"Waktu itu terjadi sekali aja, jadi enggak boleh disia-siakan," begitu motto Fara. Baginya tidak ada yang lebih penting daripada memanfaatkan waktu sebaiknya. Fara selalu memakai jam tangan hitam bermerk Swatch itu. Matanya tidak pernah lelah untuk melirik ke arah jam itu setiap saat, bahkan ketika menunggu istirahat sekolah selesai. Fara punya alasan sendiri mengapa ia seperti itu. Tidak akan ia memberi tahu alasannya pada siapa pun, kecuali Faris, pacarnya, dan Rina, teman dekatnya.
Hari ini Fara dan Faris janjian pergi ke sekolah bersama, lebih tepatnya Faris yang menjemput Fara di rumahnya. Kalau saja cowok itu telat sedikit, maka raut wajah Fara pasti akan berubah cemberut. Sialnya, peringatan Fara agar Faris tidak telat menjemputnya seperti tidak dihiraukan. Padahal Fara sengaja bangun lebih pagi. Fara sudah hampir 20 menit menunggu kedatangan Faris tapi bahkan tidak ada tanda-tanda cowok itu muncul di jalanan senggang depan rumah Fara. Gadis itu bolak-balik mengecek jamnya, menghentakkan kakinya ke jalanan juga mengernyitkan dahinya. Ia kesal. Faris di mana, sih? Udah jam 6:10 masih aja belum sampai. Dua menit lagi enggak datang, awas ya! katanya dalam hati.
Belum saja dua menit itu berlalu, akhirnya Faris menunjukkan batang hidungnya. Motor matic warna hitamnya yang ngebut seketika berhenti di depan Fara. Faris tampak kelelahan, dan terengah-engah. Peluh-peluh keringatnya juga bercucuran.
"Far...maaf ya tadi..motor aku...." kata Faris dengan napas tersengal-sengal. Fara malah menatap Faris dengan tatapan sinis, mengabaikan pernyataan Faris. Langsung saja ia duduk di jok belakang motor Faris. Faris tidak berkomentar lagi, hanya menghela napas sebentar. Faris tahu betul waktu adalah segalanya untuk Fara, untuk hal ini bahkan ia dinomor duakan, tidak jarang juga mereka bertengkar karena hal sepele seperti Faris yang sering nongkrong di kafe atau seringnya Faris lupa membalas pesan Fara karena terlampau asik bermain PlayStation bersama teman-temannya. Menurut Fara, itu semua tidak penting. Faris menggelengkan kepala, membuyarkan lamunan sesaat itu. Ia lalu menginjak pedal gas perlahan-lahan lalu meluncur ke sekolah.
"Far, hari Sabtu jalan, yuk. Temenin gue cari sepatu," ajak Rina pada Fara. Fara menoleh, tidak memberikan ekspresi apa pun. Matanya menerawang ke seluruh bagian kelas, mencari-cari jawaban.
"Emm, enggak deh, Rin. Enggak apa-apa, ya?" kata Fara menolak. Sebetulnya ia ingin sekali, tapi lagi-lagi karena waktu itu sangat penting. Hanya Rinalah, sahabatnya yang paling sulit ia tolak.
"Kita tuh udah lama banget jalan bareng-eh maksud gue, elo udah jarang banget ngehabisin waktu buat senang-senang aja. Kenapa, sih, Far? Itu lagi, bersalah karena-" Belum selesai Rina berbicara, Fara memotongnya.
"Udah...udah, enggak usah ngomong lagi. Elo enggak ngerti," jawab Fara, ada penyesalan dalam jawabannya. Ia menahan tangis, bibirnya menyimpulkan senyum yang dipaksakan. Ia lalu beranjak pergi ke toilet. Sebenarnya alasan Fara ke toilet hanya untuk menghindari air matanya yang sebentar lagi jatuh. Ia masih merasa kesal, bersalah tepatnya. Ia selalu teringat momen itu, momen yang mengubah keseluruhan kebiasaannya. Hatinya merasakan lagi, pikirannya terusik lagi hingga ia tak menyadari bahwa pipinya sudah basah karena air mata, ia meringis. Untung enggak ada yang melihat, kalbunya berbicara. Ia tidak ingin dilihat saat seperti ini, apalagi oleh Faris dan Rina.
