Boneka Gipsi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 5 Oktober 2013 | 16:00 WIB
Boneka Gipsi (Astri Soeparyono)

Lelaki jangkung itu bangkit dari duduk, mencangklongkan cerutu ke bibirnya yang setengah bergumam, "Tidak bisa, Sayang. Papa harus berangkat sore ini juga."

"Tapi Pa..., Papa belum genap seminggu ada di rumah. Sekarang hendak pergi lagi?" mata gadis belasan tahun itu membola. Lalu bibirnya mengerucut kesal.

"Rachel, Papa sudah tidak muda lagi sementara usiamu belum lagi genap 15 tahun. Perjalananmu masih panjang. Selagi Papa masih sehat, Papa harus bekerja. Memastikan agar kelak hidupmu terus nyaman. Mengerti?" Lelaki jangkung yang rambutnya memutih nyaris sempurna itu memegang bahu putrinya dengan lembut.

"Well, Tuan Christopher Reindhart, di usia Anda yang senja, bukankah lebih baik jika menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bersama putri anda satu-satunya di Pasar Malam?" rajuk Rachel sambil mengulaskan senyum semanis yang ia bisa.

"Papa tidak setua itu, Rachel," Chris tertawa sambil mengenakan mantel dan topinya.

"Aku serius soal Pasar Malam itu, Pa! Rombongan gipsi itu baru sampai kemarin malam, mereka berkemah di lapangan pinggir kota," seru Rachel berlomba dengan tubuh jangkung ayahnya yang menghilang di balik pintu.

Rachel menghela napas menatap pintu kamar kerja ayahnya yang kini menutup sempurna.

"Kau bisa pergi dengan Nana, Rachel. Minta ia menemanimu." Suara bariton Chris membuat Rachel terlonjak kaget. Ia menoleh dan mendapati wajah ayahnya yang muncul dari celah pintu yang terbuka kembali.

Rachel tersenyum lebar.

"Terimakasih Pa, hati-hati di jalan."

Chris mengangguk. "Kau juga, Gadis Kecil," ujarnya sebelum menutup pintu untuk kedua kalinya.

--

Udara malam ini terasa hangat. Sesekali terasa semilir angin malam yang bebas keluar masuk dari jendela kamar yang terbuka. Rachel sengaja membukanya lebar-lebar, berharap hawa sejuk yang dibawa oleh hembusan angin bisa meredakan kekesalannya pada Nana. Wanita gemuk yang menjadi pengasuhnya sejak bayi tanpa diduga menolak mentah-mentah ajakan Rachel untuk pergi ke Pasar Malam.

"Apa? Pasar Malam di malam Bulan Biru seperti ini?" Nana berjengit dengan suara nyaring begitu mendengar ajakan Rachel. Tangannya yang gemuk dan kokoh berhenti membolak-balik biskuit coklat yang tengah dipanggangnya.

"Memangnya ada apa dengan Bulan Biru?" Rachel meraih sekeping biskuit yang sudah jadi dan meniup-niupnya untuk menghilangkan panas.

"Malam ini semua sihir bekerja. Sihir jahat, sihir baik...semua!" tandas Nana serius.

"Nana, para penyihir telah habis diburu sejak lama. Kau mengada-ada," Rachel tergelak-gelak nyaris tersedak. Buru-buru diraihnya segelas lemon dingin dari meja dapur.

"Nana tidak pernah mengada-ada, Nona. Dan sihir para gipsi tidak pernah benar-benar lenyap. Jadi malam ini, baik-baiklah di rumah. Besok, saat hari terang kita akan mampir sebentar ke lapangan pinggir kota untuk memuaskan rasa ingin tahumu."

Rachel mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sudah 13 tahun ia dalam asuhan Nana. Ia tahu persis, jika Nana mengatakan sesuatu dengan mimik seserius saat ini, maka itu adalah perintah. Seisi rumah besar ini harus patuh. Bahkan ayahnya sekalipun. Entah karisma apa yang dimiliki perempuan tua gemuk yang penyayang itu, namun nyatanya Rachel memilih alasan ingin tidur lebih awal untuk mengunci diri di kamar ketimbang harus berdebat panjang dengan Nana.

