When 7 Days Left

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Februari 2014 | 16:00 WIB
When 7 Days Left (Astri Soeparyono)

            Aku menatap ngeri saat Ayah meremas rambutnya keras-keras, lalu sambil menangis tanpa suara dia memelukku dan membisikkan kata 'maaf' berulang-ulang, seolah dialah yang membunuhku. Kak Cahya terduduk di lantai dengan tatapan kosong, dan sedetik kemudian dia menangis meraung-raung.

            Kenapa aku harus melihat semua ini?

            Aku ikut terduduk sambil memeluk lututku erat-erat saat kudengar langkah kaki yang terseret sedang mendekati kami. Perlahan aku mendongak, dan menatap ibuku. Tangisku tiba-tiba pecah, seolah ada bom yang dari tadi menunggu untuk meledak dalam diriku. Tapi apa yang kupikir akan ibuku lakukan tidak terjadi. Dia hanya menatap jasadku kosong, lalu mengerjap, seolah tersadar.

            Dan tiba-tiba saja dia tertawa melengking. "Dia cuma bercanda, anak bandel itu!" gumamnya gugup, penuh penyangkalan. Mataku mengikutinya mendatangi tubuhku yang tergolek di pelukan ayahku, lalu dia berlutut di sampingku. "Bangun, Lena." Dia menampar pipiku keras. "Bangun!!" jeritnya, masih menampari pipiku semakin keras.

            Ayah segera mencoba menjauhkan ibuku yang masih meronta-ronta, sementara tetangga mulai berdatangan ke rumah kami. Mereka mencoba menenangkan ibuku. Dan aku tahu arti tatapan mereka, mereka menganggap ibuku gila.

Apa yang sudah kulakukan? Padahal aku berjanji akan membahagiakan mereka. Tapi aku malah membuat mereka seperti ini. Aku bangkit berdiri dengan tubuh gemetar hebat. Aku tidak ingin melihat semua ini. Aku tidak sanggup.

Aku  meninggalkan rumahku yang kacau balau dan berjalan. Aku berjalan dan terus berjalan dengan pandangan kosong. Enggak ada yang menatapku. Aku berjalan begitu jauh dan aku enggak merasa lelah. Angin malam menerpa wajahku tapi tidak terasa dingin. Tentu saja, aku sudah mati.

 

            Aku berhenti di suatu jalan yang sepi saat mendengar suara lonceng gereja, terdengar dekat entah di mana. Lalu aku menengadah, menatap langit gelap dengan tatapan nanar setengah memohon. "Putar kembali!" jeritku, di sela-sela suara lonceng yang masih berdentang. "Aku mohon! Putar kembali waktunya!" aku jatuh berlutut, menatap aspal dengan putus asa.

            Aku berjanji akan menerima apa pun takdirku, aku akan menjalaninya. Aku akan menerima tatapan-tatapan yang merendahkanku dengan tabah. Aku akan berusaha lebih baik. "Aku berjanji," bisikku mengiba.

            Lonceng gereja itu masih membelah sunyinya malam, tidak ada yang terjadi. Aku masih berlutut sendiri, tidak ada yang berubah. Lalu lonceng itu berhenti, tepat pada dentang ke-delapan.

            Delapan? Janji?