Panas siang itu seakan membakar habis kulit manusia jika saja berada di luar ruangan dalam waktu lama. Tetapi sepertinya tidak bagi Faris, ia masih sabar menunggu pacarnya. Padahal sudah pukul 2 siang, mestinya Fara sudah pulang. Fara bilang ia ingin Faris mengantarnya pulang. Nyatanya sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda kehadiran Fara. Kalau kayak gini, ada sesuatu, nih, pasti. Dia kan selalu telat kalau ada sesuatu doang, ucap Faris dalam hati.
Setelah Faris menunggu cukup lama, akhirnya tampaklah sosok Fara. Ia berjalan lunglai ke arah Faris.
"Kamu kenapa? Kok-" Faris tidak menyelesaikan apa yang ia ingin katakan, ia menatap wajah Fara yang tampak tirus. Fara seperti habis menangis. Fara menatap Faris sebentar, lalu ia senyum. Senyum yang dipaksakan lagi.
"Enggak. Udah, yuk, pulang, Ris," kata Fara singkat. Faris hanya mengangguk dan menepuk-nepuk bahu Fara. Faris tahu pasti ini karena itu, karena itu. Alasan yang sama tiga bulan terakhir. Faris bertekad untuk tidak membiarkan Fara seperti ini lagi.
Segera setelah sampai dirumah Fara langsung terlelap, baginya hanya tidurlah pelarian terbaiknya. Fara tidak tahu menahu berapa lama ia tidur, malam itu pertama kalinya ia tidak memikirkan waktu. Ia hanya tidur saja, tenang, seperti yang sudah lama ia inginkan. Sepanjang tidurnya, Fara merasa tidurnya kali itu terlampau panjang. Ia bermimpi banyak sekali, yang paling ia ingat adalah menjadi putri di sebuah kerajaan, berjalan lenggak-lenggok di atas panggung catwalk, lalu menjadi lulusan terbaik di universitas impiannya.
Lalu setelah sederet mimpi indahnya, mimpi selanjutnya muncul. Di dalam mimpi itu Fara terbangun, hatinya berdegup kencang, keringat dinginnya bercucuran. Ia lalu menatap jam dinding kamarnya, sudah lewat pukul 9. Terlambat, hanya satu kata itu di pikirannya. Pada akhirnya ia malah dipulangkan dari sekolah. Hati yang tadinya dibuat melayang-layang karena imajinasi mimpinya yang indah perlahan-lahan berganti menjadi ketakutan, jantungnya berdegup keras. Ia mulai terbangun dari mimpi-mimpinya, berusaha membuka mata. Keringat dinginnya bercucuran seperti yang ada di mimpinya. Fara ketakutan lagi, ia akhirnya bisa melepaskan dirinya dari mimpi-mimpi itu. Ia terbangun, tubuhnya dipenuhi keringat. Fara lalu mengambil ponselnya, terkaget-kaget ia melihat kalender: Jum'at, 12 Februari 2013 (7:00 )
Terlambat...
Enggak boleh...
Lalu ada pesan singkat, ia membacanya
"Far, kamu dimana? Kamu enggak sekolah? Aku dari tadi nungguin kamu, aku duluan ya," begitu bunyi pesannya. Dari Faris jam 6:12
Kok ibu enggak bangunin sih, protes Fara dalam hati.
Fara beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mandi, memakai seragam putih abu-abu lengkap dengan dasinya. Cepat-cepat ia keluar dari kamar, ditemukannya ibu sedang memakan nasi goreng tanpa memikirkan anaknya yang sedang ketakutan.
"Bu, aku kok enggak dibangunin? Aku telat jadinya, nih," kata Fara dengan nada kesal.
"Lho? Ibu kira kamu sakit," jawab sang ibu.
