Airmata Sakura

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Maret 2014 | 16:00 WIB
Airmata Sakura (Astri Soeparyono)

            Aku tak tahu harus berujar apa, atau memberikan jawaban apa melalui ... sekadar mengangguk atau menggeleng. Dia berdiri, lalu melompat cepat pada batang ceri di belakangku. Kaki ringannya berlompatan di dahannya yang rapuh seperti melayang, dan tangannya berkali-kali meraih kelopak sakura yang baru saja mekar merekah merah muda. Dalam beberapa detik, dia kembali duduk di sampingku, kali ini tepat di hadapanku agar dia dapat menatap wajahku lebih lekat.

            Jantungku berdegub kuat, menimbulkan beriak di mataku yang mejatuhkan dua tetes airmata. Tetesan itu menerobos dari pelupukku tanpa mampu kucegah.

            Mendapati mataku yang berair, dia hanya terdiam. Kudapati raut bingung di wajahnya, dan gerakan tangannya kikuk. Dia hanya meletakkan kelopak-kelopak itu di pangkuannya.

            "Kenapa kamu menangis, Ayumi?"

            Bibirku bergetar. Tangan kananku menarik keluar sebuah rantai kalung keperakan yang telah lama bergantung di leherku. Kutunjukkan padanya bandulnya yang merah muda berbentuk bunga sakura dan kubuka bandul kalungku, memperlihatkan potret senyum manisku dan Hiroshi saat Festival Musim Panas yang pertama dan terakhir kami.

            "Itu ... seperti aku ... dan Sachi." Suara Jiraemon terbawa angin.

            "Ini aku dan Hiroshi, hampir dua tahun yang lalu. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan saat sedang bersepeda menuju ke Murayama Koen untuk menemuiku di akhir musim dingin. Aku menemukannya bersimbah darah di antara kerumunan orang-orang dan suara sirine ambulance yang menakutkan. Dia menatapku penuh cinta sebelum matanya terpejam selamanya."

            Jiraemon menatapku sendu. Tangan kanannya terulur, menghapus beberapa tetes airmataku yang memberontak, meluncur bergiliran dari kedua mataku.

            "Jiraemon, kalau boleh aku tahu, doa apa yang kamu minta pada Dewa, sampai-sampai tadi kamu meminta maaf padaku?"

            Dia tertunduk. "Doa bodohku, agar Dewa dan kelopak-kelopak sakura berkenan mengembalikan Sachi padaku. Ternyata kamu yang datang, gadis dengan kenangan tentang pemuda yang rupanya sama sepertiku." Tangannya cepat mengumpulkan kelopak sakura di pangkuannya. "Pulanglah, Ayumi!" lalu, dia berlutut dan menjatuhkan kelopak-kelopak itu ke atas kepalaku.

            "Jika takdir telah menautkan hatiku dengann Sachi, juga hatimu dengan seseorang yang begitu serupa denganku itu, maka takdir pula yang akan menuntun hidupku dan hidupmu kembali berjalan sesuai dengan cahaya kebahagiaan hingga aku, dan tentu juga kamu, akan menemukan belahan hati kita di surga." Itulah suara terakhirnya Jiraemon yang kudengar.

            Mataku masih saja berembun, tapi aku dapat melihat dengan jelas cahaya merah muda yang berpendar di sekitar tubuhku, memudarkan sosok Jiraemon yang menatapku tanpa berkedip.