When 7 Days Left

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Februari 2014 | 16:00 WIB
When 7 Days Left (Astri Soeparyono)

            Tanpa sadar aku berlari, seseorang sedang menungguku. Aku enggak boleh mengecewakannya. Kami sudah begitu lama tidak bertemu, dan aku berjanji akan menemuinya setelah lulus. Dan merayakannya bersamanya. Jadi aku tetap berlari, dengan pikiran kalut seperti orang gila. Bahkan aku sempat menganggap semua sudah kembali normal. Mungkin Tuhan mengabulkan permintaanku, yang pasti, aku harus bertemu dia.

            Dan di situlah dia, di taman dekat perumahan kami. Benar-benar menungguku. Entah kenapa aku dibanjiri kelegaan saat melihatnya, setidaknya dia masih tersenyum kecil sambil menggenggam cokelat kesukaanku, masih tetap manis dengan sorot mata hangat miliknya.

            Aku duduk di sebelahnya dan merasa sedikit sedih saat tatapannya masih tetap seperti melihat udara kosong, lalu aku menyapukan tanganku perlahan di depan wajahnya, berharap dia melupakan tiap serpihan tentang diriku. "Lupakan aku," bisikku, seperti mengucapkan mantra.

            Tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi, dia mengangkatnya tanpa raut curiga. Tapi seketika wajahnya menegang saat dia menutup sambungan telpon. "Kamu mau kemana?" tanyaku sia-sia saat mengamatinya bangkit berdiri dengan panik.

Dia mengusap air matanya yang menetes. Dan aku mengerti. Dia sudah tahu.

Lalu dia berlari tanpa memedulikan apa pun. Aku mencoba mengikutinya saat dia tiba-tiba menabrak beberapa orang tanpa mengucapkan maaf. Bahkan saat dia tiba-tiba terjungkal, dia kembali berdiri dan berlari. Dia berlari seperti orang gila.

" Leo!" jeritku histeris sambil berlari mengikutinya. "Seseorang hentikan dia!" teriakku panik bercampur frustasi, tapi tentu saja tidak ada yang mendengar. Dia bisa mencelakai dirinya sendiri bila berlari seperti itu, pikirku kalut.

Pandanganku mulai kabur dengan air mata saat Leo hampir mencapai bibir jalan raya tanpa sedikit pun mengurangi kecepatannya. Kumohon. Kembalikan. Putar kembali. "Leo! Leo!" teriakku di sela isak tangis, setengah mati berharap dia bisa mendengarku. "Leooo!" jeritku sekuat tenaga.

Dan tiba-tiba dia menoleh. Mencari suara  yang seperti memanggilnya. Lalu semuanya seperti melambat.

Aku membeku. Darahku seperti mendesir tepat di telingaku saat Leo menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Tepat di tengah jalan raya.

Aku melangkah tertatih mencoba meraihnya, tangisku berganti menjadi isakan tersendat. Enggak. Jangan. Tapi suara klakson yang memekakkan telinga itu semakin dekat, Leo membelalak kaget saat melirik ke sampingnya.

"Kumohon," bisikku parau, letih dan putus asa saat lampu putih itu menyorot kami. Jangan biarkan dia hancur. Jangan biarkan siapa pun hancur karena aku. "Kumohon."

Lalu sinar itu semakin dekat, membutakanku.

***

 

Aku mengerjap-ngerjap silau saat menyadari ternyata lampu mejaku terjatuh dan menyorot tepat ke wajahku. Aku meregangkan leherku yang terasa kaku dan tegang. Entah karena tertidur di atas meja atau karena mimpi buruk mengerikan yang terasa begitu nyata namun bahkan tak mampu kuingat.

Aku melirik jam dinding dan melirik ibuku yang tertidur di kasurku. Aku tersenyum. Ibuku memang enggak pernak capek menemaniku belajar.

Jam 01.00 pagi, 7 hari menuju ujian.

Oke, jadi dimana aku tadi? Oh iya sin 2A sama dengan 2.sinA.cosA....

(Oleh: Retno Wulandari, foto: weheartit.com)