Riena & Eve

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Riena & Eve (Astri Soeparyono)

Andai waktu bisa diputar kembali, mungkin kejadiannya tidak mengenaskan seperti ini.  

Semua berawal dari pesan pendek itu.

Waktu itu menjelang pukul 9 malam. Riena baru saja selesai shift malam di café tempatnya kerja sambilan. Dia menggantungkan celemek dan memeriksa ponselnya yang bergetar. Dia melotot kaget melihat layar ponsel. Seperti kesetanan, Riena berlari keluar café. Dia buru-buru menaiki motornya, tanpa berpamitan dengan rekan kerjanya yang lain.

Motor Riena melaju menembus kegelapan malam. Tubuhnya gemetar hebat, mengingat pesan yang masuk ke ponselnya tadi.

Kakak, tolong aku. Aku diperkosa. Aku ingin mati saja.

 

Riena kalut. Dia tidak bisa membayangkan adiknya yang masih berumur empat belas tahun berkeinginan untuk mati. Harusnya remaja seusia itu berpikir tentang cinta monyet. Mati bukanlah perkara mudah yang bisa hinggap di pikiran seorang remaja. Pasti ada alasan yang melingkupinya. Dan Riena tahu Eve tidak main-main. Kalau dia tidak segera menemui Eve, mungkin saja Eve benar-benar pergi untuk selamanya.

"Sial!" Riena mengumpat. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia sangat menyayangi Eve. Semenjak orangtuanya bercerai, Riena jarang bertemu Eve. Eve memang ikut dengan Mama, sementara Riena ikut Papa. Tapi itu tidak menjadi soal. Meski tak lagi satu rumah, persaudaraan mereka tidak akan pernah putus sampai kapan pun.

Motor Riena kini melewati jalanan yang lengang. Hanya beberapa kendaraan saja yang lewat. Riena pun berani meng-gas motornya dengan kecepatan penuh. Dia tidak peduli sudah melanggar batas kecepatan. Yang ada di pikirannya hanya Eve. Apa pun yang terjadi, dia harus sampai di apartemen sepuluh menit lagi. Eve tidak akan mau menunggu lebih lama lagi.

Riena berbelok di tikungan jalan. Dia melewati jalan besar sekarang. Banyak kendaraan memenuhi jalan. Riena berdecak kesal, merasa terhambat. Untunglah, Riena pengendara motor yang handal. Dengan lihai, dia menyalip beberapa motor dan mobil. Motornya meliuk-liuk, mencari celah jalan yang kosong. Riena berkosentrasi dengan jalanan di hadapannya.

"Eve, aku mohon jangan melakukan tindakan bodoh," Riena tidak bisa bersabar lagi. Motor yang dinaikinya seperti siput saja. Lambat sekali untuk sampai ke tempat tujuan.

Riena kembali meng-gas motornya. Dia berbelok ke kanan dengan kecepatan penuh. Riena tidak tahu kalau di seberang sana ada sebuah mobil yang melaju cepat ke arahnya. Saat itulah, kejadian naas itu terjadi.

Untuk beberapa saat, Riena merasa tubuhnya melayang. Samar-samar dia mendengar suara klakson yang amat nyaring.

Riena terlempar ke pinggir jalan. Motornya terseret hingga tengah jalan. Tubuh Riena luka-luka. Tulangnya seakan remuk karena menghantam trotoar. Telinganya juga berdenging nyaring. Kepalanya sakit sekali, seperti dipukul dengan batu.

Wajah Eve seketika terbayang di benak Riena. Napas Riena berhembus satu-satu. Tubuhnya benar-benar sakit dan tak bisa digerakkan.

Riena & Eve

"HEI! TOLONG DIA!"

Suara itu sempat terdengar. Riena mencoba membuka mata, tapi dia tidak bisa melihat dengan jelas. Semuanya buram.

"TELEPON AMBULANS! CEPAT!"

Untuk sesaat, Riena merasakan tubuhnya melayang beberapa senti dari tanah. Dia tak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Tubuhnya kini hanya serupa bayangan.

Apa aku sudah menjadi roh? Aku sudah mati?

