Senyum Bunga Matahari

By Astri Soeparyono, Sabtu, 31 Agustus 2013 | 16:00 WIB
Senyum Bunga Matahari (Astri Soeparyono)

Suara Bunda terdengar sampai padaku meskipun jarak kami terpisah sekitar lima belas meter. Aku yang di pekarangan rumah sayup-sayup mendengar suara ekspresif Bunda yang sedang menceritakan tentang putri tunggalnya, Yuri. Mungkin beliau sedang kedatangan kerabat yang ingin membeli salah satu koleksi bunganya di toko. Ah tapi, setelah kucoba untuk menjelikan pendengaranku, kenapa di ujung kalimat Bunda terdengar seperti melibatkanku di dalamnya?

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat padaku. Bunda bersama dua orang di belakangnya, seorang anak lelaki dan seorang wanita paruh baya. Anak lelaki tersebut membawa sebuah tas besar yang berisi gitar di dalamnya, mungkin anak ini sebaya dengan Yuri. Sementara si wanita mengenakan pakaian resmi dengan tas tangan di lengan kanannya, siapa pun bisa menduga bahwa wanita tersebut adalah ibu dari anak lelaki di sebelahnya.

"Ini adalah salah satu koleksi kami, Yuri suka sekali melukis di sini. Menurutnya, tempat ini banyak memberinya inspirasi," ujar Bunda bangga memperlihatkan pekarangannya yang penuh dengan bermacam-macam tumbuhan. "Oh ya Adit, kalau tidak salah ibumu tadi menyebutkan nama sekolahmu sekarang, sepertinya kamu satu sekolah dengan putri Tante."

Anak lelaki itu mengangguk setelah Bunda mengucap nama sekolahnya. Sekolah yang sama dimana Yuri juga belajar di dalamnya.

"Sudah kenal dengan Yuri?"

Anak lelaki itu menggeleng.

"Baiklah, bagaimana kalau besok kau ke sini membawa pesanan ibumu? Nanti akan Tante kenalkan pada Yuri," usul Bunda dengan sebelah tangan yang membelai lembut kelopak kuningku. Ya, aku. Si bunga matahari yang ditanam di pekarangan rumah Bunda dan sangat disukai Yuri seperti katanya.

***

 

Hello, Yuri! Kedatanganmu tiba-tiba tanpa sadar membuatku monolog dalam improvisasi imajinasiku seperti biasanya. Kalau kau tanya bagaimana perasaanku saat ini, tentu saja akan kujawab kalau aku senang bertemu lagi denganmu. Kesibukanmu belakangan ini membuat kita jarang bertemu, bukan? Padahal tentu saja aku merindukanmu. Kau selalu mengistimewakanku daripada kawananku yang lain. Kalau kau heran dengan anggapanku, tentu saja aku punya alasan dari kesimpulan sikap baikmu padaku. Kau selalu butuh bantuanku, memanfaatkan segala sesuatu yang ada padaku, dan kalau tidak salah kau juga pernah berkata bahwa kalau kau melihatku, maka kau akan menemukan inspirasi untuk lukisanmu. Benar, kan? Lalu ada apa denganmu hari ini? Kenapa aku menemukanmu dengan wajah yang tertekuk?

"Menyebalkan, Helen! Menurutmu, kenapa Bunda memaksaku untuk menjaga toko bunganya sementara Bunda malah berpergian dengan temannya? Tidak adil, bukan?" keluhmu padaku dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Berbicara di depanku, dan percaya bahwa aku pendengar setia yang baik untuk mendengar semua curahan hatimu meskipun aku tidak merespon sesuatu.

Ah ini masalahnya, aku senang kau masih memanggilku dengan panggilan khususmu padaku. Helen. Nama yang kau ambil dari nama ilmiahku, Helianthus Annuus Linn. Kuharap kau tidak kesal padaku, Yuri. Karena terus terang, aku setuju dengan rencana Bunda. Dan tentu saja, hal ini harus kurahasiakan darimu.