Di Ujung Pelangi (Bagian 1)

By Astri Soeparyono, Kamis, 13 November 2014 | 17:00 WIB
Di Ujung Pelangi (Bagian 1) (Astri Soeparyono)

Aku melemparkan pandangan ke luar jendela untuk ke-sekian kalinya. Hari ini langit mendung, membuatku tidak bersemangat mendengarkan kata-kata Pak Tri yang sedang menerangkan tentang bangun ruang di depan kelas. Lebih parahnya, mendung ini sepertinya juga membuat kesedihanku menjadi-jadi. Sudah berbulan-bulan aku teracuni oleh kesedihan ini; aku merindukanmu. Aku sangat ingin melihat senyummu, mendengar suaramu, merasakan sentuhan tanganmu di kepalaku. Mungkin, ini saatnya aku pergi menemuimu.

Buku catatan yang sama sekali tidak aku gunakan seharian ini langsung aku masukkan ke dalam tas  begitu guru yang sudah mengajar selama dua jam itu mengakhiri pelajaran. Aku harus segera menemuimu sebelum hujan turun. Lebih tepatnya, sebelum pelangi datang karena sebenarnya, setiap kali ada pelangi, yang aku inginkan adalah berdiam di sisimu, bersamamu menikmati pelangi. Hanya saja, beberapa bulan ini aku menahan keinginan itu. Aku masih kesal padamu.

Kamu pastinya masih ingat. Hari itu juga mendung seperti ini. Hari itu untuk kesekian kalinya aku bertengkar dengan mama, mempertengkarkan tentang kedekatan kita. Dan hari itu, untuk ke-sekian kalinya pula, aku lari dari rumah, mencoba mencari perlindungan padamu.

 

 "Aku nggak mau pulang! Aku mau di sini!" teriakku.

 

"Aku harus nganter kamu pulang!" katamu tegas seraya meraih jaket yang tergantung di sandaran kursimu.

 

Sore itu aku berlari dari rumah dengan kekesalan yang memuncak, muak dengan Mama yang setiap hari hanya mengomel karena harus menjemputku di rumahmu. Aku muak karena Mama bahkan tidak pernah punya waktu buatku, tapi tidak rela jika aku lebih dekat denganmu daripada dengannya. Sore itu, aku mendatangimu, berharap, seperti biasa, kamu akan menerimaku, menghiburku, atau hanya membiarkanku berdiam memperhatikanmu yang sedang sibuk berkutat dengan buku yang coba kamu selesaikan. Tapi, sore itu kamu tidak seperti biasanya.

 

"Aku nggak mau pulang," kataku sekali lagi.

 

Kamu menghela napas, menatapku tanpa kata. Lalu melangkah cepat ke arahku dan menarik tanganku, memaksaku untuk pulang.

 

"Aku mau di sini!" Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamanmu. Tapi, aku tidak menyangka kamu sekuat itu.

 

"Seta! Kamu harus pulang. Tempatmu itu bersama Mamamu!" Kamu mempertahankan genggamanmu di tanganku dan menarikku menuju mobil bututmu yang terparkir di halaman rumah.

 

Aku diam, menurutimu masuk ke dalam mobil dan duduk di sisimu. Padahal sebenarnya, ada amarah yang siap memberontak keluar dari dalam hatiku.

 

Sore itu, untuk pertama kalinya, aku membencimu. Selama ini kamu selalu ada untukku. Lalu, secara tiba-tiba dan tanpa aku tahu kenapa, kamu tiba-tiba tidak menjawab telpon, tidak menjawab pesan-pesanku, dan bahkan melarangku datang ke rumahmu.

Di Ujung Pelangi (Bagian 1)

Awalnya aku pikir, aku tidak akan apa-apa. Awalnya aku menekan kuat-kuat keinginanku untuk bertemu denganmu. Aku berusaha tidak menginginkan mendengar cerita-ceritamu tentang langit, hujan, dan pelangi lagi. Aku berusaha melupakan suara tawamu dan sentuhan tanganmu di kepalaku yang selalu bisa membuatku merasa nyaman. Aku berusaha tidak merindukanmu. Tapi, aku tidak bisa. Aku merindukanmu, semua tentang kamu. Jadi kuputuskan hari ini aku akan menemuimu. Harus.

