Airmata Sakura

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Maret 2014 | 16:00 WIB
Airmata Sakura (Astri Soeparyono)

"Ayo, kita pulang! Aku kan sudah bilang, jangan main-main dengan pakaian para tojin[4] itu lagi." Setelah tangannya menggenggam tanganku. "Maaf, kami permisi!"

            Aku tak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, tapi kini aku berada di punggungnya, berkelebatan di antara dahan-dahan ceri yang menjatuhkan sakura. Bahkan, jika aku ingin pun, aku dapat meraih beberapa sakuranbo[5] itu dan mencicipi rasa sepatnya. Kemudian ....

            "Turunlah!"

            Takut-takut, aku turun dari punggungnya. Dan saat dia berbalik ... aku menemukan mata teduh yang hampir dua tahun ini tak sanggup kuusir dari pikiranku. Gelombang rindu yang telah terlalu lama tertahan di tengah lautan hatiku, kini menghempas, menciptakan buih-buih yang tak tahu harus bergembira atau kembali menangis pilu.

            "Hiroshi?" tanpa sadar bibirku menggumamkan nama itu. Kusadari mataku mulai berembun lagi.

            "Aku bukan Hiroshi." Suara lembutnya berbaur dalam hembusan angin musim semi yang menjatuh berkelopak-kelopak sakura di sekitar kami. "Tadi, siapa namamu?"

            "Yamada Ayumi."

            "Untuk apa kamu datang kemari?"

            Aku menggeleng. "Aku bahkan enggak tahu sekarang aku di mana." Kualihkan pandanganku pada langit biru cerah, begitu bersih. Sementara tak ada bangunan lain yang kutemukan di sekitarku, selain pohon-pohon ceri yang sedang berbunga lebat.

            Dia menghela napas pelan. "Darimana asalmu?"

            "Kyoto."

            Matanya mulai menyelidik. Tetapi rona sendu dari matanya yang hitam pekat, tak membuatku takut.