"Ke Pasar Malam pada siang hari terang benderang?! Huaaah, yang benar saja. Di mana letak keseruannya?! Rachel menggerutu sendiri. Ia membolak-balik tubuhnya dengan gelisah. Berulangkali dicobanya memejamkan mata namun tak berhasil. Matanya justru nyalang menatap langit-langit kamar.

Tiba-tiba dengan gerakan cepat Rachel bangkit dari tempat tidur. Samar-samar telinganya menangkap alunan musik yang riang. Khas musik yang dinyanyikan kaum gipsi di antara karavan-karavan mereka. Rachel memejamkan mata, memusatkan konsentrasi pada pendengarannya. Nada-nada itu masih terdengar meski samar-samar. Perlahan ia kembali membuka mata dan menatap jendela yang terbuka. Tirai berenda putih itu melambai menandai gerakan angin yang menembus masuk ke kamar. Rachel merasakan hawa dingin pada tengkuk dan lengannya. Ia memutuskan untuk merapatkan daun-daun jendela itu ketika sekelebat ide melintas di pikirannya. Bergegas gadis itu menuju ke lemari besar di sudut kamar, tempat gaun-gaunnya tersimpan.

--

Rachel terengah-engah melangkah di setapak menanjak pada bukit kecil itu. Ia beruntung sebab purnama yang bulat sempurna membuat bukit menjadi remang keemasan. Cukup terang untuk dilewati tanpa bantuan lentera. Bagaimanapun juga memintas jarak melalui bukit ini jauh lebih aman ketimbang melewati jalan di tengah kota. Yang meskipun lebih nyaman namun akan membuatnya berpapasan dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya. Pasar Malam.

Sedikit binar jahil menyala di mata Rachel. Sungguh ini adalah hal paling gila yang pernah ia lakukan. Melompat dari jendela atau sesekali melarikan diri dari kamarnya adalah kenakalan kecil yang biasa ia lakukan. Namun tetap saja dilakukan di siang hari, bukan di malam hari seperti saat ini. Rachel terus melangkah melintasi padang bunga daffodil. Mengikuti setapak kecil di bukit yang berujung pada lapangan besar di pinggiran kota.

Suara gesekan biola yang riang ditingkahi gelak tawa riang pengunjung Pasar Malam semakin jelas terdengar. Rachel bahkan bisa melihat kerlip lampu karavan-karavan gipsi juga liukan ujung api unggun besar yang menyala di tengah lapangan. Langkah-langkahnya semakin cepat dan bersemangat. Lagipula ia harus bergegas agar bisa menikmati keramaian Pasar Malam dengan leluasa sekaligus pulang tak terlalu larut. Bulan yang bergeser akan membuat bukit menjadi lebih gelap yang akan menyulitkan perjalanan pulangnya.

--

Rachel terpaku dengan bibir sedikit terbuka. Pemandangan Pasar Malam yang riuh kini terpampang di depan mata. Hingar bingar musik, seliweran pengunjung di antara karavan dan tenda warna-warni. Beberapa badut melintas dan muncul tak terduga mengagetkan pengunjung. Rachel menelan ludah melihat meja kecil yang penuh permen kapas warna-warni di salah-satu sudut Pasar Malam. Untunglah tadi ia sempat membawa dompet kecil tempat ia biasa menyimpan uang-uang koinnya.

Perlahan-lahan ia menyusuri pinggir perkemahan yang melingkar. Meski pengunjung Pasar Malam ini cukup ramai tetap saja ia tak ingin berpapasan dengan seseorang yang mengenalnya dan tertangkap basah berkeliaran sendirian. Hukuman yang akan diterimanya dari Nana bisa sangat berat dan membosankan. Dengan hati-hati Rachel melangkah menghindari kaleng-kaleng bekas cat yang bergelimpangan di rumput atau perabot milik para gipsi yang di letakkan begitu saja di belakang karavan mereka.

Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik tenda bergaris-garis biru di depannya. Seorang pemuda yang mungkin seumuran dirinya dengan banyak pisau yang tergantung pada sabuk kulit menatapnya dengan pandangan tajam menyelidik. Rachel membalas tatapannya dengan ekspresi terkejut. Pemuda tadi dengan matanya yang cokelat bening menatap gadis di depannya dari rambut hingga ujung kaki. Lalu bibirnya membentuk tarikan di sudut dan berlalu begitu saja tanpa berkata-kata. Rachel menatap kepergian pemuda itu dengan dada bergemuruh akibat terkejut sekaligus takut melihat kantung-kantung kulit berisi pisau di pinggangnya.

"Astaga Rachel...bisa saja ia cuma seorang pelempar pisau," bisiknya pada diri sendiri lalu tertawa kecil menertawai kebodohannya.

Diteruskannya langkah, ia ingin memulai petualangan ini dari tenda yang paling ujung. Tenda berwarna marun dan emas itu menarik hati Rachel. Gadis itu telah melihatnya tadi di kejauhan saat ia memasuki area Pasar Malam.

--

Di depan tenda yang ditujunya, Rachel masih berdiri terpaku. Tangannya tanpa sadar mengelus tenda marun dengan pinggir berwarna keemasan. Tenda yang berdiri sedikit menjauh dari tenda-tenda lainnya ini sungguh berbeda. Rachel tak mengerti bagaimana bisa beledu yang selembut dan setebal ini bisa dijadikan tenda.

"Kamu yang berdiri di depan, masuklah!" Suara perempuan terdengar dari dalam tenda. Rachel menoleh ke samping kanan-kiri memastikan dirinyalah yang dimaksud.

"Iya, kamu, Gadis Kecil," suara dengan logat gipsi dan aksen Eropa Timur itu kembali memanggil.

Sosok perempuan peramal dengan gaun penuh sulaman bunga-bunga kecil dengan warna cerah menyambut Rachel yang memasuki tenda. Rambut panjang yang gelap dan ikal tertutup sebagian oleh syal berwarna merah. Bibirnya disapu warna merah yang sewarna dengan cat kuku di jemari tangannya. Perempuan itu tersenyum.

"Masuklah. Jangan takut. Kau telah menempuh perjalanan yang panjang untuk sampai kemari, Gadis Pemberani," ujar peramal itu melambaikan tangan memerintahkan Rachel untuk duduk di kursi kecil. Rachel menurut. Kini, ia dan si peramal duduk berhadapan. Sebuah meja kecil dengan taplak ungu yang panjang hingga menyentuh lantai  tanah berada di antara mereka.

"Coba kulihat telapak tanganmu."

Rachel mengangsurkan tangannya.

Perempuan peramal itu mengusapnya sebentar. Keningnya berkerut sedikit lalu senyumnya terkembang.

"Apakah garis tanganku menyedihkan?" tanya Rachel sedikit khawatir.

"Tidak. Sama sekali tidak. Bagiku, garis tanganmu menyenangkan." Peramal itu mengerling sembari tersenyum misterius. Rachel dapat melihat sepasang matanya yang sehijau zamrud itu begitu kontras dengan kulit wajahnya yang berwarna zaitun. Peramal yang cantik, bisik Rachel dalam hati.

"Terima kasih. Kau juga cantik, Gadis yang Kesepian."

Rachel berjengit kaget.

"Kau bisa membaca pikiranku? Dari mana kau tahu aku sering kesepian?" tanya Rachel bertubi-tubi.

Peramal itu melemparkan senyum yang seakan berkata, aku seorang peramal, yang membuat gadis itu tersipu telah bertanya hal yang konyol.

"Dulu aku pun kesepian. Tapi sekarang tidak lagi." Telunjuk peramal itu mengarah pada sebuah rak kaca mungil yang penuh berisi boneka-boneka cantik. Bermata besar  dengan warna rambut dan kulit yang berbeda-beda. Rachel memekik kecil karena riang.

"Ada satu yang cocok untukmu." Si Peramal berdiri dan membuka lemari kaca lalu mengambil salah-satu dari boneka-boneka cantik itu.