Hujan. Aku menghentikan langkahku di anak tangga terakhir. Untuk sesaat aku hanya berdiri mematung menatapi hujan yang turun di hadapanku sebelum kemudian membuka tasku dan mengeluarkan jas hujan dari sana. Aku lantas menyumpalkan earphone di telingaku, menyalakan alat pemutar musik, dan menutupi kepalaku dengan penutup kepala jas hujanku. Aku mulai melangkah. Aku sudah siap menembusnya, menembus hujan.

 

 "Ujung pelangi itu kayak apa, ya? Pasti bagus banget," tanyaku hari itu.

 

"Di ujung pelangi itu ada periuk berisi kebahagiaan."

 

"Hmm...berarti kalo aku membutuhkan kebahagiaan, aku cuma butuh nyari ujung pelangi?"

 

Kamu tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku.

"Ujung pelangi ada di mana?" Kedua mataku masih menatapi pelangi yang sedang kita nikmati.

 

Kamu tersenyum. "Di mana saja dia dibutuhkan," jawabmu sembari mengaduk teh hangat di cangkir keramik.

 

"Aku sekarang membutuhkannya."

 

"Kamu menginginkannya, belum membutuhkannya." Kamu berdiri di hadapanku dan menyerahkan salah satu cangkir keramikmu.

 

"Aku butuh, kok!" kataku bersikeras.

 

Kamu tersenyum, tidak menanggapi kata-kataku. Dan obrolan kita akhirnya terhenti di situ, dihentikan oleh suara klakson mobil Mama. Aku harus pulang dan meninggalkanmu walaupun enggan.

Lagu Come Away with Me milik Norah Jones menemani langkahku sekarang. Inginku juga seperti itu. Aku selalu suka setiap kali hujan menyambutku bangun dari tidur. Kamu juga, kan? Kamu juga menyukai hujan, menyukai baunya, menyukai nyanyiannya. Katamu suaranya cantik. Ah, kamu memang cowok aneh. Kamu tidak seperti cowok lainnya yang tidak suka bercerita tentang hal-hal sentimentil seperti itu. Mungkin itu juga yang membuat Mama tidak menyukaimu. Mama selalu mengomel setiap kali tahu aku menemuimu.

 

"Mamamu itu sayang sama kamu. Dia khawatir sama keadaan kamu. Aku juga selalu khawatir kalo kamu enggak ada kabarnya seharian."

 

"Berarti kamu sayang aku?" tanyaku, menyimpulkan kata-katamu.

 

Seperti biasa, kamu tidak menjawabnya dengan kata. Kamu hanya tersenyum lalu mengacak rambutku.

Di Ujung Pelangi (Bagian 1)

Hujan masih belum berhenti sewaktu aku sampai di depan rumahmu. Pintu rumahmu terkunci. Untung aku selalu membawa kunci cadangan yang dulu pernah kamu berikan padaku. Dengan cepat aku memutar kunci dan mendorong pintu kayu itu perlahan. Rumahmu kosong. Tapi biarlah. Aku akan menunggu di sini. Toh hujan juga masih belum berhenti.

Dan sekarang aku terduduk di sini, di kursi ruang tamumu dengan hati yang semakin terasa tersayat. Kupikir aku akan bisa mengobati rinduku dengan datang ke sini. Tapi ternyata kerinduan ini semakin besar karena ruangan ini bau kamu.

Hujan di luar sudah berhenti. Aku melepas earphone yang sedari tadi menyumpal telingaku, bergegas berdiri dan melangkah ke teras. Kamu belum datang. Padahal pelangi sudah mulai muncul. Ah, aku benci seperti ini. Inginku, ada kamu yang menemaniku melihat pelangi. Apalagi sewaktu aku sangat merindukanmu seperti ini.

"Pelangi itu hadiah dari Tuhan untuk bumi. Waktu itu hujan turun; bumi menangis. Tuhan tidak ingin bumi menangis. Tuhan ingin bumi tersenyum. Makanya Dia ciptakan pelangi," katamu dulu.

(Baca juga: Di Ujung Pelangi Bagian 2)

(Oleh: Nina Rahardjo, foto: giphy.com, tumblr.com)