Senyum Bunga Matahari

By Astri Soeparyono, Sabtu, 31 Agustus 2013 | 16:00 WIB
Senyum Bunga Matahari (Astri Soeparyono)

Lalu angin berhembus kencang, membawa sebagian daunku mengikuti arahnya dari tempatku berdiri. Kau tersenyum sambil mengelus pelan sebagian daunku.

"Padahal, aku punya janji pada temanku setelah pelajaran usai. Kami berencana untuk mengunjungi studio musik baru di sekolah. Kau tahu apa yang membuatku tertarik untuk kesana, Helen? Teman-temanku bercerita bahwa ada gitaris baru di sana, ganteng katanya. Sedangkan aku sendiri baru sekali bertemu dengannya, itu pun sekilas. Dan sekarang, aku sungguh penasaran...."

 

Jangan sampai! Keluhku dalam hati. Ah, andai saja kau bisa membaca ekspresiku saat ini, pasti aku akan menggebu-gebu agar kau jangan sampai jatuh cinta pada siapa pun. Karena aku berjanji, dalam hitungan menit kau akan bertemu dengannya yang kujamin kau akan menyukainya pada pandangan pertama. Jadi kumohon Yuri, agar kau tetap di sini sampai kau bertemu dengan orang itu. Karena sebenarnya, alasanku menyetujui rencana Bunda untuk mengenalkannya padamu adalah caraku untuk membalas budimu padaku.

Kau mendengus keras, "Lalu apa yang harus kulakukan?" keluhmu lagi sambil bangkit dari dudukmu dan mulai uring-uringan. Setelah melirik ke arah jarum jam di dinding, kau kembali berbicara denganku, "Sepertinya latihan band-nya belum selesai, Helen. Aku mau pergi ke sekolah lagi. Sungguh penasaran!"

 

Jangan, sungguh jangan! Aku mulai meraung tanpa suara dan berharap bisa melakukan sesuatu agar bisa menghentikan langkahmu, Yuri. Kau harus menetap di sini, setidaknya sampai dia datang. Kumohon...

Namun kau seakan tidak menghiraukanku. Setelah mengelus sebagian kelopakku, kau mengucapkan selamat tinggal, seperti biasanya saat kau ingin berpergian dari rumah. Aku bingung, ingin rasanya melakukan sesuatu. Dalam hitungan detik dan tanpa kesengajaan, angin kembali berhembus menjatuhkan salah satu kelopak kuningku.

"Aku pergi dulu, Helen. Daaa...." pamitmu. Lalu kau melangkahkan kakimu ke pagar rumah dan menguncinya sebelum keluar. Yuri, kau bahkan tidak peduli bahwa kelopakku akan berguguran satu persatu seiring dengan berjalannya waktu.

Kemudian emosiku membuncah. Ingin rasanya kuteriakkan namamu, mengejarmu, dan memanggil namamu. Bukan hanya sekadar bermetafora dalam imajinasiku seperti saat ini. Karena sekitar lima belas menit setelah kepergianmu, dia datang, dan seharusnya kalian bertemu.

***

"Malam, Helen. Aku punya dua kabar, satu kabar baik dan satu kabar buruk. Menurutmu, bagian mana yang harus kumulai?" sapamu mengawali pembicaraan padaku malam harinya. Ah, ingin sekali aku mengacuhkanmu sekali ini saja, Yuri. Andai ekspresi kecewaku bisa terlihat jelas olehmu.