Aku mengayuh sepeda ontelku yang merah butut, mengarungi ruteku yang biasa sepulang sekolah, memarkir sepedaku itu di ruko Pak Handi, seorang pria empatpuluhan pengusaha bengkel mobil yang merupakan teman setia ayahku. Kusapa beliau yang tengah sibuk di balik meja kasir memarahi pegawainya, dan berlari sambil menenteng tasku ke arah tempat favoritku: sebuah rumah makan bernuansa Eropa dengan desain interior yang terdiri dari mayoritas palet warna kalem khas alam yang selalu menebarkan aroma lasagna sedap ke sekitarnya. Nama restoran itu adalah Da'Pasta, satu-satunya tempat di dunia ini dimana aku bisa menjadi diriku sendiri dan bersenang-senang dengan nasibku tanpa diganggu.
"Kak Ruti!" sapaku, menarik-narik celemek dari Kak Ruti yang berseragam lengkap layaknya pegawai Da'Pasta lainnya, kemeja putih berlengan kembung yang dilapisi rompi tak berlengan merah marun. Kak Ruti tersenyum menatapku saat aku mengulurkan tangan. Ia mendesah lega dan menyerahkan nampan berisi piring kotor kepadaku. Dari peluh di keningnya, sudah kuduga ia lelah melayani para pembeli. Maklumlah, sedari dulu aku Da'Pasta ini memang laris manis di kotaku.
Sebelum Kak Ruti sempat bicara, seorang pelanggan langsung memanggilnya dengan gusar. Aku mengangguk dan kami berpisah dari sana. Dengan kakiku yang panjang dan kurus, aku melangkah cepat dan tangkas menuju dapur.
"Met sore, Mbok Ijah!" sapaku sambil meletakkan nampan beserta piring kotor itu di samping Mbok Ijah, si tukang cuci piring profesional Da'Pasta yang berperawakan gemuk, berumur tiga puluh lima, dan beranak kembar dua cowok enam tahun yang setiap hari Minggu ikut dibawanya kerja dan selalu berhasil membuatku naik darah. Mbok Ijah tersenyum ramah padaku, seperti biasanya, mengusap peluh di dahinya, kemudian kembali membenamkan kedua tangannya di rendaman air cuci piring yang berbusa putih bersih.
"Baru pulang sekolah,dek?" tanyanya ramah, senyumnya lebar seperti biasa. Maklumlah, ia pasti bahagia karena semenjak ada aku, selalu ada yang menjaga si kembar mengesalkan itu.
"Si Mbok tahu aja, nih." Aku tertawa kecil. "Kak Fiki mana, nih?"
Ia mengangkat dagu untuk menunjuk. Aku berbalik, dan segera berlari kepada sesosok pemuda yang sudah memiliki predikat sebagai pegawai terimut di Da'Pasta dan terkenal juga sebagai pematah hati nomor satu di Yogyakarta, kotaku yang tercinta. Kak Fiki, alis kakakku, sedang sibuk membolak balik pancake di atas teflon dengan tangan kiri, menumis bumbu untuk salah satu menu macaroninya dengan tangan kanan. Ia sesekali membetulkan topi putih tinggi yang sangat pas untuk dipakainya, seragam putih berlengan panjangnya digulung sampai ke sikut. Celemeknya yang kotor bernoda kemerahan segar berbau tomat.
"Sibuk, kak?" godaku.
"Adek kurang ajar. Orang lagi susah bukannya dibantu, malah diketawain. Sana tuh, bantuin cincangin bawang." Yap, Kak Fiki adalah kakak kandungku yang sekarang sudah berumur dua puluh satu. Karena gaji orangtuaku yang pas-pasan, ia bekerja menjadi chef sebagai pekerjaan sampingan demi membiayai kuliahnya di bidang kedokteran di UGM. Keren, ya? Kakakku ini memang sangat pintar, sehingga bisa mendapatkan beasiswa. Tapi karena keketatan ekonomi keluargaku, bahkan dengan beasiswa pun, kuliah Kak Fiki masih tergolong begitu mahal.
"Iya, iya." Aku beranjak untuk mencincang bawang-bawang di sisinya. Chef-chef lain menyapaku, seperti biasa. Aku memang cukup populer sebagai tenaga tambahan tanpa bayaran di sini.
? ? ??
Saat malam turun, Da' Pasta menjadi semakin ramai. Bahkan, mencapai puncaknya pada pukul sepuluh malam. Jam setengah dua belas, tempat ini kian menyepi, dan karena hari ekstrim ini, bahkan pelayan pekerja keras seperti Kak Ruti pun minta izin pulang. Om Muntoro, si manajer, juga membolehkan. Sementara sisa pelanggan tinggal sekitar dua puluh meja, para pekerja tinggal tersisa lima orang. Kak Fiki dan Kak Rusli, para chef yang sama-sama masih kuliah dan rela bekerja sampai larut demi bonus gaji di akhir bulan, Om Muntoro si manajer yang beralih profesi sebagai pengelap meja karena para pegawainya sudah pulang semua, Kak Latika, satu-satunya pelayan yang tersisa dan membantu Om Muntoro mengelap meja, begitu juga Mbok Ijah. Aku, yang tadinya hanya tengok kanan kiri tanpa kesibukan apa pun, akhirnya ikut juga membantu mereka membersihkan meja-meja yang jumlahnya sekitar tiga puluhan ini. Maklumlah, Da'Pasta memang cukup besar. Chef-nya juga lebih dari dua belas orang.