toxic?

Kalau kita mengalami beberapa tanda ini, bisa menjadi pertanda kita punya toxic relationship sama mama, nih!

Baca Juga: Berdampak ke Anak, Ini 7 Tanda Orang Tua yang Sifatnya Enggak Dewasa

1. Kita memendam emosi negatif

Jika mama kita pernah menyakiti hati kita, kita juga harus mengakui bagaimana perasaan kita terhadap hal tersebut.

Saat kita dihadapkan pada pemikiran tentang mama, kuali emosi negatif mendidih di dalam diri kita. Emosi negatif ini sering kali merupakan campuran dari rasa takut, takut, cemas, penolakan, tercekik, atau rasa sakit emosional yang umum.

Kita kesulitan mengidentifikasi teman dan kolega yang menikmati hubungan mereka dengan ibu mereka. Kita bahkan mungkin berfantasi tentang bagaimana rasanya memiliki seorang mama yang membangkitkan perasaan positif dan penuh kasih sayang.

2. Kita bereaksi terhadap konflik dengan ketundukan atau agresi

Pola asuh yang toxic menyebabkan anak-anak mengembangkan metode penyelesaian konflik yang enggak berfungsi untuk menghadapi figur otoritas yang bermusuhan.

Jika mama kita pernah 'mematahkan' semangat ketika kita tumbuh dewasa, kita belajar menghadapi konflik dengan tunduk bagaimanapun caranya. Kita mungkin berpikir: Apa gunanya berargumen jika kita akan otomatis terjatuh?

Karena cara kita diperlakukan saat kecil, kini sebagai orang dewasa, kita menghindari konflik, lalai membela diri sendiri bila diperlukan, dan enggan membela orang lain agar enggak menimbulkan perselisihan.

Namun, jika mama gagal mematahkan semangat kita, namun menginjak-injak hati kita, kita belajar untuk tetap pasif dalam posisi yang lemah, namun mengembangkan dan menginternalisasi agresi yang dipicu oleh rasa sakit.

Kita telah memutuskan bahwa enggak ada seorang pun yang akan menyakiti kita seperti itu lagi. Sebagai orang dewasa, kita menghadapi konflik secara agresif dan mungkin akan menyerang tanpa provokasi.

Hubungan toxic dengan mama mendorong kita untuk melakukan pukulan pertama dan terakhir ketika kita merasa rentan secara emosional.

Baca Juga: Ortu Enggak Setuju Sama Pacar Kita yang Sekarang? Lakukan 4 Hal Ini!

3. Kita menahan kasih sayang

Mama yang toxic menahan kasih sayang dari anaknya sebagai bentuk hukuman. Mereka belajar bahwa kasih sayang ibu mereka bersyarat, berdasarkan seberapa tulus mereka menyenangkan ibu.

Beberapa ibu mungkin enggak memberikan kasih sayang sama sekali, bahkan ketika anak sudah baik-baik saja. Sebagai tanggapan, beberapa anak akan terus-menerus mencari persetujuan, berharap menerima sedikit pun tanda kasih sayang.

Yang lain memutuskan untuk enggak mengganggu, mengisolasi diri secara emosional dan menghindari kontak. Dalam kedua kasus tersebut, anak-anak dimanipulasi secara emosional dan belajar bahwa kasih sayang adalah komoditas yang bersyarat dan langka.

Salah satu tanda terkuat kita memiliki hubungan toxic dengan mama adalah ketidakmampuan kita menerima kasih sayang dengan cara yang sehat.

Misalnya, sebagai orang dewasa, kita enggak tahu cara menghadapi kasih sayang yang diberikan secara cuma-cuma, dan kita hidup dalam antisipasi bahwa kasih sayang itu akan direnggut secara tiba-tiba.

Kegembiraan dan ketakutan kita menghasilkan perubahan suasana hati emosional yang ekstrim yang mungkin enggak dipahami oleh pasangan/pacar kita.

4. Kita mencari hubungan kodependen

Hubungan kodependen melibatkan pasangan pasif dan dominan yang keduanya menemukan kepuasan dalam ketergantungan emosional dan/atau praktis pasangan pasif pada pasangan dominan.

Pasangan pasif merasa dicintai ketika orang lain bersedia melakukan segalanya untuknya.

Baca Juga: Gini 4 Cara Menjaga Kesehatan Mental di Circle Pertemanan Toxic

Pasangan dominan merasa dicintai saat dibutuhkan. Semakin besar ketergantungan pasangannya, maka orang tersebut semakin merasa dicintai.

Dalam hubungan toxic antara ibu dan anak ini, ibu berperan sebagai pasangan yang dominan. Dia melakukan tindakan ekstrem untuk memastikan anaknya selalu membutuhkannya, sehingga menghambat perkembangan yang sehat.

Pola asuh kodependen menghasilkan anak-anak yang kodependen secara emosional dan/atau praktis. Seorang anak akan menjadi pasangan yang pasif atau dominan ketika dewasa, tergantung pada kepribadian dan kekuatan kemauannya.

Dalam kasus orang dewasa yang memiliki hubungan toxic dengan mamanya, hal ini memang benar adanya.

5. Kita suka mengkritik semua orang, terutama diri sendiri

Pola asuh yang toxic menimbulkan banyak kritik terhadap anak. Para ibu ini dengan keras mengkritik setiap perilaku yang enggak menyenangkan mereka, dan pelanggaran sekecil apa pun akan menimbulkan omelan atau hukuman yang enggak proporsional.

Psikologi telah lama mengajarkan kita bahwa kita semua mengembangkan suara hati, dan bagi banyak orang dewasa, suara hati mereka adalah milik salah satu orang tua mereka, disadari atau tidak.

Sebagai anak dari mama yang toxic, kita selalu merasa diawasi, seolah-olah ada yang memperhatikan dan mengkritik kinerja kita sehari-hari. Kita dengan kasar menilai diri sendiri untuk setiap kesalahan atau kemunduran.

Kegagalan membawa krisis emosional bagi kita, karena harga diri kita hanya bergantung pada kesuksesan.

Kita terus-menerus melawan suara di kepala yang terus-menerus mengulangi bahwa kita enggak cukup baik atau belum cukup sukses. Kita memiliki kecenderungan perfeksionis dan ekspektasi tinggi terhadap orang lain, enggak hanya menjadi pengkritik terburuk bagi diri sendiri tetapi juga orang lain.

6. Kita memerlukan validasi terus-menerus

Anak-anak yang dibesarkan oleh ibu yang toxic akan menjadi dewasa dengan harga diri yang rendah. Lingkungan masa kecil mereka ditandai dengan kritik, kasih sayang yang dirahasiakan, cinta yang bersyarat, dominasi, dan konflik.

Mereka diganggu oleh perasaan enggak berharga dan mencari pengakuan dari orang-orang terdekat mereka. Mereka terutama menginginkan pengakuan yang sering melalui pengakuan atas perilaku atau pencapaian yang baik dan/atau kepastian bahwa mereka dicintai.

Sebagai orang dewasa, karena kita tumbuh dengan ibu yang toxic, kita yakin bahwa kita pada dasarnya enggak dapat dicintai dan takut orang lain akan segera menyadarinya.

Ketika kita melakukan sesuatu dengan baik, kita memastikan orang-orang di sekitar kita mengetahuinya. 

(*)

Baca Juga: 4 Alasan Toxic di Balik Kita Harus Jadi Pribadi yang Kuat. Keliru!