Mata Ganda

By Astri Soeparyono, Sabtu, 2 November 2013 | 16:00 WIB
Mata Ganda (Astri Soeparyono)

Menurutku sendiri, Ganda bukanlah sosok cowok yang buruk. Dia berpenampilan rapi, dengan sisiran rambut ke kanan. Kacamatanya agak besar, dan dia gemar menunduk. Yah, entah apa yang ia cari di bawah sana.

Awal mula semua kejadian ini, hanyalah karena hal sepele. Sangat sepele. Hanya karena aku memanggilnya untuk mengerjakan tugas bahasa Indonesia, karena aku satu kelompok dengannya. Waktu itu sepulang sekolah, kelas ramai dengan soal-soal fotokopi yang belum dibagikan. Di tengah-tengah keramaian itu, sempat-sempatnya aku berteriak kepada Ganda, "Gan, aku tunggu di perpus, ya."

Dan aku tidak menyangka, hanya karena hal sesepele itu, semuanya melebar jauh. Semua anak yang tengah ramai langsung berhenti membahas soal-soal fotokopi yang belum dibagikan. Semua mata menatapku dengan lurus saat itu. Dan sejurus kemudian, siulan panjang terdengar. Kata sakral godaan menyebar.

"Ciee... cieee... Ihiiiiy!!!"

Tapi saat itu aku tak peduli. Aku langsung bergegas keluar kelas dan menuju perpustakaan untuk mencari-cari buku referensi yang tepat untuk tugas bahasa Indonesiaku dan Ganda.

Sampai sekarang, aku masih tidak menyangka, hal ini menjamur dan teman-teman sekelas selalu berusaha membuatku dan Ganda bersama atau terlihat bersama. Aku, sih, cuek-cuek saja. Toh, lama kelamaan pasti akan menghilang sendiri. Tapi, sepertinya tidak dengan Ganda. Ia semakin hobil menunduk dan menunduk.

***

"Vera Almira," panggil Pak Bin, guru matematika yang terkenal sistematis dengan penulisan eksata matematikannya. Di balik kacamatanya, aku bisa melihat kilatan matanya yang berkilauan. Memanggil serta memaksaku untuk melahap soal matematika yang tidak kumengerti apa maksudnya.

Dengan gontai aku maju ke depan. Menatap dengan lamat-lamat soal di papan tulis. Sesekali aku menoleh ke belakang, berharap mendapatkan petunjuk dari teman-teman.

"Suganda Atmaja, nomor berikutnya," panggil Pak Bin lagi, membuat suasana menjadi riuh tinggi. Sementara kulihat Ganda berjalan maju dengan pandangan ke bawah. Ia terus saja menunduk, nampaknya dia tidak khawatir kacamatanya akan terlepas dari daun telinganya.

"Cie-cie, jodoh nih!" celetuk seseorang memancing sorakan-sorakan lainnya. Aku menjadi semakin buyar dengan soal yang ada di depanku. Aku semakin buntu dengan segala akar permasalahan yang ada di depan.

Pertanyaan apa dan bagaimana semakin datang beruntut dan berbuntut. Sementara kulihat Ganda dengan pandangan tegak mampu menyelesaikan soal matematika itu dengan lancarnya. Sepertinya, hanya kepada soal-soal berangka saja yang tidak akan membuatnya menunduk.