 

Pertanyaan itu berkeliaran di benak Riena. Saat dia menoleh ke bawah, dia sungguh terkejut melihat tubuhnya bersimbah darah. Matanya juga terpejam. Saat seorang pria tua menggoyangkan tubuhnya, tubuh Riena tidak bereaksi sama sekali.

Ya, Tuhan.... Riena menutup mulut dengan telapak tangan. Tanpa dia sadari, tubuhnya terus melayang ke angkasa.

Riena menangis. Dia merasa bodoh. Eve sedang menunggunya saat ini, tapi dia malah mati. Bukankah ini lucu? Orang mati tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang masih hidup kan?

"Akkhhh!!" Riena berteriak. Sayang, suaranya tidak akan terdengar oleh siapa pun. Dia hanya berupa roh. Dia tak lagi hidup. Awalnya Riena tidak bisa mengakui hal itu, tapi tubuhnya menguatkan fakta bahwa dia tak lagi bisa kembali menjadi manusia normal yang utuh.

Riena ingin mengeluh. Kenapa nasibnya harus begini? Dia tidak mau mati secepat ini. Dia masih ingin bertemu Eve. Riena sudah berpikir untuk mengajak Eve tinggal bersamanya saja. Masa bodoh dengan Mama yang tidak menyetujui rencananya tersebut. Riena hanya tahu apartemen yang ditinggal Eve tidak aman lagi. Karena laki-laki biadab itulah, Eve sampai mengalami ini. Laki-laki itu memang pantas ditikam hingga mati.

Bara kemarahan membara di sorot mata Riena. Masih belum terlambat! pikirnya. Dia harus menemui Eve. Siapa tahu Eve bisa melihatnya. Riena bisa mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan Eve.

Tubuh Riena melayang menembus malam. Dia sedikit merasakan enaknya menjadi roh karena tak perlu waktu lama untuk sampai ke tujuan. Tubuhnya sungguh ringan seperti kapas. Bersama angin malam yang berhembus, Riena pergi menuju apartemen Eve.

Riena menjejakkan kakinya di depan apartemen Eve. Tepat saat itu, sebuah teriakan terdengar, disusul suara keras yang seperti menghantam tanah.

Firasat buruk bersemayam di dada Riena. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya terengah. Riena berlari ke arah sumber suara. Begitu sampai di tempat kejadian, tenggorokan Riena seakan tercekik. Dia melihat sosok yang amat disayanginya di atas tanah. Tubuhnya terbujur kaku dengan darah menggenang di sekelilingnya.

Riena & Eve

"TIDAAAKKK!!!" Suara Riena melengking nyaring. Tapi tidak ada seorang pun di tempat itu yang bisa mendengarnya.

Riena berlari mendekati jasad Eve. Terbayang di benaknya ketakutan yang dirasakan Eve. Tinggal dengan calon ayah tiri dalam apartemen mewah yang dibelikan khusus untuk Mama. Diperkosa oleh calon ayah tirinya sendiri. Tak ada teman. Tak ada keluarga yang bisa dimintai tolong....

Riena menangis. Dia seharusnya ada di samping Eve. Seharusnya dia bisa berhati-hati waktu berangkat tadi. Seharusnya dia tahu ada mobil yang melaju kencang ke arahnya. Seharusnya dia bisa menghindarinya. Seharusnya.... Seharusnya....

Riena mencoba memeluk jasad adiknya. Sia-sia saja. Dia tidak bisa menyentuh benda padat. Riena berteriak frustasi. Ingin rasanya dia memutarbalikkan waktu. Riena ingin kembali ke masa saat keluarganya masih lengkap. Saat Papa dan Mama tidak sering bertengkar dan berujung pada perceraian yang memisahkan Riena dan Eve. Masa-masa itu sangat menyenangkan dan tak akan tergantikan oleh apapun.

Riena masih menangis. Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahunya. Seketika dia menoleh. Seseorang tersenyum di sampingnya. Wajah itu terlihat kuyu dan menyedihkan.

Eve.

"Kakak, rasanya aneh. Tapi, sepertinya aku sudah mati," ucap Eve dengan wajah bingung. Riena terkejut, tapi dia buru-buru memeluk roh Eve.

"Eve...maafkan Kakak. Maafkan Kakak," bisik Riena berkali-kali.

(Oleh: Eni Lestari, foto ilustrasi: tumblr.com)