Nilam dan Gelang Perak

By Astri Soeparyono, Kamis, 7 Agustus 2014 | 16:00 WIB
Nilam dan Gelang Perak (Astri Soeparyono)

"Ada hal-hal aneh yang terjadi bukan?"

Nilam mengangguk, mengingat apa yang sudah terjadi setelah ia memakai gelang pemberian Mei Mei. "Sebenarnya, ada apa dengan gelang ini?" tanya Nilam ingin tahu.

"Aku akan menceritakan sebuah kisah. Kira-kira 500 tahun lalu di Inggris. Ini kisah tentang dua orang kakak beradik bernama Maria dan Lily. Lily sangat cantik. Sementara Maria buruk rupa. Lily dengan mudah bisa memiliki pria mana pun, termasuk pria yang disukai Maria. Hal itu membuat Maria membenci Lily. Dia berpikir karena keberadaan Lily, dia tidak dilirik laki-laki mana pun. Akhirnya, dia membunuh Lily dan membakar seisi rumahnya."

Mata Nilam membulat.

"Gelang yang kamu pakai itu adalah satu-satunya yang tersisa dari tubuh Lily. Gelang itu bercerita pada saya." Mata Mei Mei terpejam. Ia membuka mata, lalu menatap Nilam. "Gelang ini... ia ingin balas dendam pada Maria yang telah membunuhnya. Dan kamu adalah reinkarnasi Maria."

"Apa?!" Mata Nilam membeliak.

"Mungkin roh Lily tidak terima dibunuh oleh Maria. Keinginan itu ia simpan dalam gelang miliknya."

Mendengar cerita itu, Nilam spontan mencopot gelangnya dan memberikannya pada Mei Mei. "Aku tidak mau memakai gelang ini lagi!"

Mei Mei memasukkan gelang keperakan itu ke dalam tas. Perempuan tinggi itu tersenyum pada Nilam.

"Saya tidak bisa mencegah keinginan gelang ini. Takdirlah yang mempertemukan kalian." Mata Mei Mei menerawang. "Keinginan atau pun kenangan suatu barang kadang memang menakutkan. Misalnya saja barang-barang di kamar ini. Perlu kamu tahu, ranjang yang kamu tiduri itu, beberapa hari lalu seseorang meninggal di sana. Dan meja di sampingmu itu... pembuatnya bunuh diri sehari setelah meja itu selesai dibuat."

Nilam mengerjapkan mata. Perasaan takut itu datang lagi. Ia merasa tidak nyaman berdekatan dengan perempuan berpakaian cheongsam itu.

Mei Mei tersenyum kecil. "Saya pergi dulu. Mungkin lima menit lagi orang tuamu datang. Terima kasih sudah mampir ke toko saya." Mei Mei beranjak pergi dari hadapan Nilam.

Nilam baru saja pulang dari les piano. Jalannya sedikit terpincang-pincang, efek dari kecelakaan yang menimpanya seminggu lalu.

Di tikungan, langkah Nilam tiba-tiba terhenti. Ia mendongak, melihat papan nama bertuliskan Antique yang bergoyang ditiup angin.

"Aku tidak mau ke sana lagi. Toko itu menakutkan," pikir Nilam. Saat hendak memutar tubuh, mata Nilam menangkap sosok yang amat dikenalnya. Pak Danu, tutornya di kelas piano, memasuki toko itu.

Sementara itu di dalam toko...

Aroma lavender menguar ke seluruh penjuru ruangan. Detik-detik jam berdetak pelan, mengantar pengunjung toko itu ke dimensi lain-dimensi yang tidak mampu diprediksi nalar manusia. Seperti misteri yang terkubur dari kisah di masa lalu.

Mei Mei memejamkan mata. Ia bisa mendengar suara-suara itu di kepalanya. Suara dari benda-benda berharga yang ditemukannya.

Seorang pria membuka pintu. Mei Mei mendekat. Ia tersenyum pada pria itu.

"Selamat datang di toko saya. Ada benda yang Anda inginkan? Saya bisa memberi tahu barang bagus untuk Anda. Ehm... sepertinya piano hitam itu cocok untuk Anda. Anda seorang pianis, bukan?"

"Bagaimana Anda bisa tahu saya seorang pianis?" tanya pria itu heran.

Mei Mei tersenyum. Ia menunjuk piano warna hitam di pojok ruangan. "Piano itu yang mengatakannya pada saya."

(Oleh: Eni Lestari, foto: wifflegif.com)