"Bagaimana menurutmu?"

Rachel menatap boneka yang kini telah berpindah ke tangannya dengan takjub. Rambut boneka itu berwarna pirang gelap seperti warna rambutnya. Bola matanya yang bulat juga berwarna biru terang sama serupa matanya. Bahkan juga tarikan bibirnya. Boneka itu serupa dirinya! Rachel seolah tersihir oleh hasrat yang begitu besar untuk memiliki boneka itu.

"Aku ingin memilikinya," ujar Rachel. Matanya tak lepas memandang wajah boneka itu.

"Jangan." Peramal itu menyahut pendek.

"Aku mau." Rachel bersikukuh. Suaranya terdengar berat.

"Kau akan menyesal. Dia akan merebut jiwamu."

"AKU TAK PEDULI!" teriak Rachel melengking. Dan tiba-tiba saja musik Pasar Malam terdengar lebih nyaring. Percakapan dan gelak tawa menjadi lebih riuh. Rachel merasakan sekelilingnya berputar cepat dan semakin cepat. Udara menjadi terasa berat dan gadis itu merasakan tubuhnya terhisap oleh sesuatu yang sangat kuat. Semakin ke dalam. Ia tercekik dan tak kuasa melawan. Matanya terasa berkunang-kunang, pandangannya mengabur. Samar-samar ia mendengar suara peramal itu berkata, "Nona muda yang kesepian dan pemberontak, selalu mudah terperangkap."

Rachel tak sanggup lagi menyahut. Tubuhnya lemas dan kesadarannya setipis benang. Matanya seperti dibebani batu berton-ton beratnya. Suara-suara kini terdengar menjauh semakin jauh. Gadis itu terjatuh lunglai dan boneka di tangannya terlepas. Ia dan boneka itu tergeletak berhadapan dan dilihatnya mata biru milik boneka itu berkedip!

--

Rachel terkesiap bangun. Matanya terbuka nyalang menatap langit-langit. Dahinya terasa lembab dan rambut panjangnya lengket oleh keringat dingin. Mimpinya semalam mengerikan sekali. Ia bahkan tak mengira bahwa semua yang ia alami ternyata hanya sebuah mimpi buruk. Terlalu nyata dan hidup! Kicau burung yang ribut, suara Thomas si tukang kebun yang bertengkar dengan Nana merebut kesadarannya dengan sempurna. Rachel duduk bersandar pada kepala ranjang untuk meraih segelas air putih yang mungkin bisa meredakan debar jantungnya. Ingatan gadis itu melayang pada kedipan boneka gipsi di mimpinya semalam. Kengerian kembali mencekik tenggorokan.  Segera diteguknya tandas isi gelas itu lalu ia hembuskan napas panjang sesudahnya. Mencoba mengusir ketakutan.

Tiba-tiba matanya menangkap warna kuning dari kelopak daffodil di ujung bawah selimutnya. Wajah Rachel seketika memucat dan jantungnya seolah berhenti.

Sebuah ketukan di pintu dan tubuh besar milik Nana memasuki kamar Rachel.

"Selamat pagi, Kenapa kau begitu pucat seperti baru melihat hantu?"

Rachel menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak ada apa-apa, Nana. Sungguh," ujarnya berusaha meyakinkan Nana.

"Apa itu yang kau bawa?" Rachel menunjuk bungkusan besar berpita yang dibawa Nana.

"Oh, seorang kurir mengantarkannya untukmu pagi ini. Tapi aku tak mendengar dengan jelas nama pengirim yang diucapkannya. Bahkan kartu kecil si pengirim entah menyelip kemana." Nana menggelengkan kepala dengan rupa prihatin.

Rachel membuka simpul pita bingkisan itu, membuka kotaknya dan jantungnya mencelos. Sedetik kemudian jeritanny  melengking terdengar ke penjuru rumah. Kotak bingkisan itu terlempar keras, dan isinya terguling di lantai.

Sebuah boneka berambut pirang gelap dan bermata biru yang mengedip padanya.

(Oleh: Tantri Shubhaprada, foto: pinterest.com)