Riena & Eve

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Riena & Eve (Astri Soeparyono)

Riena menangis. Dia merasa bodoh. Eve sedang menunggunya saat ini, tapi dia malah mati. Bukankah ini lucu? Orang mati tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang masih hidup kan?

"Akkhhh!!" Riena berteriak. Sayang, suaranya tidak akan terdengar oleh siapa pun. Dia hanya berupa roh. Dia tak lagi hidup. Awalnya Riena tidak bisa mengakui hal itu, tapi tubuhnya menguatkan fakta bahwa dia tak lagi bisa kembali menjadi manusia normal yang utuh.

Riena ingin mengeluh. Kenapa nasibnya harus begini? Dia tidak mau mati secepat ini. Dia masih ingin bertemu Eve. Riena sudah berpikir untuk mengajak Eve tinggal bersamanya saja. Masa bodoh dengan Mama yang tidak menyetujui rencananya tersebut. Riena hanya tahu apartemen yang ditinggal Eve tidak aman lagi. Karena laki-laki biadab itulah, Eve sampai mengalami ini. Laki-laki itu memang pantas ditikam hingga mati.

Bara kemarahan membara di sorot mata Riena. Masih belum terlambat! pikirnya. Dia harus menemui Eve. Siapa tahu Eve bisa melihatnya. Riena bisa mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan Eve.

Tubuh Riena melayang menembus malam. Dia sedikit merasakan enaknya menjadi roh karena tak perlu waktu lama untuk sampai ke tujuan. Tubuhnya sungguh ringan seperti kapas. Bersama angin malam yang berhembus, Riena pergi menuju apartemen Eve.

Riena menjejakkan kakinya di depan apartemen Eve. Tepat saat itu, sebuah teriakan terdengar, disusul suara keras yang seperti menghantam tanah.

Firasat buruk bersemayam di dada Riena. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya terengah. Riena berlari ke arah sumber suara. Begitu sampai di tempat kejadian, tenggorokan Riena seakan tercekik. Dia melihat sosok yang amat disayanginya di atas tanah. Tubuhnya terbujur kaku dengan darah menggenang di sekelilingnya.

Riena & Eve

"TIDAAAKKK!!!" Suara Riena melengking nyaring. Tapi tidak ada seorang pun di tempat itu yang bisa mendengarnya.

Riena berlari mendekati jasad Eve. Terbayang di benaknya ketakutan yang dirasakan Eve. Tinggal dengan calon ayah tiri dalam apartemen mewah yang dibelikan khusus untuk Mama. Diperkosa oleh calon ayah tirinya sendiri. Tak ada teman. Tak ada keluarga yang bisa dimintai tolong....

Riena menangis. Dia seharusnya ada di samping Eve. Seharusnya dia bisa berhati-hati waktu berangkat tadi. Seharusnya dia tahu ada mobil yang melaju kencang ke arahnya. Seharusnya dia bisa menghindarinya. Seharusnya.... Seharusnya....

Riena mencoba memeluk jasad adiknya. Sia-sia saja. Dia tidak bisa menyentuh benda padat. Riena berteriak frustasi. Ingin rasanya dia memutarbalikkan waktu. Riena ingin kembali ke masa saat keluarganya masih lengkap. Saat Papa dan Mama tidak sering bertengkar dan berujung pada perceraian yang memisahkan Riena dan Eve. Masa-masa itu sangat menyenangkan dan tak akan tergantikan oleh apapun.

Riena masih menangis. Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahunya. Seketika dia menoleh. Seseorang tersenyum di sampingnya. Wajah itu terlihat kuyu dan menyedihkan.

Eve.

"Kakak, rasanya aneh. Tapi, sepertinya aku sudah mati," ucap Eve dengan wajah bingung. Riena terkejut, tapi dia buru-buru memeluk roh Eve.

"Eve...maafkan Kakak. Maafkan Kakak," bisik Riena berkali-kali.

(Oleh: Eni Lestari, foto ilustrasi: tumblr.com)