Fara hanya menatap ibunya sinis, lalu dengan langkah terburu-buru ia melangkah keluar rumah. Ia berusaha mencari angkutan umum, tapi semua angkutan umum penuh. Ia hampir putus asa. Untung ada tukang ojek yang kebetulan lewat. Langsung saja Fara meluncur ke sekolah
Fara bingung, karena yang ia temukan hanyalah sekolah seperti tanpa murid. Ia lalu celingak-celinguk mencari adakah Pak Bowo alias satpam yang menghukum anak-anak telat. Tapi untungnya beliau tidak nampak di mana-mana, Fara lalu menerobos masuk ke sekolah pelan-pelan. Belum sampai 10 meter ia berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Neng, enak aja telat boleh masuk. Kamu yang terakhir telat, tunggu di lapangan. Saya panggil kepala sekolah dulu," perintah Pak Bowo. Fara hanya mengangguk pelan, ia lalu berjalan ke arah lapangan basket. Di sana tidak ada siapa-siapa, Fara berdiri di tengah lapangan. Pasrah menerima hukuman. Lagi-lagi ada seseorang yang menepuk bahunya. Siapa lagi, sih! Baru saja ia ingin menghujat habis orang yang menepuk bahunya yang ia kira Pak Bowo, ternyata malah Faris yang berdiri tepat di belakangnya. Cowok itu tidak memakai baju sekolah, kaos berwarna hitam dipadu dengan celana jeans yang juga berwana hitam. Bau parfumnya menusuk sampai hidung Fara. Faris lalu menyimpulkan senyum sedang Fara menunjukkan ekspresi bingung.
"Kamu kok di sini? Kamu kok pake baju bebas? Aku enggak ngerti, deh."
"Pelan-pelan, Fara. Dengerin, deh. Aku mau ngomong."
"Apa? Aku bingung, Ris. Serius."
"Far...aku tahu waktu itu penting buat kamu. Aku tahu kenapa kamu kayak gini, kamu enggak perlu nyiksa diri."
"Aku enggak nyiksa diri aku."
"Kamu enggak nyiksa diri kamu, kamu nyiksa orang-orang sekitar kamu. Kita khawatir semua, kamu berubah bukan karena kamu mau tapi karena apa yang kamu takutin. Kamu enggak salah, Far. Ayah kamu meninggal itu bukan salah kamu."
"Tapi coba aja kalau aku manfaatin waktu dengan baik terus coba aja waktu itu aku enggak ikut-ikutan nongkrong di kafe ,aku pasti bisa liat Ayah buat yang terakhir, coba aja kalau aku enggak telat," jawab Fara terisak, ia meringis.
"Kamu enggak salah, waktu juga enggak salah. Enggak ada yang salah, om meninggal memang takdirnya, Far," kata Faris coba menenangkan Fara.
Fara masih terisak, ia berpikir lagi apakah memang ini salahnya ataukah yang dibicarakan Faris itu benar. Ia teringat bagaimana Ayah selalu bilang bahwa semua adalah suratan takdir, tidak ada yang bisa disalahkan. Ia juga teringat betapa susah ibu merayunya untuk makan beberapa hari setelah Ayah meninggal, lalu Rina dan Faris yang coba menghiburnya setiap saat. Benar, semua itu takdir. Fara sudah membuat orang lain kesusahan karena tingkahnya. Fara sadar betapa ia mendramatisir keadaan selama ini, betapa mungkin saja Ayahnya kesal dari surga sana karena apa yang ia perbuat. Fara tersenyum lega.
"Maafin aku ya, Ris, makasih juga buat semuanya-" Belum selesai Fara berbicara, di depannya sudah ada sebuket mawar putih yang dibawa oleh Faris. Ia menerima bunganya
"Bentar...kamu belum jawab pertanyaan aku tadi. Kok kamu di sini? Hari ini hari Jumat, kan?"
"Hemm...Jum'at itu kemarin, Far."
"Kamu ngerjain aku?"
"Bukan aku aja, satpam, ibu kamu sama ojek yang tadi kamu naikin juga bantuin aku. Ini kan buat kamu."
"Hah?" Fara kebingungan, sontak saja ia langsung mengejar-ngejar Faris, memukul bahunya dengan mawar tadi. Senyum Fara mengembang, saat itu ia tahu bahwa hari ini hari barunya. Hari ketika hatinya tidak ketakutan akan waktu lagi.
(oleh: simunufa, foto: tumblr.com, giphy.com)