Topeng Impian

By Astri Soeparyono, Sabtu, 21 Desember 2013 | 16:00 WIB
Topeng Impian (Astri Soeparyono)

            Aku akan berangkat menuju Singapura beberapa jam lagi. Setelah check-up dan dokter mengatakan bahwa aku siap untuk dioperasi, aku pun siap menanggung segala resiko yang ada.

            Aku tidak memberitahu Naufal hingga sejauh ini. Aku menitipkan surat pada dokter, bila terjadi kemungkinan terburuk. Kemungkinan terburuk yang terbesar.

            Aku berangkat menuju Singapura dengan pesawat bersama ayah dan ibuku. Mereka mendukungku, menyemangatiku hingga aku lelah mendengar ocehan mereka. Ketika sampai di bandara, aku terkejut setengah mati.

            Naufal meneleponku dengan panik, "Kemana kau, Rin? Kau jahat sekali tidak memberitahukan hal ini padaku!!"

            Sekali lagi aku menangis bersamanya, "Aku minta maaf. Jangan khawatir, aku baik-baik saja."

            Aku memasuki ruang operasi, dengan tenang yang pasrah. Apa pun yang terjadi berikutnya, sudah tidak ada yang bisa diubah. Tuhan telah memberi karunia terbaik yang pernah ada.

 

            Aku tenggelam dalam obat bius yang membutakan kesadaranku. Ketika kesadaranku pulih, semua orang berada di pinggir tempat tidurku dan tersenyum bahagia. Mereka tampak tidak percaya bahwa aku berhasil. Aku berhasil.

            Aku sangat bahagia. Tak henti-hentinya aku bersyukur pada tuhan. Aku mengambil ponsel dan ingin segera menelepon Naufal. Namun, sebuah pesan singkat tertera di layar handphone-ku.

            Hey, kau melupakan 7 topeng kita, ya? Kau ini! Satu topeng lagi tak sabar ingin segera dilukis. Tetap di sana, dan aku akan ada di Singapura beberapa jam lagi.

                                                                                                            Naufal

            Aku sangat senang, dan segera meneleponnya. Namun, yang menjawab hanyalah suara operator yang terus diulang-ulang. Aku meneleponnya hingga belasan kali. Berharap suara operator itu berubah menjadi suara yang biasa kudengar.